Kesehatan Lingkungan
(Sumber : Depkes RI, 2011)
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) khususnya yang terkait dengan kesehatan lingkungan, disamping untuk mengevaluasi program yang sudah ada dan menindaklanjuti upaya perbaikan yang akan dijalankan, juga diperlukan untuk mengidentifikasi faktor risiko lingkungan berbagai jenis penyakit, sehingga diharapkan dapat berperan mengendalikan penyakit berbasis lingkungan. Pada Riskesdas 2010 data kesehatan lingkungan yang dikumpulkan meliputi data kebutuhan air keperluan rumah tangga, sanitasi, dan kesehatan perumahan. Sebagai unit analisis adalah rumah tangga. Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara menggunakan kuesioner, dan pengamatan langsung di lapangan.
Air keperluan rumah tangga
Data kebutuhan air keperluan rumah tangga meliputi jenis sumber utama air yang digunakan untuk seluruh keperluan rumah tangga termasuk minum dan memasak, jumlah pemakaian air per orang per hari, jenis sumber air minum, jarak dan waktu tempuh ke sumber air minum, kemudahan memperoleh air minum, orang yang biasa mengambil air minum dari sumbernya, cara pengolahan air minum dalam rumah tangga, cara penyimpanan air minum dan serta akses terhadap sumber air minum.
Pengelompokan jumlah pemakaian air untuk keperluan rumah tangga per orang per hari mengacu pada kriteria risiko kesehatan masyarakat yang berhubungan dengan higiene yang digunakan World Health Organization (WHO). Jumlah pemakaian air per orang per hari adalah jumlah pemakaian air rumah tangga dalam sehari semalam dibagi dengan jumlah anggota rumah tangga. Jumlah pemakaian air dikelompokkan menjadi beberapa kriteria :
§ Pemakaian air lebih kecil dari 5 liter/orang/hari, menunjukkan tidak akses
§ Pemakaian air antara 5-19,9 liter/orang/hari, menunjukkan akses kurang
§ Pemakaian air antara 20-49,9 liter/orang/hari, menunjukkan akses dasar
§ Pemakaian air antara 50-99,9 liter/orang/hari, menunjukkan akses menengah
§ Pemakaian air lebih besar atau sama dengan 100 liter/orang/hari, menunjukkan akses optimal.
Untuk menilai akses terhadap sumber air minum, dalam penyajian ini digunakan dua kriteria, yaitu kriteria yang digunakan pemerintah dalam laporan Millenium Development Goals (MDGs) 2010 dan kriteria yang digunakan Joint Monitoring Program (JMP) WHO-UNICEF 2004. Kriteria akses terhadap sumber air minum terlindung yang digunakan MDGs adalah bila jenis sumber air minum berupa perpipaan, sumur pompa, sumur gali terlindung dan mata air terlindung dengan jarak dari sumber pencemaran lebih dari 10 meter, dan air hujan. Sedangkan kriteria akses terhadap air minum yang digunakan JMP WHO-UNICEF 2004 adalah bila pemakaian air keperluan rumah tangga minimal 20 liter per orang per hari, berasal dari sumber air yang ‘improved’ dan sumber air minumnya berada dalam radius satu kilometer dari rumah. Pada kriteria MDGs maupun JMP WHO-UNICEF, air kemasan (bottled water) tidak dikategorikan sebagai sumber air minum terlindung.
Dalam laporan Riskesdas ini disajikan kriteria alternatif untuk menilai akses terhadap sumber air minum dengan mempertimbangkan jenis sumber air minum terlindung, keberadaan sarana dalam radius satu kilometer, mudah diperoleh sepanjang tahun, dan memiliki kualitas air yang baik secara fisik (tidak keruh, tidak berwarna, tidak berasa, tidak berbusa dan tidak berbau).
Hasil Riskesdas 2010 menunjukkan bahwa jenis sumber utama air untuk seluruh keperluan rumah tangga pada umumnya menggunakan sumur gali terlindung (27,9%) dan sumur bor/pompa (22,2%) dan air ledeng/PAM (19,5%). Persentase rumah tangga yang menggunakan sumur gali terlindung
tertinggi adalah Provinsi DI Yogyakarta (63,2%), dan persentase rumah tangga yang menggunakan sumur bor/pompa tertinggi adalah Provinsi DKI Jakarta (50,6%) serta air ledeng/PDAM adalah Bali (52,2%). Di beberapa provinsi seperti Bali, Kalimantan Timur dan DKI Jakarta, persentase rumah tangga yang menggunakan air ledeng/PAM cukup tinggi, yaitu masing-masing 52,2%, 48,8%, dan 42,5%. Air sungai/ danau/ irigasi masih banyak digunakan oleh rumah tangga, seperti di Provinsi Kalimantan Tengah (38,9%) dan Kalimantan Barat (36,7%).
Berdasarkan karakteristik tempat tinggal, terdapat perbedaan jenis penggunaan sumber utama air untuk keperluan rumah tangga. Di perkotaan, pada umumnya rumah tangga menggunakan sumur bor/pompa (30,3%), sedangkan di perdesaan lebih banyak menggunakan sumur gali terlindung (29,6%). Menurut karakteristik tingkat pengeluaran rumah tangga per kapita, semakin tinggi tingkat pengeluaran rumah tangga, persentase yang menggunakan air ledeng/PAM dan air dari sumur bor/pompa juga semakin tinggi. Rumah tangga yang menggunakan sumur gali terlindung pada umumnya berada pada tingkat pengeluaran menengah dan rendah. Peresentase rumah tangga yang menggunakan sumur gali tak terlindung, mata air terlindung dan tak terlindung, penampungan air hujan, air sungai/danau/irigasi dan lainnya cenderung meningkat dengan rendahnya tingkat pengeluaran rumah tangga.
Secara nasional, rumah tangga di Indonesia menggunakan sumur gali terlindung (24,7%), air ledeng/PAM (14,2%), sumur bor/pompa (14,0%), dan air dari depot air minum (DAM) (13,8%) untuk sumber air minum. Berdasarkan provinsi, persentase rumah tangga yang menggunakan sumur gali terlindung paling tinggi adalah Provinsi Gorontalo (50,5%), dan yang menggunakan air ledeng/PAM adalah Provinsi Bali (33,9%). Penggunaan sumur bor/pompa tertinggi di Provinsi Jawa Timur (24,8%) dan air dari depot air minum (DAM) adalah Provinsi Kepulauan Riau (45,5%). Khusus air minum kemasan, secara nasional bahwa rumah tangga yang menggunakan jenis sumber air ini tidak terlalu banyak yaitu sebesar 7,8 persen dengan persentase tertinggi di Provinsi DKI Jakarta (36,2%). Untuk sumber air dari PAM, persentase responden di DKI yang menggunakan sumber air adalah 15,8 persen.
Berdasarkan tempat tinggal, baik di perkotaan maupun di perdesaan, sumber utama air untuk minum cukup bervariasi. Penggunaan sumber air minum di perkotaan yang cukup menonjol adalah air dari DAM (21,1%), air ledeng/PAM (18,5%), air kemasan (13,2%), dan sumur bor/pompa (15,9%). Di perdesaan, rumah tangga lebih banyak yang menggunakan sumur gali terlindung (30,0%), sumur bor/pompa (12,0%), mata air terlindung (11,8%), sumur gali tidak terlindung (11,6%), air PAM (9,5%), air hujan (4,7%). Hingga saat ini masih terdapat rumah tangga yang menggunakan air sungai/ danau/ irigasi baik di perkotaan (0,3%) maupun di perdesaan (4,4%). Berdasarkan tingkat pengeluaran rumah tangga per kapita, persentase rumah tangga yang menggunakan air kemasan dan air dari depot air minum, serta air ledeng/PAM meningkat seiring dengan peningkatan pengeluaran rumah tangga.
Jumlah pemakaian air per orang per hari secara nasional pada umumnya lebih dari 20 liter. Persentase pemakaian air tertinggi adalah lebih atau sama dengan 100 liter per orang per hari. Persentase tertinggi yang jumlah pemakaian air lebih atau sama dengan 100 liter per orang per hari adalah Provinsi DI Yogyakarta (51,5%), Jawa Barat (44,8%) dan Aceh (45,3%). Secara nasional, masih terdapat rumah tangga dengan pemakaian air kurang dari 20 liter per orang per hari, bahkan kurang dari 5 liter per orang per hari (masing-masing 14 persen dan 2,4 persen). Berdasarkan provinsi, persentase rumah tangga dengan jumlah pemakaian air per orang per hari kurang dari 20 liter tertinggi di Provinsi Nusa Tenggara Timur (42,0%) diikuti Papua (34,0%), Sumatera Utara (21,8%), dan Sulawesi Barat (19,2%).
Berdasarkan tempat tinggal, persentase rumah tangga dengan jumlah pemakaian air lebih dari 20 liter per orang per hari, di perkotaan lebih tinggi dibandingkan di perdesaan. Persentase rumah tangga dengan jumlah pemakaian air, kurang dari 5 liter per orang per hari di perkotaan hampir sama dengan di perdesaan, masing-masing 2,1 persen dan 2,7 persen. Menurut tingkat pengeluaran rumah tangga per kapita, semakin tinggi tingkat pengeluaran rumah tangga, semakin tinggi pula persentase rumah tangga dengan penggunaan air per orang per hari lebih atau sama dengan 20 liter per orang per hari.
Secara nasional, letak sumber utama air minum pada umumnya berada di dalam rumah (53,3%) dan di sekitar rumah dengan jarak tidak lebih dari 10 meter (28,5%). Persentase rumah tangga dengan sumber utama air di dalam rumah tertinggi di Provinsi Sulawesi Selatan (66,9%), dan terendah di Provinsi Nusa Tenggara Timur (16,5%). Masih terdapat rumah tangga dengan jarak sumber utama air minum lebih dari 1000 meter dengan persentase tertinggi di Provinsi Maluku (11,4%).
Berdasarkan karakteristik tempat tinggal, persentase rumah tangga dengan sumber utama air di dalam rumah di perkotaan (62,7%) lebih tinggi dari pada di perdesaan (43,3%). Sebaliknya untuk sumber air yang di luar rumah persentase rumah tangga dengan sumber air berjarak lebih dari 1000 meter di perkotaan (0,5%) lebih rendah daripada di perdesaan (1,4%). Semakin tinggi tingkat pengeluaran rumah tangga per kapita, persentase rumah tangga dengan sumber air di dalam rumah juga semakin tinggi. Persentase rumah tangga dengan sumber air berjarak lebih dari 10 meter semakin rendah dengan meningkatnya tingkat pengeluaran rumah tangga per kapita.
Pada umumnya sumber utama air minum berada di dalam rumah (53,3%) sehingga relatif tidak memerlukan waktu untuk memperolehnya. Akan tetapi, masih terdapat rumah tangga dengan waktu tempuh ke sumber utama air minum lebih dari 60 menit dengan persentase tertinggi di Provinsi Maluku (6,5%) dan Sulawesi Barat (5,9%).
