Ads 468x60px

11 Desember, 2011

Hipospadia


Definisi
Hipospadia adalah salah satu kelainan bawaan pada anak-anak yang sering ditemukan dan mudah untuk mendiagnosanya, hanya pengolahannya harus dilakukan oleh mereka yang betul-beul ahli supaya mendapatkan hasil yang memuaskan.

Hipospadia merupakan kelainan kelamian bawaan sejak lahir, cirinya, letak lubang uretra terdapat di penis bagian bawah, bukan di ujung penis. Menurut dokter bedah urologi RSU Dr Kariadi, dr Andi, S. SpBU, berat hipospadia bervarian, kebanyakan lubang uretra terletak di dekat ujung penis, yaitu pada glans penis.

Bentuk hipospadia yang lebih berat terjadi jika lubang uretra terdapat di tengah bantang penis atau pada pangkal penis dan kadang pad skrotum (kantung zakar) atau di bawah skrotum. Kelainan ini sering kali berhubungan dengan kardi, yaitu suatu jaringan fibrosa yang kencang yang menyebabkan penis melengkung ke bawah pada saat ereksi.

Pada hipospadia muara orifisium uretra eksterna (lubang tempat air seni keluar) berada diproksimal dari normalnya yaitu pada ujung distal glans penis, sepanjang ventral batang penis sampai perineum. Jadi lubang saluran kencing letaknya bukan pada tempat yang semestinya dan terletak di sebelah bawah penis bahkan ada yang terletak di rentang kemaluan. 
Hipospadia sering disertai kelainan bawaan yang lain, misalnya pada scrotum dapat berupa undescensus testis, meorchisdism, disgenesis testis dan hidrotole pada penis berupa propenil scrotum mikrophalasus  dari torsi penile. Sedang kelainan ginjal dan ureter berupa fused kidney, malrotasi, duplek dan refluk ureter.

Etiologi
Trend peningkatan jumlah penderita salah satunya disebabkan faktor lingkungan dan pola hidup yang kurang sehat, akibatnya marak penggunaan pestisida serta tinginya kandungan polusi di udara. Zat polutan dari pabrik, limbah dan menumpuknya sampah bisa menimbulkan hipospadia. 

Dari beberapa pasien yang ditangani ternyata mereka tinggal disekitar daerah pembuangan sampah. Ada pula yang berasal ari keluarga petani. Penderita hipospadia umumnya berasal dari keluarga kurang mampu. Akibatnya banyak diantara penderita tak bisa segera ditangani.

Angka kejadian penderita hipospadia di Indonesia belum diketahui secara pasti, tetapi dari hasil penelitian pakar kedokteran di sejumlah negara, kelainan ini terjadi pada satu dari 125 bayi laki-laki kelahiran hidup. Salah satu penyebab kelainan ini adalah karena keturunan.

Penatalaksanaan
Tindakan operasi harus dilakukan sebelum anak memasuki usia sekolah, diharapkan anak tidak malu dengan keadaanya setelah tahu bahwa anak laki-laki lain kalau BAK beriri sedangkan anak pengidap hipospadia harus jongkok seperti anak perempuan (karena lubang penisnya berada di bagian bawah penis).
Selain itu jika hipospadia tidk dioperasi maka setelah dewasa dia akan sulit untuk melakukan penetrasi/coitus , selain penis tidak dapat tegak dan lurus (pada hipospadia penis bengkok akibat adanya chordae), lubangkeluar sperma terletak di bagian bawah.

Operasi hiposdia satu tahap (one stage urethra plasty) adalah tehnik operasi sederhana yang sering dapat digunakan terutama untuk hipospadia tipe distal. Tipe distal ini yang meatusnya letak anterior atau di middle. Meskipun hasilnya sering kurang begitu bagus untukkelainan yang berat sehingga banyak dokter lebih memilih untuk melakukan 2 tahap untuk tipe hipospadia proksimal yang disertai dengan kelainan yang jauh lebih berat maka one stage uretroplasty nyaris tidak dapat dilakukan.