Berdasarkan karakteristik tempat tinggal, persentase rumah tangga yang tidak memerlukan waktu untuk memperoleh air minum di perkotaan (62,7%) lebih tinggi daripada di perdesaan (43,3%). Sebaliknya, persentase rumah tangga dengan waktu tempuh ke sumber air minum lebih dari 60 menit, di perkotaan (0,3%) lebih rendah daripada di perdesaan (0,8%). Semakin tinggi tingkat pengeluaran, persentase rumah tangga yang tidak memerlukan waktu ke sumber air juga semakin tinggi. Berdasarkan waktu tempuh, persentase rumah tangga dengan waktu tempuh ke sumber utama air minum lebih dari 60 menit hampir sama di seluruh tingkat pengeluaran rumah tangga.
Untuk kemudahan dalam memperoleh air minum, secara nasional terdapat 81,7 persen rumah tangga mudah memperoleh air minum sepanjang tahun dan 17,8 persen sulit memperoleh air minum pada musim kemarau. Persentase rumah tangga dengan kemudahan memperoleh air minum paling tinggi adalah Provinsi DKI Jakarta (93,3%), dan terendah adalah Papua (58,4%). Secara nasional, masih terdapat rumah tangga (0,5%) yang sulit mendapatkan air sepanjang tahun dengan persentase tertinggi di Provinsi Maluku (4,9%).
Menurut karakteristik tempat tinggal, persentase rumah tangga yang mudah memperoleh air untuk kebutuhan minum keluarga di perkotaan (88,4%) lebih tinggi dibandingkan dengan di perdesaan (74,5%). Sebaliknya, persentase rumah tangga yang sulit memperoleh air pada musim kemarau maupun sepanjang tahun di perdesaan (0,6%) lebih tinggi daripada di perkotaan (0,3%). Semakin tinggi tingkat pengeluaran rumah tangga, persentase rumah tangga yang mudah memperoleh air minum juga semakin tinggi. Sebaliknya, pada rumah tangga yang sulit memperolah air minum di musim kemarau da sulit sepanjang tahun, semakin tinggi tingkat pengeluaran; persentase rumah tangga yang sulit memperoleh air minum di musim kemarau semakin rendah.
Secara nasional, anggota rumah tangga yang biasa mengambil air untuk kebutuhan minum rumah tangga adalah laki-laki (51,4%) dan perempuan (47,1%) yang telah dewasa. Akan tetapi, masih terdapat anak laki-laki (0,5%) dan anak perempuan (1,0%) berumur di bawah 12 tahun yang biasa mengambil air untuk kebutuhan minum rumah tangga. Persentase tertinggi rumah tangga dengan anak laki-laki berumur di bawah 12 tahun mengambil air minum adalah rumah tangga di Provinsi Maluku (2,9%), sedangkan anak perempuan di Provinsi Papua (4,8%).
Ditinjau dari tempat tinggal, di perkotaan persentase rumah tangga dengan anggota rumah tangga (ART) laki-laki dewasa (60,5%) yang mengambil air lebih tinggi dibandingkan ART perempuan dewasa (38,5%), sedangkan di perdesaan persentase ART perempuan dewasa (53,2%) yang mengambil air untuk kebutuhan rumah tangga lebih tinggi dibandingkan ART laki-laki dewasa (45,1%). Di perkotaan maupun di perdesaan masih terdapat ART laki-laki maupun perempuan berumur di bawah 12 tahun yang mempunyai kebiasaan mengambil air untuk kebutuhan minum rumah tangga (masing-masing 0,7% dan 1,2%). Semakin tinggi tingkat pengeluaran rumah tangga, semakin tinggi pula persentase ART laki-laki dewasa yang mengambil air, tetapi, persentase ART dewasa perempuan yang mengambil air semakin rendah. Di semua tingkat pengeluaran rumah tangga, persentase ART di bawah 12 tahun baik perempuan maupun lak-laki yang biasa mengambil air hampir sama.
Secara nasional, 90 persen kualitas fisik air minum di Indonesia termasuk dalam kategori baik (tidak keruh, tidak berwarna, tidak berasa, tidak berbusa, dan tidak berbau). Akan tetapi, masih terdapat rumah tangga dengan kualitas air minum keruh (6,9%), berwarna (4,0%), berasa (3,4%), berbusa (1,2%), dan berbau (2,7%). Berdasarkan provinsi, persentase rumah tangga tertinggi dengan air minum keruh (24,2%), berwarna (15,4%), berasa (15,6%) dan berbau (10,4%) adalah Provinsi Papua, sedangkan rumah tangga dengan kualitas air berbusa tinggi adalah Provinsi Kalimantan Barat (6,5%).
Baik = tidak keruh, tidak berwarna, tidak berasa, tidak berbusa dan tidak berbau
Berkaitan dengan tempat tinggal, persentase rumah tangga dengan kualitas fisik air minum baik (tidak keruh, tidak berwarna, tidak berasa, tidak berbusa, dan tidak berbau) di perkotaan (94,2%) lebih tinggi dibandingkan dengan di perdesaan (85,6%). Persentase rumah tangga dengan kualitas fisik air minum keruh di perdesaan (10,2%) lebih tinggi dari pada di perkotaan (3,8%). Demikian juga persentase rumah tangga dengan kualitas fisik air minum berwarna, berasa, berbusa, dan berbau di pedesaan lebih tinggi dari pada di perkotaan. Menurut tingkat pengeluaran rumah tangga, semakin tinggi tingkat pengeluaran; persentase rumah tangga dengan kualitas fisik air minum baik (tidak keruh, tidak berwarna, tidak berasa, tidak berbusa, dan tidak berbau) semakin tinggi.
Dalam pilihan jenis pengolahan air, terdapat ‘dispenser’ sebagai cara untuk mengolah air lebih lanjut terutama untuk air kemasan atau air dari depot air minum. Dispenser sebagai cara pengolahan air tersebut adalah dispenser yang dilengkapi pemanas dan atau pendingin (Tabel 3.5.17 dan Tabel 3.5.18.). Dalam penyajian selanjutnya persentase rumah tangga menurut jenis sarana penyimpanan air minum, terdapat ‘dispenser’ sebagai tempat penyimpanan air. Dispenser sebagai tempat penyimpanan air minum tersebut adalah yang tidak dilengkapi pemanas atau pendingin (Tabel 3.5.19 dan Tabel 3.5.20.).
Pengolahan air minum di rumah tangga sebelum dikonsumsi, pada umumnya dilakukan dengan cara dipanaskan/dimasak terlebih dahulu (77,8%) dan ditempatkan dalam dispenser (panas/dingin) (10,7%). Selain dipanaskan/dimasak dan disimpan dalam dispenser (panas/dingin), pengolahan air minum sebelum dikonsumsi dilakukan dengan cara penyinaran dengan sinar ultra violet (UV)
(1,9%), disaring/filtrasi (0,9%), dan menambahkan larutan klor (klorinasi) (0,1%). Provinsi dengan persentase tertinggi rumah tangga yang memasak air sebelum dikonsumsi adalah Maluku Utara (95,0%), Gorontalo (93,7%), dan Lampung (92,2%). Akan tetapi, masih terdapat rumah tangga yang tidak mengolah air sebelum dikonsumsi (secara nasional: 8,1 %). persentase rumah tangga yang tidak mengolah air sebelum dikonsumsi paling tinggi adalah Provinsi Nusa Tenggara Barat (47,9%).
Persentase rumah tangga di perkotaan (69,0%) yang mengolah air sebelum diminum dengan cara dimasak lebih rendah dibandingkan dengan di perdesaan (87,1%). Sebaliknya, persentase rumah tangga yang tidak mengolah air sebelum dimasak di perkotaan (9,3%) lebih tinggi daripada di perdesaan (6,8 %). Jenis pengolahan yang lain dengan penyinaran matahari/UV, disaring/difiltrasi, dan pengolahan lainnya persentase rumah tangga di perkotaan sedikit lebih tinggi, sedangkan yang melakukan pengolahan dengan klorinasi lebih banyak di perdesaan. Semakin rendah tingkat pengeluaran rumah tangga, semakin rendah persentase rumah tangga yang melakukan pengolahan air dengan pemanasan/dimasak. Semakin tinggi tingkat pengeluaran rumah tangga, persentase rumah tangga yang melakukan pengolahan air dengan cara dimasak semakin rendah, karena rumah tangga tersebut banyak yang melakukan pengolahan dengan dispenser (panas/dingin).
Pada umumnya rumah tangga menyimpan air minum dalam wadah tertutup dan bermulut sempit seperti teko/ceret/termos/jerigen (64,1%), dispenser (19,6%), ember/panci tertutup (9,5%) dan kendi (3,1 %). Akan tetapi, masih terdapat rumah tangga yang menyimpan air minum dalam wadah terbuka (ember/panci terbuka) (0,9%). Menurut provinsi, persentase rumah tangga yang menyimpan air menggunakan ember/panci terbuka air sebelum diminum paling tinggi adalah Provinsi Papua (6,1%) dan Nusa Tenggara Barat (4,2%).
Menurut tempat tinggal, persentase rumah tangga yang menyimpan air minum dalam wadah bermulut sempit atau tertutup di perkotaan (95,6%) hampir sama dengan di perdesaan (96,9%). Persentase rumah tangga yang menyimpan air minum dalam dispenser di perkotaan (30,0%) lebih tinggi daripada di perdesaan (8,5%). Sebaliknya, rumah tangga di perdesaan lebih banyak yang menyimpan air minum di dalam teko/ceret/termos/jerigen (70,8%) dibandingkan dengan di perkotaan (57,8%). Demikian juga persentase rumah tangga yang menyimpan air minum dalam ember/panci terbuka lebih tinggi di perdesaan (1,4%) dari pada di perkotaan (0,5%). Semakin tinggi pengeluaran rumah tangga, persentase rumah tangga yang menyimpan air dalam teko/ceret/termos/jerigen semakin rendah, dan yang menyimpan air dalam dispenser semakin tinggi. Persentase rumah tangga yang biasa menyimpan air minum dalam ember/panci terbuka semakin rendah seiring dengan peningkatan pengeluaran rumah tangga.
Sesuai kriteria MDGs (air perpipaan, sumur pompa, sumur gali terlindung dan mata air terlindung dengan jarak ke sumber pencemaran lebih dari 10 meter dan penampungan air hujan) tanpa memperhitungkan sumber air minum kemasan atau dari depot air minum. Secara nasional (Tabel 3.5.21) akses terhadap air minum terlindung baru mencapai 45,1 persen dengan persentase tertinggi adalah Provinsi Nusa Tenggara Timur (70,3%) dan yang terendah di DKI Jakarta (25,9%). Apabila memperhitungkan air kemasan dan air dari depot air minum, persentase rumah tangga yang mempunyai akses terhadap sumber air minum terlindung menjadi 66,7% dengan persentase tertinggi adalah Provinsi DKI Jakarta (91,4%) dan terendah di Provinsi Bengkulu (43,0%).
Berdasarkan tempat tinggal, terdapat perbedaan persentase rumah tangga dalam hal akses terhadap sumber air minum terlindung antara di perkotaan dan di perdesaan, di mana di perdesaan (48,8%) lebih tinggi dibandingkan di perkotaan (41,6%). Akan tetapi, bila memperhitungkan air kemasan dan air dari depot air minum, persentase rumah tangga yang akses terhadap air minum terlindung menunjukkan keadaan yang sebaliknya, di mana di perkotaan (75,9%) lebih tinggi dibandingkan dengan di perdesaan (56,9%).
Berdasarkan tingkat pengeluaran rumah tangga, apabila tidak memperhitungkan air kemasan dan air dari depot air minum, tidak tampak pola yang jelas antara persentase rumah tangga yang mempunyai akses terhadap air minum terlindung dengan meningkatnya tingkat pengeluaran. Sebaliknya, bila memperhitungkan air kemasan dan air dari depot air minum, persentase rumah tangga yang mempunyai akses terhadap air minum meningkat seiring dengan meningkatnya pengeluaran rumah tangga.
Sesuai kriteria JMP WHO-UNICEF tahun 2004 (pemakaian air lebih besar sama dengan 20 liter per orang per hari, sarana improved dan sarana berada dalam radius 1 kilometer dari rumah), secara nasional akses terhadap air minum baru mencapai 53,7 persen dengan persentase tertinggi di Provinsi Jawa Tengah (70,2%) dan yang terendah di Provinsi DKI Jakarta (27,8%). Sedangkan apabila memperhitungkan air kemasan dan air dari depot air minum, persentase rumah tangga yang mempunyai akses terhadap air minum meningkat menjadi 72,2 persen dengan persentase tertinggi di Provinsi DI Yogyakarta (87,9%) dan terendah di Provinsi Kalimantan Barat (46,2%).
Berdasarkan tempat tinggal, terdapat perbedaan persentase rumah tangga dalam hal akses terhadap air minum menurut kriteria JMP WHO-UNICEF tahun 2004 antara perkotaan dan perdesaan. Apabila tidak memperhitungkan air kemasan dan air dari depot air minum, persentase rumah tangga yang mempunyai akses terhadap air minum sesuai dengan kriteria JMP WHO-UNICEF di perkotaan (52,2%) lebih rendah daripada di perdesaan (55,4%). Sebaliknya, apabila memperhitungkan air kemasan dan air dari depot air minum, persentase rumah tangga yang mempunyai akses terhadap air minum di perkotaan (82,1%) lebih tinggi daripada di perdesaan (61,7%). Berdasarkan tingkat pengeluaran rumah tangga, apabila tidak memperhitungkan air kemasan dan air dari depot air minum, tidak terdapat pola yang jelas antara persentase rumah tangga yang mempunyai akses terhadap air minum dengan meningkatnya tingkat pengeluaran. Apabila memperhitungkan air kemasan dan air dari depot air minum, persentase rumah tangga yang mempunyai akses terhadap air minum sesuai dengan kriteria JMP WHO-UNICEF meningkat seiring dengan meningkatnya pengeluaran
Berdasarkan kriteria lain seperti sumber air minum terlindung (termasuk air kemasan), sarana berada dalam radius 1 kilometer, tersedia sepanjang waktu, dan kualitas fisik airnya baik (tidak keruh, berbau, berasa, berwarna dan berbusa), rumah tangga yang akses terhadap air minum ‘berkualitas’ secara nasional telah mencapai 67,5 persen; dengan persentase tertinggi adalah Provinsi DKI Jakarta (87,0%) diikuti DI Yogyakarta (76,8%), dan Jawa Timur (75,1%). Masih terdapat rumah tangga dengan akses terhadap air munum kurang baik (nasional:32,5%), persentase paling tinggi adalah Provinsi Papua (58,7%) dan Provinsi Kalimantan Barat (64,1 %).
Berdasarkan tempat tinggal, dengan memperhitungkan air minum dari sumber air dan kemasan, terdapat perbedaan persentase rumah tangga dengan akses terhadap air minum ‘berkualitas’ antara perkotaan dan perdesaan. Persentase rumah tangga yang mempunyai akses terhadap air minum ‘berkualitas’ di perkotaan (80,3%) lebih tinggi dibandingkan dengan di perdesaan (53,9%). Berdasarkan pengeluaran rumah tangga, menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pengeluaran rumah tangga, semakin tinggi pula persentase rumah tangga yang mempunyai akses terhadap air minum ‘berkualitas’.
3.5.2. Sanitasi
Ruang lingkup sanitasi dalam laporan Riskesdas 2010 ini meliputi pembuangan tinja, pembuangan air limbah, dan pembuangan sampah.
3.5.2.1. Pembuangan Tinja
Pembuangan tinja (tempat buang air besar/BAB) yang dalam nomenklatur MDGs sebagai sanitasi meliputi jenis pemakaian/penggunaan tempat buang air besar, jenis kloset yang digunakan dan jenis tempat pembuangan akhir tinja. Dalam laporan MDGs 2010, kriteria akses terhadap sanitasi layak adalah bila penggunaan fasilitas tempat BAB milik sendiri atau bersama, jenis kloset yang digunakan jenis ‘latrine’ dan tempat pembuangan akhir tinjanya menggunakan tangki septik atau sarana pembuangan air limbah atau SPAL. Sedangkan kriteria yang digunakan JMP WHO-UNICEF 2008, sanitasi terbagi dalam empat kriteria, yaitu ‘improved’, ‘shared’, ‘unimproved’ dan ‘open defecation’. Dikategorikan sebagai ‘improved’ bila penggunaan sarana pembuangan kotorannya sendiri, jenis kloset latrine dan tempat pembuangan akhir tinjanya tangki septik atau SPAL.
Secara nasional, di sebagian besar rumah tangga di Indonesian menggunakan fasilitas tempat Buang Air Besar (BAB) milik sendiri (69,7%). Akan tetapi, masih terdapat rumah tangga yang tidak menggunakan fasilitas tempat BAB yaitu sebanyak 15,8 persen. Beberapa provinsi dengan persentase rumah tangga yang menggunakan fasilitas tempat BAB lebih tinggi dari persentase nasional antara lain Riau (84,3%), Kepulauan Riau (80,4%), dan Lampung (79,0%); sedangkan provinsi dengan persentase rumah tangga yang menggunakan fasilitas tempat BAB paling rendah adalah Gorontalo (32,1 %). Untuk penggunaan fasilitas tempat BAB bersama, provinsi dengan persentase tertinggi adalah DI Yogyakarta (17, 92%) Papua (17,1%) dan Papua Barat (6,4%). Propinsi dengan persentase tertinggi yang menggunakan fasilitas umum tempat BAB adalah Maluku Utara (24,3%), Maluku (20,4%), Gorontalo (19,6%). Dan propinsi dengan persentase tertinggi yang tidak memiliki fasilitas BAB adalah Gorontalo (39,2%), Sulawesi Barat (39,1%) dan Sulawesi Tengah (38,6%).
Menurut tempat tinggal, persentase rumah tangga yang menggunakan fasilitas BAB milik sendiri lebih tinggi di perkotaan (79,7%) dibandingkan dengan di perdesaan (59,0%). Sebaliknya persentase rumah tangga yang tidak memiliki fasilitas BAB 4 kali lebih tinggi di perdesaan (25,2%) dibandingkan dengan di perkotaan (6,7%). Sejalan persentase rumah tangga yang BAB menggunakan fasilitas umum, lebih banyak di perdesaan (7,2%) dibandingkan dengan perkotaan (5,3%); sedangkan persentase rumah tangga yang menggunakan fasilitas BAB bersama relatif sama di perkotaan dan perdesaan.
Menurut tingkat pengeluaran rumah tangga, semakin tinggi pengeluaran rumah tangga semakin banyak rumah tangga yang menggunakan fasilitas sendiri tempat BAB. Akan tetapi terdapat kecenderungan semakin meningkat persentase penggunaan fasilitas bersama, umum, atau tidak ada, dengan semakin rendahnya tingkat pengeluaran rumah tangga.
Jenis kloset yang digunakan, secara nasional sebagian besar (77,6%) adalah jenis latrine/ leher angsa. Provinsi dengan persentase lebih tinggi dari persentase nasional dalam penggunaan jenis kloset leher angsa adalah Bali (94,6%), DKI Jakarta (94,1 %), dan Gorontalo (92,6%). Secara nasional jenis kloset cemplung/cubluk sebanyak 14,3 persen dan plengsengan sebesar 6,4 persen. Provinsi dengan persentase penggunaan jenis kloset cemplung/cubluk tertinggi adalah Papua (34,5%), Lampung (30,9%), dan Kalimantan Tengah (30,1%). Sedangkan provinsi dengan persentase penggunaan jenis kloset plengsengan tertinggi adalah NTT (27,0%), Kepulauan Bangka Belitung (15,4%), dan Riau (10,8%)
Menurut tempat tinggal, persentase rumah tangga menggunakan jenis kloset leher angsa dimana di perkotaan relative lebih tinggi 88,1 persen dinadingkan dengan di perdesaan 63,5 persen. Sedangkan persentase rumah tangga yang menggunaan jenis kloset plengsengan, cemplung/cebluk maupun yang tidak memiliki fasilitas BAB lebih banyak di perdesaan dibandingkan di perkotaan. Persentase rumah tangga yang menggunakan jenis kloset cemplung/cebluk di perdesaan 4 kali lebih tinggi (25,6%) dibandingkan dengan di perkotaan (5,9%). Rumah tangga yang tidak memiliki fasilitas BAB di perdesaan 3 kali lebih tinggi (2,8%) dibandingkan dengan di perkotaan (0,9%). Berdasarkan tingkat pengeluaran rumah tangga, semakin tinggi tingkat pengeluaran rumah tangga maka semakin tinggi persentase rumah tangga yang menggunakan kloset jenis leher angsa. Sebaliknya, semakin rendah pengeluaran rumah tangga maka semakin meningkat persentase rumah tangga yang menggunakan jenis kloset plengsengan, cemplung/cebluk, maupun yang tidak memiliki fasilitas BAB.
Secara nasional (Tabel 3.5.31), tempat pembuangan akhir tinja sebagian besar rumah tangga di Indonesia (59,3%) menggunakan septic tank. Sebesar 16,4 persen masih melakukan pembuangan tinja di sungai/danau, dan (11,7%) di lubang tanah. Provinsi DKI Jakarta memiliki persentase tertinggi pembuangan akhir tinja dengan septic tank (90,6%), Yogyakarta (76,1%) dan Bali (73,1%).. Di provinsi Nusa Tenggara Timur hanya 34,4 persen, dan di Provinsi Sulawesi Barat hanya 33,3% persen rumah tangga yang mempunyai tempat pembuangan akhir tinja jenis septic tank.
Persentase tempat tinggal yang menggunakan tanki septik lebih tinggi (75,1 %) di perkotaan dibandingkan (42,5%) di perdesaan demikian dengan yang menggunakan SPAL relatif lebih banyak (3,5%) di perkotaan dibandingkan (2,2%) di perdesaan. Persentase rumah tangga dengan tempat penbuangan akhir tinja di kolam/sawah, sungai/danau, lubang tanah, pantai/kebun dan lainnya relatif lebih banyak di perdesaan dibandingkan dengan di perkotaan. Demikian juga menurut tingkat pengeluaran rumah tangga per kapita, semakin tinggi tingkat pengeluaran rumah tangga, maka semakin meningkat persentase rumah tangga yang menggunakan septic tank dan SPAL. Sebaliknya, semakin rendah pengeluaran rumah tangga maka semakin rendah persentase tempat pembuangan akhir tinja di kolam/sawah, sungai/danau, lubang tanah, pantai/kebun dan lainnya.