Tipe hipospadia yang sering kali diikuti dengan kelainn-kelainan yang berat seperti korda yang berat, globuler glans ygbengkok kearah ventral (bawah) dengan dorsal skinhood dan propenil bifid scrotum. Intinya tipe hipospadi yang letak lubang air seninya lebih kearah proksimal (jauh dari tempat semestinya) biasanya diikuti dengan penis yang bengkok dan kelainan lain diskrotum atau sisa kulit yang sulit ditarik pada sat dilakukan operasi pembuatan uretra.

Kelainan seperti ini biasanya harus dilakukan dengan 2 tahap yaitu:
Tahap 1: Dilakukan untuk meluruskan penis supaya posisi meatus (lubang tempat keluar kencing) nantinya letaknya lebih proksimal (lebih mendekatiletak yang normal), memobilisasi kulit dan prepurium untuk menutup bagian ventral/bawah penis. 
Tahap 2: Dilakukan urethroplasty (pembuatan uretra) sesudah 6 bulan.

Tujuan utama penanganan operasi hipospadia adalah merekonstruksi penismenjadi lurus dengan meatus uretra ditempat yang normal atau dekat normal sehingga aliran kencing arahnya kedepan dan dapat melakukan koitus dengan normal, prosedur operasi satutahap pada usia yang dini dengan komplikasi yang minimal. Penyempurnaan tehnik operasi danperawatan paska operasi menjadi prioritas utama.

Setelah operasi biasanya pad lubang kencingbaru (post uretroplasty) masih dilindungi dengan kateter sampai luka betul-betul menyembuh dan dapat dialiri air seni. Di bagian supra pubik (bawah perut) dipasang juga kateter yang langsung menuju kandung kemih untuk mengalirkan air seni. Tahap penyembuhan biasanya kateter diatas di non fungsikan terlebih dahulu sampai seorang dokter yakin betul bahwa hasil urethroplasty nya dapat difungsikan dengan baik, baru setelah itu kateter di lepas.
Komplikasi paska operasi yang terjadi:
  • Edema/pembengkakan yang terjadi akibat reaksi jaringan, besarnya bervariasi, juga terbentuknya hematom/kumpulan darah dibawah kulit yang biasanya dicegah dengan balut tekan selama 2-3 hari pasca operasi.
  • Fitula uretrokutan, merupakan komplikasi yang tersering dan ini digunakan sebagai parameter untuk menilai keberhasilan operasi
  • Striktur, pada proksimal anastomosis, yang kemungkinan disebabkan oleh argulasi dari anestomosis
  • Divertikulum, terjadi pembentukan neuretra yang terlalu lebar, atau adanya srenosis meatal yang mengakibatkan dilatasi yang lanjut.
  • Residual chordae/rekuren (hordoe, akibat dari rilis korde yang tidak sempurna, diman tidak melakukan ereksi artificial saat operasi atau pembentukan skor yang berlebihan di ventral penis walaupun sangat jarang 
  • Rambut dalam uretra, yang dapat mengakibatkan infeksi saluran kencing berulang/pembentukan batu saat pubertas.


Fimosis


Definisi
Fimosis merupakan pengkerutan atau penciutan kulit depan penis. Fimosis merupakan suatu keadaan normal yang sering ditemukan pada bayi baru lahir atau anak kecit, dan biasanya pada masa pubertas akan menghilang dengan sendirinya.

Pada pria yang lebih tua, fimosis bisa terjadi akibat iritasi menzhun. Fimosis bisa mempengaruhi proses berkemih dan aktivitas seksual. Biasanya keadaan ini diatasi dengan melakukan penyunatan (sirkumsisi).
Fimosis adalah penyempitan pada prepusium. Kelainan ini juga menyebabkan bayi/anak sukar berkemih. Kadang-kadang begitu sukar sehingga kulit prepu¬sium menggelembung seperti balon. Bayi/anak sering menangis keras sebelum urine keluar. Keadaan demikian lebih baik segera disunat, tetapi kadang orang tua tidak tega karena bayi masih kecil. Untuk menolongnya dapat dicoba dengan melebarkan lubang prepusium dengar, cara mendorong ke belakang kulit prepusium tersebut dan biasanyaa akan terjadi luka. 

Untuk mencegah infeksi dan agar luka tidak merapat lagi pada luka tersebut dioleskan salep antibiotik. Tindakan ini mula-mula dilakukan oleh dokter. Selanjutrnya di rumah orang tua sendiri diminta tnelakukannya seperti y•ang dilakukan dokter (pada orang Barat, sunat dilakukan pada seorangbayi laki-laki ketika masih dirawat/ ketika baru lahir. Tindakan ini dimaksudkan untuk kebersihan/mencegah infeksi karena adanya smegma, bukan karena keagamaan).
Adanya smegma pada ujung prepusium juga menyulitkan bayi berkemih maka setiap memandikan bayi hendaknya prepusium didorong ke belakang kemudian ujungnya dibersihkan dengan kapas yang telah dijerang dengan air matang.

Etiologi
Fimosis pada bayi laki-laki yang barn lahir terjadi karena ruang di antara kutup dan penis tidak berkembang dengan¬ baik. Kondisi ini menyebabkan kulup menjadi melekat pada kepala penis, sehingga sulit ditarik ke arah pangkal. Penyebabnya bisa dari bawaan dari lahir, atau didapat, misalnya karena infeksi atau benturan. Bagaimana gejalanya? Untuk menandai apakah anak memang mengalami funosis, orang tua sebaiknya mencermati beberapa gejala berikut : Kulit penis anak tak bisa ditarik ke arah pangkal ketika akan dibersihkan. Anak mengejan saat buang air kecil karena muara saluran kencing diujung tertutup. Biasanya ia menangis dan pada ujung penisnya tampak menggembung. Air seni yang tidak lancar, kadang-kadang menetes dan memancar dengan arah yang tidak dapat diduga. Kalau sampai timbul infeksi, maka si buyung akan mengangis setiap buang air kecil dan dapat pula disertai demam.

Jika gejala-gejala di atas ditemukan pada anak, sebaiknya bawa ia ke dokter. Jangan sekali-kali mencoba membuka kulup secara paksa dengan menariknya ke pangkal penis. Tindakan ini berbahaya, karena kulup yang ditarik ke pangkal dapat menjepit batang penis dan menimbulkan rasa nyeri dan pembekakan yang hebat. Hal ini dalam istilah kedokteran disebut para Fimosis. Jika si Buyung mengalami kesulitan buang air kecil, dokter akan mencoba melebarkan kulit yang melekat, namun hal ini harus dilakukan dengan sangat hati-hati oleh seorang dokter yang berpengalaman.

Jika upaya ini gagal, maka tindakan sirkumsisi (sunat) adalah jaian keluarnya, apalagi jika fimosisnya menetap dan terjadi infeksi. Untuk melakukan sirkumsisi pada anak juga harus dipertimbangkan masalah pembiusannya karena jika si Buyung takut dan merasa sakit maka hal ini akan mempengaruhi kondisi kejiwaannya kelak kemudian hari. Selain itu jika si Buyung meronta-ronta karena taku[ atau sakit, mal:a tindakan sirkumsisi ini malah akan membahayakan, karena dapat melukai penisnya dan jahitan kulit penis tidak dapat dikerjakan secara sempurna (info-sehat.com)