Dengan menggabungkan ketiga variabel di atas, maka disajikan tabel akses terhadap pembuangan tinja (sanitasi) layak sesuai kriteria laporan MDGs. Secara nasional, persentase rumah tangga yang memiliki akses terhadap pembuangan tinja layak, sesuai dengan laporan MDGs adalah sebesar 55,5 persen. Beberapa provinsi yang persentase akses terhadap pembuangan tinja layak lebih tinggi dari nilai nasional antara lain DKI Jakarta (82,7%), DI Yogyakarta (79,2%), dan Bali (71,8%). Sedangkan provinsi yang tidak memiliki akses terhadap pembuangan tinja layak antara lain NTT (74,8%), Gorontalo (64,7%), dan Sulawesi Barat (64,1 %).
Berdasarkan tempat tinggal, akses terhadap pembuangan tinja yang layak sesuai dengan MDGs, di perkotaan telah mencapai 71,4 persen, sedangkan di perdesaan baru 38,5 persen. Menurut tingkat pengeluaran rumah tangga per kapita, menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pengeluaran per kapita, maka semakin besar pula persentase rumah tangga yang memiliki akses terhadap pembuangan tinja layak.
Persentase rumah tangga menurut cara buang air besar sesuai JMP WHO-UNICEF 2008 di berbagai provinsi di Indonesia. Sedangkan persentase rumah tangga menurut cara buang air besar sesuai JMP WHO-UNICEF 2008 dikaitkan dengan karakteristik rumah tangga
Secara nasional, cara buang air besar sebagian besar rumah tangga di Indonesia (51,1%) tergolong improved. Provinsi dengan persentase improved tertinggi di DKI Jakarta (69,8%) dan terendah di Nusa Tenggara Timur (22,4%). Selanjutnya diikuti sebesar 25,0 persen rumah tangga melakukan cara buang air besar dengan kategori open defecation dan 17,2 persen dengan open defecation. Persentase open defecation yang tertinggi terdapat di Provinsi Gorontalo (41,7%), Sulawesi Barat (39,5%) dan Sulawesi Barat (38,8%).
Berdasarkan tempat tinggal, di perkotaan cara buang air besar dengan kategori improved lebih tinggi (65,8%) daripada di perdesaan (35,3%). Sebaliknya open defecation jauh lebih tinggi di perdesaan (27,6%) daripada di perkotaan (7,5%). Berdasarkan tingkat pengeluaran, semakin tinggi tingkat pengeluaran rumah tangga per kapita, maka semakin meningkat pula persentase cara buang air besar kategori improved, serta semakin rendah persentase dengan kategori open defecation (BAB sembarangan).
3.5.2.2 Sarana Pembuangan Air Limbah (SPAL)
Data sarana pembuangan air limbah yang terdapat dalam Riskesdas 2010 ini meliputi cara pembuangan dilihat dari ketersediaan saluran pembuangannya.
Air limbah rumah tangga, secara nasional sebagian besar (41,3%) dibuang langsung ke sungai/parit/got dan sebanyak 18,9 persen dibuang ke tanah (tanpa penampungan). Hanya 13,5 persen rumah tangga yang memiliki SPAL. Menurut provinsi, persentase tertinggi rumah tangga yang memiliki SPAL adalah di DI Yogyakarta (28,1%) dan terendah di Nusa Tenggara Timur (3,1%), dan 5 provinsi dengan persentase rumah tangga memiliki SPAL terendah adalah Nusa Tenggara Timur (3,1%), Kalimantan Tengah (3,2%) serta Papua Barat dan Kalimantan Barat (6,2%), Kalimantan Selatan (6,3%).dan Bali (7,4%).
Menurut tempat tinggal, persentase rumah tangga tertinggi yang memiliki SPAL lebih tinggi di perkotaan (18,7%) dibandingkan di perdesaan (7,9%), demikian dengan yang memiliki penampungan tertutup di pekarangan lebih tinggi di perkotaan (7,3%) dibandingkan di perdesaan (5,5%). Berdasarkan tingkat pengeluaran rumah tangga per kapita menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pengeluaran, maka semakin besar pula persentase rumah tangga yang memiliki SPAL. Akan tetapi, pada umumnya rumah tangga di Indonesia masih melakukan pembuangan langsung ke got/sungai.
3.5.2.3 Pembuangan Sampah
Data pembuangan sampah yang ada dalam Riskesdas 2010 ini adalah cara pembuangannya. Dikategorikan ‘baik’ apabila rumah tangga pembuangannya diambil petugas, dibuat kompos dan dikubur dalam tanah. Sedangkan bila dibakar, dibuang ke sungai atau sembarangan dikategorikan kurang baik.
Untuk penanganan sampah, secara nasional umumnya rumah tangga di Indonesia dilakukan dengan cara dibakar (52,1%) dan diangkut oleh petugas (23,4%). Provinsi dengan persentase pembakaran sampah tertinggi adalah di Gorontalo (77,0%), sedangkan yang diangkut oleh petugas adalah DKI Jakarta (82,2%). Di beberapa provinsi seperti Maluku Utara, Sulawesi Barat, dan Sulawesi Utara penanganan sampah dengan cara dibuang sembarangan cukup tinggi yaitu masingmasing 33,9 persen, 32,1 persen, dan 28,6 persen. Provinsi dengan persentase tertinggi jenis penanganan sampah dengan cara pembuatan kompos adalah di Bali (6,9%), sedangkan yang dilakukan dengan cara dibuang ke laut/kali paling tinggi di Provinsi Maluku (32,4%), Kalimantan Tengah (28,7%) dan Nusa Tenggara Barat (25,8%).
Menurut tempat tinggal, di perkotaan cara penanganan sampah yang menonjol adalah dengan cara diangkut petugas (42,9%), sedangkan di perdesaan yang paling umum adalah dengan cara dibakar (64,1%). Baik di perkotaan (0,5%) maupun perdesaan (1,7%), hanya sedikit yang penanganan sampahnya dibuat kompos. Menurut tingkat pengeluaran rumah tangga per kapita, menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pengeluaran rumah tangga, maka semakin meningkat pula persentase rumah tangga yang melakukan penanganan sampah dengan cara diangkut petugas maupun dibakar. Sebaliknya, semakin rendah tingkat pengeluaran, semakin meningkat persentase rumah tangga yang melakukan penanganan sampah dengan cara dibuang ke kali/parit/laut, dibuang sembarangan maupun ditimbun dalam tanah.Berdasarkan kemungkinan adanya pencemaran terhadap air maupun udara, penanganan sampah dikategorikan sebagai ‘baik’ dan ‘kurang baik’.
Penanganan sampah secara nasional belum dilaksanakan secara baik, yaitu baru mencapai 28,7 persen. Terdapat 24 provinsi dengan persentase penanganan sampahnya ‘baik’ lebih rendah dari nilai nasional, antara lain Gorontalo (6,0%), Kalimantan Barat (10,5%) dan NTT (11,7%). Untuk provinsi dengan persentase penanganan sampah kriteria baik lebih tinggi dari persentase nasional (28,7%), antara lain DKI (84,3%), Kepulauan Riau (48,1%), Kalimantan Timur (47,2%), dan Bali (40,6%).
Rumah tangga dengan penanganan sampah yang baik di perkotaan (46,6%) lebih tinggi daripada di perdesaan (9,6%). Menurut tingkat pengeluaran rumah tangga per kapita, semakin tinggi tingkat pengeluaran rumah tangga, semakin tinggi pula persentase rumah tangga dengan penanganan sampah baik.
3.5.3. Kesehatan Perumahan
Data perumahan yang disajikan dalam Riskesdas 2010 ini adalah data jenis penggunaan bahan bakar untuk memasak dan kriteria ‘rumah sehat’. Jenis bahan bakar untuk memasak berkaitan dengan kemungkinan terjadinya ‘indoors air pollution’, dimana dikategorikan ‘baik’ bila menggunakan jenis gas, minyak tanah dan listrik. Sedangkan untuk menilai kriteria ‘rumah sehat’ mengacu pada beberapa kriteria yang ada dalam Kepmenkes RI No. 829/Menkes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan. Dalam Riskesdas 2010 ini, kriteria ‘rumah sehat’ yang digunakan bila memenuhi tujuh kriteria, yaitu atap berplafon, dinding permanen (tembok/papan), jenis lantai bukan tanah, tersedia jendela, ventilasi cukup, pencahayaan alami cukup, dan tidak padat huni (lebih sama dengan 8m2/orang).
Secara nasional 60 persen rumah tangga di Indonesia menggunakan listrik, gas, dan minyak tanah sebagai bahan bakar untuk memasak, sementara sisanya masih menggunakan arang, kayu dan lainnya. Beberapa provinsi seperti DKI Jakarta, Kepulauan Riau dan Kepulauan Bangka Belitung memiliki persentase rumah tangga yang bahan bakar untuk memasaknya menggunakan listrik, gas dan minyak tanah lebih tinggi dari nilai nasional yaitu 99,4 persen, 88,8 persen dan 76,4 persen. Sebaliknya, provinsi yang memiliki persentase lebih tinggi dari nilai nasional untuk penggunaan arang, kayu dan lainnya antara lain NTT (78,1%), Gorontalo (69,0%), dan Lampung (68,6%).
Berdasarkan tempat tinggal, penggunaan bahan bakar untuk memasak jenis listrik, gas dan minyak tanah di perkotaan (82,7%), sedangkan di perdesaan lebih banyak penggunaan bahan bakar untuk memasak jenis arang, kayu bakar dan lainnya (64,2%). Begitu juga menurut tingkat pengeluaran rumah tangga per kapita, menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pengeluaran rumah tangga, semakin tinggi pula persentase rumah tangga yang menggunakan listrik, gas, dan minyak tanah sebagai bahan bakar untuk memasak.
Hanya 24,9 persen rumah penduduk di Indonesia yang tergolong rumah sehat. Terdapat 16 provinsi di Indonesia dengan persentase rumah sehat yang lebih rendah dari nilai nasional (24,9%). Provinsi dengan persentase rumah tangga dengan kriteria rumah sehat paling rendah adalah Nusa Tenggara Timur (7,5%), Lampung (14,1%) dan Sulawesi Tengah (16,1%). Persentase tempat tinggal yang memenuhi kriteria rumah sehat lebih tinggi di perkotaan (32,5%) daripada di perdesaan (16,8%). Berdasarkan tingkat pengeluaran rumah tangga per kapita tampak bahwa semakin tinggi tingkat pengeluaran, maka semakin besar pula persentase rumah tangga yang memiliki kriteria rumah sehat.
KESIMPULAN:
1. Rumah tangga yang pemakaian airnya kurang dari 20 liter/orang/hari sebesar 14,0 persen, menurun bila dibandingkan dengan tahun 2007.
2. Rumah tangga dengan kualitas fisik air minum ‘baik’ mengalami peningkatan dari 86,0 persen pada tahun 2007 menjadi 90,0 persen pada tahun 2010.
3. Tidak semua sumber utama air untuk keperluan rumah tangga digunakan sebagai sumber air minum. Sebagai contoh, air ledeng/PAM digunakan sebagai sumber utama air untuk keperluan rumah tangga sebesar 19,7 persen, tetapi digunakan sebagai air minum hanya 14,4 persen, atau ada sekitar 27,0 persen air ledeng/PAM yang tidak digunakan sebagai sumber air minum.