Penatalaksanaan
Fimosis didapat (fimosis patologik, fimosis yang sebenarnya, true phimosis) timbu! kemudian setelah lahir. Hal ini berkaitan dengan kebersihan (higiene) alat kelamin yang buruk, peradangan kronik gtans penis dan kulit preputium (balanoposthitis kronik), atau penarikan berlebihan kulit preputium (forceful retraction) pada fimosis kongenital yang akan menyebabkan pembentukkan jaringan ikat (fibrosis) dekat bagian kulit preputiurn yang membuka.
Fimosis kongenital seringkali menimbulkan fenomena ballooning, yakni kulit preputium mengembang saat berkemih karena desakan pancaran air seni tidak diimbangi besarnya tubang di ujung preputium. Fenomena ini akan hilang dengan sendirinya, dan tanpa adanya fimosis patologik, tidak selalu menunjukkan adanya hambatan (obstruks) air seni. Selama tidak terdapat hambatan aliran air seni, buang air kecil berdarah (hematuria), atau nyeri preputium, fimosis bukan merupakan kasus gawat darurat. Fimosis kongenital seyogyanya dibiarkan saja, kecuali bila terdapat alasan agama dan/atau sosial untuk disirkumsisi. Hanva diperlukan penjelasan dan pengertian mengenai fimosis kongenital yang memang normal dan lazim terjadi pada masa kanak¬-kanak serta menjaga kebersihan alat kelamin dengan secara rutin membersihkannya tanpa penarikan kulit preputium secara berlebihan ke belakang batang penis dan mengembalikan kembali kulit preputium ke depan batang penis setiap selesai membersihkan. Upaya untuk membersihkan alat kelamin dengan menarik kulit preputium secara berlebihan ke belakang sangat berbahaya karena dapat menyebabkan luka, fimosis didapat, bahkan parafimosis. Seiring dengan berjalannya waktu, perlekatan antara lapis bagian dalam kulit preputium dan glans penis akan lepas dengan sendirinya. Walaupun demikian, jika fimosis menyebabkan hambatan aliran air seni, dipertukan tindakan sirkumsisi (membuang sebagian atau seluruh bagian kulit preputium) atau teknik bedah plastlk lainnya seperti preputioplasty (memperlebar bukaan kulit preputiurn tanpa memotongnya). Indikasi medis utama dilakukannya tindakan siricumsisi pada anak-anak adalah fimosis patotogik.

Penggunaan krim steroid topikal yang dioleskan pada kutit preputium 1 atau 2 kali sehari, selama 4-5 minggu, juga efektif dalam tatalaksana fimosis. Namun jika fimosis telah membaik, kebersihan atat ketamin tetap dijaga, kulit preputium harus ditarik dan dikembalikan lagi ke posisi semula pada saat mandi dan setelah berkemih untuk mencegah kekambuhan fimosis

Ensefalokel


Defenisi
Ensefalokel adalah suatu kelainan tabung saraf yang ditandai dengan adanya penonjolan meningens (selaput otak) dan otak yang berbentuk seperti kantung melalui suatu lubang pada tulang tengkorak. Ensefalokel disebabkan oleh kegagalan penutupan tabung saraf selama perkembangan janin.

Gejala 
Gejalanya berupa : 
Hidrosefalus
kelumpuhan keempat anggota gerak (kuadriplegia spastik)
gangguan perkembangan
mikrosefalus
gangguan penglihatan
keterbeiakangan mental dan pertumbuhan 
ataksia
kejang.
Beberapa anak memiliki kecerdasan yang normal. ensefalokel seringkali disertai dengan kelainan kraniofasial atau kelainan otak lainnya.

Etiologi
Ada beberapa dugaan penyebab penyakit itu diantaranya, infeksi, faktor usia ibu yang tertaiu muda atau tua ketika hamil, mutasi genetik, serta pola makan yang tidak tepat sehingga mengakibatkan kekurangan asam folat. Langkah selanjutnya, sebelun hamil, ibu sangat disarankan mengonsumsi asam folat dalam jumlah cukup. Pemeriksaan laboratorium juga diperlukan untuk mendeteksi ada-tidaknya infeksi.