4. Terdapat pergeseran pola pemakaian sumber air minum, terutama di perkotaan, di mana pemakaian air kemasan sebagai air minum meningkat dari 6,0 persen pada tahun 2007 menjadi 7,2 persen pada tahun 2010. Sementara itu rumah tangga yang menggunakan depot air minum sebagai sumber air minum lebih tinggi (13,8%)
5. Akses rumah tangga terhadap sumber air minum terlindung sesuai kriteria MDGs adalah 45,1 persen. Ada penurunan akses rumah tangga terhadap sumber air minum terlindung, terutama di perkotaan sehingga capaian MDGs pada posisi ‘on the wrong track’. Apabila memperhitungkan air kemasan dan air dari depot air minum, persentase rumah tangga yang akses terhadap sumber air minum terlindung menjadi 66,7 persen.
6. Akses terhadap sumber air minum ‘berkualitas’ yang mempertimbangkan jenis sumber air terlindung (termasuk air kemasan dan depot air minum), jarak ke sumber air minum, kemudahan memperoleh air minum dan kualitas fisik air minum adalah sebesar 67,5 persen dengan persentase tertinggi di Provinsi DKI Jakarta (87,0%) dan terendah di Provinsi Kalimantan Barat (35,9%).
7. Persentase perempuan dewasa dan anak-anak perempuan yang mengambil air minum jauh lebih tinggi dibandingkan laki-laki, hal ini terutama terjadi di perdesaan.
8. Akses rumah tangga terhadap pembuangan tinja layak, sesuai kriteria MDGs adalah sebesar 55,5 persen. Akses terhadap pembuangan tinja layak baik di perkotaan maupun di perdesaan sudah ‘on the right track’ sehingga capaian 2015 optimis tercapai.
9. Terdapat 17,2 persen rumah tangga yang cara pembuangan tinjanya sembarangan (open defecation), tertinggi di Provinsi Gorontalo (41,7%) dan terendah di Provinsi DKI Jakarta (0,3%).
10. Sebagian besar rumah tangga cara pembuangan air limbahnya tidak saniter, dimana 41,3 persen dibuang langsung ke saluran terbuka, 18,9 persen di tanah, dan 14,9 persen di penampungan terbuka di pekarangan sehingga berpotensi mencemari air tanah dan badan air.
11. Pengelolaan sampah rumah tangga di perkotaan dan di perdesaan terbesar adalah dengan cara dibakar (52,1%) dan masih rendahnya yang diangkut petugas (23,4%). Hal ini akan berkontribusi dalam terjadinya perubahan iklim.
12. Penggunaan arang dan kayu bakar sebagai sumber energi terutama di perdesaan sebesar 64,2 persen diprediksi akan meningkatkan gas CO yang berpotensi menimbulkan risiko penyakit saluran pernafasan dan mendukung terjadinya perubahan iklim.
13. Secara nasional hanya 24,9 persen rumah penduduk di Indonesia yang tergolong rumah sehat. Persentase rumah sehat tertinggi di Provinsi Kalimantan Timur (43,6%) dan terendah di Provinsi NTT (7,5%).
REKOMENDASI:
1. Perlu dilakukan perumusan pengertian dan standar kualitas air untuk keperluan rumah tangga agar tidak menimbulkan risiko kesehatan (untuk berbagai peruntukan/keperluan).
2. Dalam laporan MDGs yang akan datang, sumber air minum kemasan dan yang berasal depot air minum dipertimbangkan masuk dalam kriteria sumber air minum terlindung.
3. Perlu peningkatan intensitas pengawasan dan pembinaan terhadap kualitas air kemasan dan depot air minum.
4. Perlu ada perubahan kebijakan dan strategi dalam pembangunan kesehatan lingkungan, di mana berbeda antara perkotaan dan perdesaan.
5. Mengingat adanya kecenderungan menurunnya akses terhadap sumber air minum terutama di perkotaan, maka perlu mengintensifkan pembangunan sarana air minum di perkotaan.
6. Pemerintah perlu lebih meningkatkan penggunaan energi alternatif, seperti penggunaan biogas dari pembakaran sampah, pengolahan tinja.
7. Masih adanya masyarakat yang membuang limbah melalui saluran terbuka, maka perlu peningkatan pembangunan sarana pengolahan air limbah rumah tangga sistem terpusat.
3.6. Indikator Penunjang
3.6.1. Penggunaan Tembakau
Salah satu sasaran program perilaku sehat dan pemberdayaan masyarakat adalah menurunnya prevalensi perokok serta meningkatnya lingkungan sehat bebas rokok di sekolah, tempat kerja dan tempat umum. Indonesia sebagai salah satu anggota WHO SEARO menargetkan selama tahun 2000-2010 harus dilakukan berbagai upaya agar total konsumsi rokok di kawasan ini turun setidaknya satu persen setahun. Jumlah perokok pada anak-anak, wanita, dan kelompok miskin juga turun masing-masing satu persen setahun.
Informasi tentang perilaku perokok saat ini (perokok setiap hari dan perokok kadang-kadang) akan membantu memprediksi gambaran beban penyakit tidak menular yang akan datang seperti penyakit kardiovaskuler, diabetes, penyakit paru obstruktif kronik, dan kanker tertentu. Dalam bab ini, informasi difokuskan pada perilaku merokok, umur mulai merokok, dosis rokok, dan merokok dalam rumah ketika bersama anggota rumah tangga lainnya. Informasi pada berbagai karakteristik seperti umur, jenis kelamin, status kawin, tempat tinggal, pendidikan, pekerjaan, tingkat pengeluaran per kapita, dan provinsi. Menurut data dari masyarakat, pembuat kebijakan dapat memanfaatkan informasi ini untuk menerapkan strategi pencegahan untuk menghindari beban akibat rokok tersebut.
Penduduk kelompok umur 15 tahun ke atas yang dianalisis sebanyak 177.926 responden,dengan rincian laki-laki sebanyak 86.493 responden (48,6%) dan perempuan sebanyak 91.433 responden (51,4%). Di perkotaan sebanyak 91.057 responden (51,2%) dan perdesaan sebanyak 86.869 responden (48,8%).
Penduduk kelompok umur 15 tahun ke atas ditanyakan apakah merokok setiap hari, merokok kadang-kadang, mantan perokok atau tidak merokok. Bagi penduduk yang merokok setiap hari, ditanyakan berapa umur mulai merokok setiap hari dan berapa umur pertama kali merokok, termasuk perokok pemula. Pada penduduk yang merokok, yaitu penduduk yang merokok setiap hari dan merokok kadang-kadang, ditanyakan berapa rata-rata batang rokok yang dihisap per hari. Juga ditanyakan apakah mereka merokok di dalam rumah ketika berada bersama anggota rumah tangga lainnya. Bagi mantan perokok ditanyakan berapa umur ketika berhenti merokok.
Prevalensi penduduk umur 15 tahun ke atas yang merokok tiap hari secara nasional adalah 28,2 persen. Prevalensi perokok tiap hari pada lima provinsi tertinggi ditemukan di Provinsi Kalimantan Tengah (36,0%), diikuti dengan Kepulauan Riau (33,4%), Sumatera Barat (33,1%), Nusa Tenggara Timur dan Bengkulu masing-masing 33 persen. Di sisi lain, lima provinsi dengan prevalensi perokok tiap hari terendah dijumpai di Provinsi Sulawesi Tenggara (22,0%), DKI Jakarta (23,9%), Jawa Timur (25,1%), Bali (25,1%), dan Jawa Tengah (25,3%) (Tabel 3.6.1.1).
Tabel 3.6.1.2. menggambarkan perilaku merokok penduduk umur 15 tahun ke atas menurutkarakteristik. Secara nasional, prevalensi penduduk merokok tiap hari tampak tinggi pada kelompok umur 25-64 tahun, dengan rentang prevalensi antara 30,7 persen sampai 32,2 persen, sedangkan penduduk kelompok umur 15-24 tahun yang merokok tiap hari sudah mencapai 18,6 persen.
Lebih dari separuh (54,1%) penduduk laki-laki umur 15 tahun ke atas merupakan perokok tiap hari. Penduduk dengan status kawin paling banyak (30,6%) merokok setiap hari daripada yang belum kawin (28,9%) maupun cerai (17,0%). Menurut tempat tinggal, penduduk yang tinggal di perdesaan (30,8%) prevalensinya lebih tinggi dibandingkan dengan perkotaan (25,9%). Menurut pendidikan, prevalensi tinggi pada penduduk dengan pendidikan rendah yaitu tidak tamat SD (31,9%) dan cenderung menurun dengan meningkatnya pendidikan. Perokok setiap hari yang terendah prevalensinya pada mereka yang bersekolah (7,7%) diikuti tidak bekerja, pegawai, wiraswasta, sedangkan tertinggi pada mereka yang bekerja di sektor informal yaitu petani/nelayan/buruh. Sedangkan menurut status ekonomi, prevalensi perokok setiap hari yang relatif rendah pada penduduk dengan status ekonomi tertinggi diikuti yang terendah.
Sebagaimana perokok setiap hari, prevalensi perokok kadang-kadang tertinggi pada kelompok umur 15-24 tahun (8,1%) dan cenderung menurun dengan bertambahnya umur. Menurut jenis kelamin, pada laki-laki (11,8%) prevalensinya 11 kali lebih banyak dibandingkan perempuan (1,4%). Perokok kadang-kadang paling banyak (9,3%) dengan status belum kawin, kemudian diikuti mereka yang berstatus kawin (5,9%) dan yang berstatus cerai (3,9%). Menurut tempat tinggal, prevalensi perokok kadang-kadang tidak tampak perbedaan. Prevalensi perokok kadang-kadang, paling sedikit pada mereka yang tidak tamat SD dan perguruan tinggi, kemudian diikuti dengan yang berpendidikan SD dan cenderung meningkat sampai yang berpendidikan SMA.
Sedangkan mantan perokok, cenderung meningkat dengan bertambahnya usia dan prevalensi tertinggi terdapat pada kelompok umur 75 tahun ke atas (14,0%). Prevalensi mantan merokok juga lebih tinggi, sekitar 6 kali lebih tinggi pada laki-laki (9,4%) daripada perempuan (1,5%). Sebagaimana perokok tiap hari, mantan perokok paling banyak (5,9%) pada mereka dengan status kawin, diikuti dengan yang berstatus cerai (5,0%) dan yang paling sedikit pada mereka dengan status belum kawin (4,0%). Sedang menurut tempat tinggal, mantan perokok lebih banyak di perkotaan (6,3%) dibandingkan dengan di perdesaan (4,3%). Menurut pekerjaan, mantan perokok paling banyak pada mereka yang bekerja sebagai pegawai, diikuti wiraswasta, kemudian yang bekerja informal yaitu petani/nelayan/buruh, mereka yang bersekolah dan yang paling rendah adalah mereka yang tidak bekerja. Menurut status ekonomi keluarga, prevalensi mantan perokok cenderung meningkat dengan meningkatnya status ekonomi.
Untuk yang tidak pernah merokok, prevalensi mayoritas (69,9%) pada umur 15-24 tahun dan cenderung menurun dengan bertambahnya umur dan lebih banyak pada mereka yang bertempat tinggal di perkotaan (61,3%) dibandingkan dengan di perdesaan (58,3%). Menurut pendidikan, prevalensi bukan perokok paling tinggi pada mereka yang berpendidikan tamat perguruan tinggi tetapi untuk tingkat pendidikan lainnya tidak diikuti dengan pola yang jelas. Menurut pekerjaan, bukan perokok paling banyak pada mereka yang tidak bekerja diikuti dengan yang bersekolah, kemudian pegawai, wiraswasta, dan pekerja informal yaitu petani/nelayan/buruh. Sedangkan menurut status ekonomi, prevalensi bukan perokok relatif lebih banyak pada mereka dengan status ekonomi paling rendah dan juga paling tinggi.
Gambar 3.6.1.1 dan Tabel 3.6.1.3. menunjukkan perilaku merokok saat ini. Secara nasional prevalensi perokok saat ini 34,7 persen. Prevalensi perokok saat ini tertinggi di Provinsi Kalimantan Tengah (43,2%), disusul Nusa Tenggara Timur (41,2%), Maluku Utara (40,8%), Kepulauan Riau (38,9%), dan Gorontalo (38,7%). Provinsi-provinsi yang prevalensinya di bawah angka nasional adalah Sulawesi Tenggara (28,3%), Kalimantan Selatan (30,5%), DKI Jakarta (30,8%), Bali (31,0%), dan Jawa Timur (31,4%). Sedangkan menurut karakteristik, prevalensi perokok saat ini tinggi pada kelompok umur 25-64 tahun dengan rentangan 37,0–38,2 persen. Prevalensi perokok saat ini 16 kali lebih tinggi pada laki-laki (65,9%) dibandingkan perempuan (4,2%). Juga tampak prevalensi yang lebih tinggi pada penduduk tinggal di perdesaan, tingkat pendidikan rendah (tamat dan tidak tamat SD), pekerjaan informal sebagai petani/ nelayan/ buruh, dan status ekonomi rendah.
Secara nasional, rata-rata jumlah batang rokok yang dihisap tiap hari oleh lebih dari separuh (52,3%) perokok adalah 1-10 batang. Sekitar dua dari lima perokok saat ini rata-rata merokok sebanyak 11-20 batang per hari. Sedangkan prevalensi yang merokok rata-rata 21-30 batang per hari dan lebih dari 30 batang perhari masing-masing sebanyak 4,7 persen dan 2,1 persen. Tabel 3.6.1.4 menunjukkan bahwa provinsi dengan rata-rata penduduk yang merokok 1-10 batang per hari paling tinggi dijumpai di Maluku (69,4%), disusul oleh Nusa Tenggara Timur (68,7%), Bali (67,8%), DI Yogyakarta (66,3%), dan Jawa Tengah (62,7%). Di sisi lain, prevalensi terendah terdapat di Kepulauan Bangka Belitung (25,1 %). Prevalensi penduduk merokok dengan rata-rata 11-20 batang rokok per hari tertinggi di Provinsi Sumatera Barat (55,9%), Riau (54,5%), Kalimantan Timur (54,2%), Jambi (53,1%), dan Kalimantan Selatan (52,4%). Sedangkan prevalensi penduduk merokok dengan rata-rata 21-30 batang per hari tertinggi di Provinsi Aceh (9,9%) dikuti Kepulauan Bangka Belitung (8,5%) dan Kalimantan Barat (7,4%). Prevalensi penduduk merokok dengan ratarata lebih dari 30 batang per hari tertinggi di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (16,2%), Kalimantan Selatan (7,9%) serta Aceh dan Kalimantan Tengah (5,4%).(Tabel 3.6.1.4).
Tabel 3.6.1.5. menunjukkan bahwa prevalensi penduduk yang memiliki kebiasaan merokok rata-rata 1-10 batang per hari relatif tinggi pada kelompok umur 75 tahun keatas (73,5%) dan kelompok umur paling muda 15-24 tahun (65,8%), kemudian cenderung menurun pada kelompok umur 65-74 tahun dan yang lebih muda. Prevalensi relatif lebih tinggi di perkotaan daripada perdesaan. Perempuan lebih banyak (82,7%) yang memiliki kebiasaan merokok dengan jumlah batang rendah, 1-10 batang per hari, daripada laki-laki (50,4%) dan yang berstatus cerai paling banyak yang meiliki kebiasaan tersebut diikuti yang belum kawin dan kawin. Menurut pendidikan, prevalensi penduduk yang memiliki kebiasaan merokok 1-10 batang per hari paling sedikit pada mereka yang berpendidikan Perguruan Tinggi dan paling banyak pada mereka yang tidak bersekolah. Prevalensi penduduk yang bersekolah ternyata paling banyak yang memiliki kebiasaan merokok 1-10 batang per hari tersebut, diikuti dengan yang tidak memiliki pekerjaan kemudian yang bekerja sebagai nelayan/petani/buruh, pegawai, wiraswasta. Penduduk dengan kebiasaan merokok 1-10 batang per hari tersebut cenderung meningkat dengan rendahnya status ekonomi.
Sebaliknya, prevalensi penduduk yang memiliki kebiasan merokok rata-rata 11-20 batang per hari terendah pada umur 75 tahun ke atas dan ada kecenderungan meningkat dengan semakin muda umur. Laki-laki 3 kali lebih banyak memiliki kebiasaan merokok 11-20 batang per hari daripada perempuan dan yang berstatus kawin lebih banyak yang memiliki kebiasaan tersebut diikuti dengan yang belum kawin dan cerai. Menurut penddidikan, penduduk dengan kebiasaan merokok 11-20 batang per hari tersebut paling sedikit pada mereka yang tidak bersekolah. Sedangkan menurut pekerjaan, kebiasaan merokok 11-20 batang rokok per hari paling banyak pada wiraswasta dan relatif rendah bagi yang bersekolah dan tidak bekerja. Sedangkan menurut status ekonomi, kebiasaan tersebut cenderung meningkat dengan meningkatnya status ekonomi.
Untuk penduduk yang merokok 21-30 batang per hari, relatif banyak pada kelompok umur produktif yaitu 35-64 tahun, tetapi paling rendah pada kelompok umur paling muda (15-24 tahun) dan paling tua (75 tahun ke atas). Laki-laki lebih banyak sebagai perokok 21-30 batang per hari daripada perempuan dan prevalensi mereka yang berstatus kawin paling banyak memiliki kebiasaan tersebut diikuti oleh yang berstatus cerai dan belum kawin. Tidak tampak perbedaan menurut tempat tinggal. Penduduk yang merokok 21-30 batang per hari relatif banyak pada mereka yang berpendidikan rendah. Sedangkan menurut pekerjaan, kebiasan merokok 21-30 batang per hari tersebut paling banyak pada wiraswasta, diikuti pegawai, petani/nelayan/buruh, tidak bekerja dan yang paling sedikit adalah mereka yang bersekolah. Menurut status ekonomi, kebiasaan tersebut meningkat dengan meningkatnya status ekonomi.
Dan yang merokok lebih dari 30 batang per hari, relatif banyak pada kelompok umur produktif muda (25-54 tahun) dan yang paling rendah pada kelompok umur paling tua dan paling muda. Sebagaimana perkokok 21-30 batang perhari, laki-laki lebih banyak dan menurut status kawin, mereka yang berstatus kawin paling banyak merokok lebih dari 30 batang per hari, dikuti yang berstatus cerai dan belum kawin. Tidak tampak perbedaan menurut tempat tinggal. Menurut pekerjaan, kebiasan merokok lebih dari 30 batang per hari tersebut paling banyak pada pegawai, diikuti wiraswasta, petani/nelayan/buruh, tidak bekerja dan yang paling sedikit adalah mereka yang bersekolah. Kebiasaan tersebut meningkat dengan meningkatnya status ekonomi.
Dalam Riskesdas 2010, penduduk umur 15 tahun ke atas juga ditanyakan umur pertama kali merokok/mengunyah tembakau. Responden juga mencakup penduduk yang baru pertama kali mencoba merokok atau mengunyah tembakau. Dengan demikian, umur pertama kali merokok tiap hari menggambarkan pada umur berapa responden sudah mengalami kecanduan tembakau.
Tabel 3.6.1.6 memperlihatkan prevalensi perokok umur 15 tahun ke atas dengan umur pertama kali merokok atau mengunyah tembakau. Umur mulai merokok atau mengunyah tembakau mencakup juga umur penduduk yang baru pertama kali mencoba merokok atau mengunyah tembakau. Secara nasional, prevalensi tertinggi umur pertama kali merokok terdapat pada kelompok umur 15-19 tahun (43,3%), disusul kelompok umur 10-14 tahun (17,5%), umur 20-24 tahun (14,6%). Terdapat 1,7 persen penduduk yang mulai merokok pertama kali pada umur 5-9 tahun dan 3,9 persen pada umur lebih dari 30 tahun dan 4,3 persen pada umur 25-29 tahun.
Menurut provinsi, prevalensi penduduk yang mulai merokok pada umur 15-19 tahun tertinggi dijumpai di Provinsi Maluku Utara (51,9%), disusul oleh Riau (49,5%), Nusa Tenggara Barat (48,2%), Sumatera Selatan (47,7%), dan Kepulauan Riau (47,2%). Perokok yang mulai merokok pertama kali pada umur 10-14 tahun terbanyak di Provinsi Sumatera Barat (27,7%), selanjutnya Kalimantan Timur (22,7%), Bengkulu (22,4%), Kepulauan Bangka Belitung (22,3%) dan Sulawesi Selatan (21,7%). Prevalensi penduduk dengan umur mulai merokok 5-9 tahun tertinggi terdapat di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (5,1%), disusul oleh DI Yogyakarta (4,4%), Sumatera Barat (3,8%), Kalimantan Selatan (2,7%), DKI Jakarta dan Jawa Timur masing-masing 2,2 persen.
Tabel 3.6.1.7. menggambarkan prevalensi perokok umur 15 tahun ke atas dengan umur pertama kali merokok atau mengunyah tembakau menurut karakteristik penduduk. Perokok pada umumnya mulai merokok pertama kali pada umur 15-19 tahun (43,3%), diikuti pada umur 10-14 tahun (17,5%) dan 20-24 tahun (17,5%) tetapi pada anak umur 5-9 tahun sudah ada (2,2%) yang mulai merokok.
Secara umum, prevalensi penduduk dengan umur pertama kali merokok 5-9 tahun terlihat tinggi pada penduduk yang tidak tamat SD dan pada penduduk dengan status pekerjaan masih sekolah. Hampir tidak ada perbedaan apabila ditinjau menurut jenis kelamin, status kawin, daerah tempat tinggal, dan status ekonomi.
Prevalensi penduduk umur 15 tahun ke atas menurut umur mulai merokok tiap hari paling tinggi pada kelompok umur 15-19 tahun (43,7%), diikuti dengan kelompok umur 20-24 tahun (19,9%), kelompok umur 10-14 tahun (12,2%) dan sebanyak satu persen pada kelompok umur 5-9 tahun. Prevalensi penduduk yang mulai merokok tiap hari pada umur 15-19 tahun paling tinggi dijumpai di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (52,1%), disusul oleh Riau (51,3%), Sumatera Selatan (50,4%), Nusa Tenggara Barat (49,9%) dan Lampung (49,5%).