Penatalaksanaan
Mencegah Ensefalokel
Bagi ibu yang berencana hamil, ada baiknya mempersiapkan jauh jauh hari. Misalnya, mengonsumsi makanan bergizi serta menambah supfemen yang mengandung asam folat. Hal itu dilakukan untuk mencegah terjadinya beberapa kelainan yang bisa menyerang bayi_ Safah satunya, encephalocele atau ensefalokel. Biasanya dilakukan pembedahan untuk mengembalikan jaringan otak yang menonjol ke dalam tulang tengkorak, membuang kantung dan memperbaiki kelainan kraniofasial yang terjadi. Untuk hidrosefalus mungkin perlu dibuat suatu shunt. pengobatan lainnya bersifat, simtomatis dan suportif. Prognosisnya tergantung kepada jaringan otak yang terkena, lokasi kantung dan kelainan otak yang menyertainya

Meningokel


Meningokel merupakan penyakit kongenital dari kelainan embriologis yang disebut Neural tube defect (NTD). Meningokel disebabkan oleh banyak faktor dan metibatkan banyak gen (multifaktoral dan poligenik). Banyak sekali penetitian yang mengungkap bahwa sekitar tujuhpuluh persen kasus NTD dapat dicegah dengan suplementasi asam fclai, sehingga defisiensi asam folat dianggap sebagai salah satu faktor penting dalam teratogenesis meningokel. Basis molekut defisiensi asam folat adafah kurang adekuatnya enzim enzim yang mentransfer gugus, karbon dalam proses metiiasi protein dalam se1, baik dalam nukleus maupun mitokhondria, sehingga terjadi gangguan biosintesis DNA dan RNA. serta kenaikan kadar homosistein.

Defek tulang pada meningokel secara embriologis terjadi akibat gangguan proses neurulasi, yaitu tetap melekatnya ektoderm epidermis dengan ektoderm neural sehingga migrasi sei sel mesoderm pembentuk tulang ke tempat tersebut terhambat dengan akibat di area itu tidak terberttuk tuEang,(teari non separasi dari Stcmberg). Dalam proses ini, faktor pertumbuhan yang berfungsi memacu sintesis matriks tulang mungkin juga berperan. Terdapcit dua macarn faktor pertumbuhan dimaksud di atas yaitu TGF β (khususnya TGF, β1) dan IGF 1, yang dalam banyak penelitian telah dibuktikan aksinya pada pembentukan tulang.

Penelitian ini dilaksanakan untuk mengungkap korelasi defisiensi asam folat dengan kadar TGF, βl dan TGF 1 dalam serum maupun dalam tulang, serta korelasi kadar kedua faktor pertumbuhan tersebut dalam tulang kepala pasien meningokel dengan lebar defek. Bila kedua hal-Iadi teiah terungkap, maka proses teratogenesis meningokel menjadi lebih jelas. Penelitian ini menggunakan dua macam cara, sesuai dengan hipotesis yang hendak diuji, yaitu metode eks perimental laboratoris dengan hewan coba tikus dan metode observasional klinis pada pasien meningokel.

Derajat defisiensi asam folat dikelompokkan daiam kategori berat dan ringan sesuai dengan rangsum yang diberikan, yaitu rangsum sangat rendah folat dan rangsum rendah folat, sedangkan untuk kontrol adalah rangsum cukup folat. Komposisi rangsum dibuat sesuai dengan standar kandungan dan takaran purified diet yang selama ini telah digunakan, meliputi : glukosa, selulosa, casein non vitamin, sunflower oil, choline, mineral, vitamin tanpa folat dan trace element asam folat dengan tiga takaran yang berbeda untuk setiap kelompok hewan coba, diberikan lewat sonde oral. Enambelas minggu setelah pemberian diet, darah hewan coba diambil untuk pemeriksaan kadar asam folat, TGF β1 dan IGF I, Hewan kemudian dikawinkan, selelah janin lahir diambil tulang kepalanya untuk pemeriksaan kadar TGF 01 dan IGF 1. Pada pasien meningokel sewaktu operasi eksisi dengan metode standar, jaringan tulang tepi defek diambil sedikit untuk pemeriksaan TGF R1 dan IGF I, dan lebar defek diukur dengan antropometer Martin.