Prevalensi penduduk yang mulai merokok tiap hari pada umur 10-14 tahun paling tinggi di Provinsi Bengkulu (16,9%), selanjutnya Kalimantan Selatan (16,3%), Nusa Tenggara Barat (16,0%), Sumatera Selatan (15,8%), dan Jambi (15,2%). Prevalensi perokok dengan umur mulai merokok tiap hari 5-9 tahun tertinggi di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (3,6 %), disusul Kalimantan Selatan (2,0%), DI Yogyakarta (1,8%), Gorontalo, Sulawesi Barat masing-masing 1,6 persen dan Sumatera Barat (1,5%). (Tabel 3.6.1.8)
Tabel 3.6.1.9 menggambarkan prevalensi penduduk umur 15 tahun ke atas dengan umur mulai merokok tiap hari menurut karakteristik. Dua dari tiga penduduk umur 15-24 tahun merokok tiap hari pada umur 15-19 tahun (64,7%). Satu dari lima penduduk merokok tiap hari pada umur 10-14 tahun (20,3%). Akan tetapi, ada satu dari seratus penduduk yang merokok tiap hari pada umur 5-9 tahun.
Prevalensi penduduk yang mulai merokok tiap hari pada umur 15-19 tahun terlihat lebih tinggi pada penduduk yang termasuk dalam kelompok umur muda, jenis kelamin laki-laki, status belum kawin, tinggal di daerah perkotaan, pendidikan lebih tinggi, pekerjaan wiraswasta, dan status ekonomi lebih tinggi. Penduduk dengan umur mulai merokok tiap hari pada umur 10-14 tahun cenderung lebih banyak pada kelompok umur lebih muda, laki-laki, pendidikan rendah, perkerjaan petani/nelayan/buruh, dan status ekonomi lebih rendah.
Perokok yang mulai merokok setiap hari pada umur 20-24 tahun relatif banyak pada mereka yang beumur 25-54 tahun, yang bertempat tinggal di perkotaan serta dengan status kawin diikuti yang berstatus cerai dan belum kawin. Menurut pendidikan, prevalensi meningkat dengan meningkatnya pendidikan, sedangkan menurut pekerjaan, relatif banyak pada mereka yang tidak bekerja, yang
masih bersekolah maupun yang bekerja sebagai pegawai. Menurut status ekonomi, perokok yang mulai merokok pada umur 20-24 tahun cenderung meningkat dengan meningkatnya status ekonomi.
Sedangkan perokok yang mulai merokok lebih muda yaitu 10-14 tahun, prevalensinya cenderung menurun dengan bertambahnya umur, pada laki-laki serta dengan status belum kawin diikuti yang berstatus kawin dan cerai. Sedangkan menurut pendidikan, prevalensi cenderung banyak pada mereka yang memiliki pendidikan rendah sampai dengan sekolah lanjutan pertama. Menurut pekerjaan, prevalensi perokok yang mulai merokok pada umur 10-14 tahun tersebut paling banyak pada nelayan/petani/buruh, diikuti wiraswasta dan pegawai. Prevalensi cenderung menurun dengan meningkatnya status ekonomi.
Perokok yang mulai merokok sejak anak umur 5-9 tahun, relatif banyak pada umur tua yaitu 55 tahun ke atas, perempuan dan dengan status cerai. Tidak tampak perbedaan di perkotaan maupun perdesaan. Menurut pendidikan, prevalensi cenderung menurun dengan meningkatnya pendidikan. Sedangkan menurut pekerjaan, paling banyak pada nelayan/petani/buruh dan menurut status ekonomi, cenderung menurun dengan meningkatnya status ekonomi.
Perokok yang mulai merokok pada dewasa, yaitu mulai merokok 25-29 tahun relatif banyak pada kelompok umur 35-39 tahun sampai 55-64 tahun dan mulai merokok 30 tahun ke atas relatif banyak pada umur yang lebih tua atau 45 tahun ke atas. Sedangkan menurut jenis kelamin, perokok yang mulai merokok 25 tahun ke atas lebih banyak perempuan dibandingkan dengan laki-laki dan berstatus cerai diikuti kawin dan belum kawin. Menurut tempat tingggal, perokok yang mulai merokok 25-29 tahun relatif banyak di perkotaan sebaliknya yang mulai merokok 30 tahun ke atas relatif banyak di perdesaan. Demikian menurut pendidikan, terdapat perbedaan perokok yang mulai merokok 25-29 tahun dan 30 tahun ke atas yaitu yang mulai merokok 25-29 tahun cenderung meningkat dengan meningkatnya pendidikan sebaliknya yang mulai merokok 30 tahun ke atas menurun dengan meningkatnya pendidikan. Untuk pekerjaan dan status ekonomi, paling banyak pada mereka yang bekerja sebagai pegawai, masih bersekolah maupun yang tidak bekerja sedangkan menurut status ekonomi , cenderung meningkat dengan meningkatnya status ekonomi.
Rata-rata umur mulai merokok secara nasional adalah 17,6 tahun. Provinsi dengan rata-rata umur mulai merokok termuda adalah Sumatera Barat dan Kepulauan Bangka Belitung (16,6 tahun), sedangkan rata-rata umur mulai merokok tertua adalah Bali (20 tahun) (Gambar 3.6.1.2).
Rata-rata umur mulai merokok meningkat dengan bertambahnya umur dan terlihat lebih tinggi pada kelompok perempuan, dengan status cerai diikuti kawin dan belum kawin, tidak sekolah dan tamat perguruan tinggi, serta tidak bekerja. Sedangkan rata-rata umur mulai merokok menurut daerah tempat tinggal dan status ekonomi tidak tampak perbedaan (Tabel 3.6.1.10).
Gambar 3.6.1.3 menunjukkan secara nasional prevalensi penduduk umur 15 tahun ke atas yang merupakan perokok dalam rumah sebesar 76,6 persen. Terdapat 23 provinsi dengan prevalensi di atas angka rata-rata nasional. Prevalensi tertinggi dijumpai di Provinsi Sulawesi Tengah dan Jambi masing-masing 90,3 persen, diikuti Sulawesi Selatan (87,4%), Kalimantan Barat (86,4%), dan Sulawesi Tenggara (86,2%). Sedangkan terendah di Provinsi DKI Jakarta (50,5%), diikuti dengan Jawa Tengah (75,8%), DI Yogyakarta (66,1 %), Bali (68,1 %), dan Banten (71,6%).
Tabel 3.6.1.11 menggambarkan perilaku merokok dalam rumah ketika bersama anggota rumah tangga lain menurut karakteristik. Semakin tua kelompok umur, semakin banyak yang merokok dalam rumah ketika bersama anggota rumah tangga lain.
Prevalensi perokok dalam rumah lebih banyak pada laki-laki (76,8%), berstatus kawin (78,7%), tinggal di perdesaan (83,5%), serta dengan pendidikan rendah yaitu tidak tamat SD (83,8%), tamat SD (82,2%). Menurut pekerjaan, prevalensi perokok dalam rumah ketika bersama anggota keluarga paling banyak pada yang bekerja sebagai petani/nelayan/buruh (83,3%), wiraswasta (74,4%) dan yang tidak bekerja (71,8%) serta cenderung meningkat dengan meningkatnya status ekonomi.
3.6.2. Profil Penggunaan Jamu
Obat Tradisional telah diterima secara luas di negara-negara yang tergolong berpenghasilan rendah sampai sedang. Bahkan di beberapa Negara, obat tradisional telah dimanfaatkan dalam pelayanan kesehatan formal terutama dalam pelayanan kesehatan strata pertama.
Tidak dapat dipungkiri bahwa hingga saat ini, obat tradisional masih menjadi pilihan masyarakat dalam mengobati diri sendiri.
Data SUSENAS 2004-2008 menunjukkan bahwa selama lima tahun tersebut persentase penduduk Indonesia yang mengeluh sakit dalam kurun waktu sebulan terakhir, berturut-turut 26,51; 26,68; 28,15; 30,90 dan 33,24 persen. Dari yang mengeluh sakit dan menggunakan obat tradisional untuk mengobati diri sendiri berturut-turut 32,87; 35,52; 38,30; 28,69 dan 22,6 persen.
Pada Riset Kesehatan Dasar 2010 (RISKESDAS 2010), diperoleh gambaran mengenai penggunaan jamu dan manfaatnya di Indonesia, yang diperoleh dari penduduk umur 15 tahun keatas. Penduduk kelompok umur 15 tahun ke atas yang dianalisis sebanyak 177.926 responden,dengan rincian lakilaki sebanyak 86.493 responden (48,6%) dan perempuan sebanyak 91.433 responden (51,4%). Di perkotaan sebanyak 91.057 responden (51,2%) dan perdesaan sebanyak 86.869 responden (48,8%).
Informasi yang diperoleh berupa: (a) kebiasaan mengkonsumsi jamu, (b) kebiasaan mengkonsumsi jamu buatan sendiri, (c) jenis jamu yang biasa dikonsumsi, (d) bentuk jamu, dan (e) manfaat yang dirasakan penduduk yang mengonsumsi jamu.
a. Kebiasaan Mengkonsumsi Jamu/Obat Tradisional
Secara nasional, sebanyak 59,12 persen penduduk Indonesia pernah mengkonsumsi jamu, yang merupakan gabungan dari data kebiasaan mengkonsumsi jamu setiap hari (4,36%) (a), kadangkadang (45,03%) (b), dan tidak mengkonsumsi jamu, tapi sebelumnya pernah (9,73%), dan (c). persentase penduduk Indonesia yang tidak pernah mengkonsumsi jamu sebanyak 40,88 persen.
Tabel 3.6.2.1 menunjukkan bahwa provinsi dengan persentase kebiasaan mengkonsumsi jamu tertinggi adalah Kalimantan Selatan (80,71%) dengan data konsumsi jamu setiap hari 5,55 persen, diikuti oleh DI Yogyakarta (78,50%) dengan konsumsi jamu setiap hari (4,28%). Selanjutnya, Provinsi Sulawesi Tenggara (23,95%) merupakan provinsi yang mempunyai kebiasaan mengonsumsi jamu terendah dengan data konsumsi jamu setiap hari 1,39 persen.
b.Kebiasaan Mengkonsumsi Jamu/Obat Tradisional menurut Karakteristik
Tabel 3.6.2.2 menunjukkan bahwa di Indonesia kebiasaan konsumsi jamu terdapat pada semua kelompok umur. Kelompok umur 55-64 tahun mengkonsumsi jamu paling banyak (67,69%), sedangkan konsumsi jamu terendah terdapat pada kelompok umur 15-24 tahun (42,85%). Secara keseluruhan, umur 35 tahun hingga 75 tahun ke atas mempunyai kebiasaan konsumsi jamu dengan persentase yang hampir sama.
Menurut jenis kelamin, perempuan mengkonsumsi jamu lebih tinggi (61,87%) dibandingkan dengan laki-laki (56,33%). Kebiasaan konsumsi jamu banyak terdapat baik di perkotaan maupun di perdesaan. Penduduk di perkotaan mengkonsumsi jamu lebih tinggi (64,29%) dibandingkan dengan penduduk di perdesaan (53,37%).
Kebiasaan mengkonsumsi jamu pada semua tingkat pendidikan memiliki persentase yang tidak berbeda jauh. Penduduk dengan tingkat pendidikan rendah memiliki persentase sekitar 60 persen, sementara pendidikan tinggi sekitar 56 persen. Tabel 3.6.2.2 juga menggambarkan bahwa semakin tinggi tingkat pengeluaran RT per kapita, terdapat kecenderungan semakin tinggi kebiasaan mengkonsumsi jamu.
c. Kebiasaan Mengkonsumsi Jamu Buatan Sendiri
Jamu buatan sendiri adalah jamu yang diracik sendiri oleh responden dengan menggunakan bahan baku yang segar, bisa berasal dari lingkungan rumah tangga atau mendapatkan bahan jamu yang beredar di pasaran. Persentase penduduk yang mempunyai kebiasaan mengkonsumsi jamu buatan sendiri dapat dilihat pada tabel 3.6.2.3.
Sebanyak 17,4 persen penduduk Indonesia yang berumur 15 tahun ke atas mengkonsumsi jamu dan meracik sendiri. Provinsi dengan persentase tertinggi adalah Maluku Utara (59,69%) dan terendah adalah DKI Jakarta (6,75%). DKI Jakarta merupakan provinsi yang paling tinggi persentase penduduk yang megkonsumsi jamu setiap hari, namun paling kecil persentasenya dalam membuat jamu sendiri.
d.Kebiasaan Megkonsumsi Jamu Buatan Sendiri menurut Karakteristik
Tabel 3.6.2.4 menunjukkan bahwa kelompok umur 45 sampai dengan 75 tahun ke atas mempunyai persentase kebiasaan mengkonsumsi jamu buatan sendiri berkisar antara 19,41 sampai 21,27 persen. Kelompok umur 15 sampai dengan 44 tahun memiliki persentase kebiasaan mengkonsumsi jamu buatan sendiri antara 14,06 sampai 16,90 persen.
Kebiasaan membuat dan mengkonsumsi jamu buatan sendiri pada jenis kelamin perempuan (18,32%) lebih besar daripada jenis kelamin laki-laki (16,31 %). Menurut tempat tinggal, penduduk yang mempunyai kebiasaan mengkonsumsi jamu buatan sendiri lebih tinggi di perdesaan (21,80%) daripada di perkotaan (14,06%). Tabel 3.6.2.4 juga menggambarkan bahwa semakin tinggi tingkat pengeluaran per kapita maka semakin rendah persentase penduduk yang mengkonsumsi jamu buatan sendiri.
e.Penggunaan Tanaman Obat Untuk Jamu Buatan Sendiri menurut Provinsi
Dalam membuat jamu sendiri, ada beberapa bahan tanaman obat dari pekarangan, dapur atau yang diperoleh dari tempat lain. Tanaman obat tersebut yaitu temulawak, jahe, kencur, meniran, pace, dan lainnya yang ditanyakan secara terbuka kepada responden. Persentase penggunaan beberapa tanaman obat dapat dilihat pada Tabel 3.6.2.5.
Dari tabel tersebut tergambar bahwa di Indonesia, tanaman obat yang paling banyak digunakan adalah jahe (50,36%), diikuti kencur (48,77%), temulawak (39,65%), meniran (13,93%) dan pace (11,17%). Selain tanaman obat di atas, sebanyak 72,51 persen menggunakan tanaman obat jenis lain.
Tabel tersebut juga menunjukkan bahwa persentase penggunaan temulawak terbanyak di Provinsi Nusa Tenggara Barat (85,00%) dan terendah di Bali (3,76%); penggunaan jahe terbanyak di Provinsi Nusa Tenggara Barat (82,10%) dan terendah di Bali (8,36%); penggunaan kencur terbanyak di Provinsi Kalimantan Selatan (78,64%) dan terendah di Bali (8,05%); penggunaan meniran terbanyak di Kepulauan Riau (28,75%) dan terendah di Sulawesi Tenggara (3,18%); penggunaan pace terbanyak di Provinsi Nusa Tenggara Barat (20,92%) dan terendah di Sulawesi Barat (0,81 %).
f. Pemilihan Bentuk Jamu menurut Provinsi
Selain mengkonsumsi jamu buatan sendiri, cukup banyak penduduk yang yang memperoleh jamu yang sudah beredar di pasaran. Tabel 3.6.2.6 menggambaran bahwa bentuk sediaan jamu yang paling disukai adalah bentuk cairan (55,3%), diikuti seduh/serbuk (44,1%), rebusan/rajangan (20,3%), dan persentase terendah adalah bentuk kapsul/pil/tablet (11,6%).
g. Kemanfaatan Konsumsi Jamu Menurut Provinsi
Kemanfaatan konsumsi jamu bagi kesehatan dapat diartikan sebagai upaya preventif, promotif, rehabilitatif maupun kuratif . Data persentase kemanfaatan dapat dilihat pada Tabel 3.6.2.7.
Sebanyak 95,60 persen penduduk Indonesia yang pernah mengkonsumsi jamu menyatakan bahwa konsumsi jamu bermanfaat bagi tubuh. Persentase penduduk yang merasakan manfaat dari mengkonsumsi jamu berkisar antara 83,23 persen hingga 96,66 persen.
h. Kemanfaatan Konsumsi Jamu Menurut Karakteristik
Tabel 3.6.2.8 menggambarkan bahwa semua kelompok umur merasakan adanya manfaat konsumsi jamu. Persentasenya meningkat seiring dengan meningkatnya kelompok umur, mulai dari 90,64 hingga 95,18 persen. Laki-laki dan perempuan merasakan manfaat yang sama, baik di perkotaan maupun perdesaan. Berdasarkan kenaikan tingkat pengeluaran RT per kapita, persentase penduduk yang merasakan manfaat dari mengkonsumsi jamu cenderung menurun dari 94,81 menjadi 91,99 persen.
Kesimpulan
1. Persentase penduduk Indonesia yang pernah mengkonsumsi jamu sebanyak 59,12 persen yang terdapat pada semua kelompok umur, laki-laki dan perempuan, baik di perdesaan maupun perkotaan.
2. Persentase penggunaan tanaman obat berturut-turut adalah jahe (50,36%), diikuti kencur (48,77%), temulawak (39,65%), meniran (13,93%), dan pace (11,17%). Selain tanaman obat di atas, sebanyak 72,51 % menggunakan tanaman obat jenis lain.
3. Bentuk sediaan jamu yang paling banyak disukai penduduk adalah cairan, diikuti seduhan/serbuk, rebusan/ rajangan, dan bentuk kapsul/pil/tablet.
4. Penduduk Indonesia yang mengkonsumsi jamu, sebesar 95,60 persen merasakan manfaatnya pada semua kelompok umur dan status ekonomi, baik di perdesaan maupun perkotaan .
DAFTAR PUSTAKA
1. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional. Laporan Singkat Pencapaian Millenium Development Goals Indonesia 2009.
2. Badan Pusat Statistik, Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, Departemen Kesehatan. Survei Demografi dan Kesehatan 2002-2003. ORC Macro 2002-2003.
3. Badan Pusat Statistik, Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, Departemen Kesehatan. Survei Demografi dan Kesehatan 2007. ORC Macro 2007.
4. Brown, Judith E. Et al., "Nutrition Through the Life Cycle, 2002. New York.
5. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Indonesia (Riskesdas). 2007
6. Departemen Kesehatan RI. SKRT 1995. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI. 1997
7. Departemen Kesehatan, Direktorat Epim-Kesma. Program Imunisasi di Indonesia, Bagian I, Jakarta, Depkes, 2003.
8. Departemen Kesehatan. 1995. Pedoman Umum Gizi Seimbang. Direktorat Bina Gizi Masyarakat. Departemen Kesehatan RI. Jakarta.
9. Departemen Kesehatan. Survey Kesehatan Nasional. Laporan.Depkes RI Jakarta. 2001.
10. Departemen Kesehatan. Survey Kesehatan Nasional. Laporan.Depkes RI Jakarta 2004.
11. Depkes RI, 2003, Pedoman Pemantauan Wilayah Setempat Kesehatan Ibu dan Anak (PWSKIA), Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat, Direktorat Kesehatan Keluarga, Jakarta.
12. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Penatalaksanaan Kasus Malaria di Indonesia. 2009.
13. Djaja, S. et al. Statistik Penyakit Penyebab Kematian, SKRT 1995
14. Hardinsyah & D. Martianto. 1989. Menaksir Kecukupan Energi dan Protein serta Penilaian Mutu Gizi Konsumsi Pangan. Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumber Daya Keluarga. Institut Pertanian Bogor. Penerbit Wirasari. Jakarta.
15. Hardinsyah dan V. Tambunan. 2004. Angka Kecukupan Energi, Protein, Lemak, dan Serat Makanan. Dalam Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VIII. Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. Jakarta 17-19 Mei 2004.
16. Institute of Medicine. 2005. Dietary Reference Intakes for Energy, Carbohydrate, Fiber, Fatty Acids. National Academy Press.
17. Kramer, M.S. and Kakuma, R. The Optimal Duration of Exclusive Breastfeeding. A Systimatic Review. WHO. 2001.
18. Kumar N. and Zheng H. Stage-specific gametocytocidal effect in vitro of the antimalaria drug qinghaosu on Plasmodium falciparum. Parasitol. Res 1990;76:214-218.
19. LA Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan R.I. Laporan SKRT 2001: Studi Kesehatan Ibu dan Anak.
20. Lembaga Demografi UI, 2010, Dasar-Dasar Demografi, Salemba Empat, Jakarta.
21. Papua Province Health Office. Case finding and treatment malaria patients 2006. Jayapura, Ministry of Health 2007.
22. Petunjuk Pelaksanaan Standar Pelayanan Minimal, Jakarta: Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat, Departemen Kesehatan RI., 2004
23. Policy Paper for Directorate General of Public Health, June 2002
24. Price RN, Nosten F, Luxemburger C ter Kuile FO, Paiphun L, Chongsuphajaisiddhi T. and White NJ. Effects of artemisinin derivatives on malaria transmissibility. Lancet 1996;347:1654-1658.
25. Rencana Strategis Departemen Kesehatan 2005-2009, Jakarta: Departemen Kesehatan RI, 2005
26. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010. Pedoman Pewawancara Petugas Pengumpul Data. Jakarta: Badan Litbangkes, Depkes RI, 2010
27. Sandjaja, Titiek Setyowati, Sudikno. Cakupan penimbangan balita di Indonesia. Makalah disajikan pada Simposium Nasional Litbang Kesehatan.Jakarta, 7-8 Desember 2005.
28. Sandjaja, Titiek Setyowati, Sudikno. Cakupan viramin A untuk bayi dan balita di Indonesia. Prosiding temu Ilmiah dan Kongres XIII Persagi, Denpasar, 20-22 November 2005.
29. Seri Survei Kesehatan Rumah Tangga DepKes RI, ISSN: 0854-7971, No. 15 Th. 1999
30. Sikka District Health Office. Malaria cases in Sikka District, 2000-2006. Maumere, Ministry of Health 2007.
31. UNICEF. Breast Crawl. Initiation of Breastfeeding by Breast Crawl. 2007.
32. WHO. Report of the Expert Consultation on the Optimal Duration of Exclusive Breastfeeding. Geneva, Switzerland. 28-30 March 2010.
33. World Health Organization. Antimalarial drug combination therapy. Report of WHO Technical Consultation. WHO/CDS/RBM/2001.35. Geneva., WHO 2001.
34. World Health Organization. World Malaria Report 2008. WHO/HTM/GMP/2008.1. Geneva, WHO 2008