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan terdapat korelasi kadar-asam folat yang cukup kiuat dengan kadar TGF β1 dan IGF I, serta jumlah sel apoptosis dan nekrosis; demikian juga dengan proses terbentuknya defek tulang pada pasien meningokef. Hasi1 penelitian ini dapat memberikan sumbangan bagi ilmu pengetahuan tentang konsep baru terbentuknya defek tulang kepala pada meningokel yang dikaitkan dengan defisiensi asam fofat. Penefitian ini juga bermanfaat untuk memperluas aspek pencegahan bagi kasus meningokel dan kelainan neural tube defect pada umumnya, serta aspek pengobatan terhadap kasus defek tulang kepala, bahkan sejak pasien masih berada di dalam kandungan

Kelainan Kongenital


Kelainan kongenital merupakan kelainan dalam pertumbuhan struktur bayi yang timbul sejak kehidupan hasil konsepsi sel telur. Kelainan kongenital dapat merupakan sebab penting terjadinya abortus, lahir mati atau kematian segera setelah lahir. Kematian bayi dalam bulan-bulan pertama kehidupannya sering diakibatkan oleh kelainan kongenital yang cukup berat, hal ini seakan-akan merupakan suatu seleksi alam terhadap kelangsungan hidup bayi yang dilahirkan. Bayi yang dilahirkan dengan kelainan kongenital besar, umumnya akan dilahirkan sebagai bayi berat lahir rendah bahkan sering pula sebagai bayi kecil untuk masa kehamilannya. Bayi berat lahir rendah dengan kelainan kongenital berat, kira-kira 20% meninggal dalam minggu pertama kehidupannya.

Di samping pemeriksaan fisik, radiologik dan hboratorik untuk menegakkan diagnosis kelainan kongenital setela6 bayi lahir, dikenal pula adanya diagnosis pre/ante-natal kelainan kongenital dengan beberapa cara pemeriksaan tertentu misalnya pemeriksaan ultrasonografi, pemeriksaan air keruban dan darah janin.

A. Faktor Etiologi
Penyebab langsung kelainan kongenital sering kali sukar diketahui. Pertumbuhan embrional dan fetal dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti faktor genetik, faktor lingkungan atau kedua faktor secara bersaman. Beberapa faktor etiologi yang diduga dapu mempengaruhi terjadinya kelainan kongenital antara lain:

Kelainan genetik dan kromosom
Kelainan genetik pada ayah atau ibu kemungkinan besar akan berpengaruh atas kejadian kelainan kongenital pada anaknva. DI antara kelainan-kelainan ini ada yang mengikuti hukum Mendel biasa, tetapi dapat pula diwarisi oleh bayi yang bersangkutan sebagai unsur dominan ("dominant traits") atau kadang-kadang ,sebagai unsur resesif. Penyelidikan dalam hal ini se ring sukar, tetapi adanya kelainan sama dalam satu keturunan dapat membantu langkah-langkah kongenital yang selanjutnya.

Dengan adanya kemajuan dalam bidang teknologi kedokteran, maka telah dapat diperiksa kemungkinan adanya kelainan kromosom selama kehidupan fetal serta telah dapat dipertimbangkan tindakan-tindakan seianjutnya. Beberapa contoh: kelainan kromosom autosomal trisomi 21 sebagai sindroma Down (mongolisme), kelainan pada kromosom kelamin sebagai sindroma Turner.
Faktor mekanik
Tekanan mekanik pada janin selama kehidupan intrauterin dapat menyebabkan kelainan bentuk organ tubuh hingga menimbulkan deformitas organ tersebut. Faktor predisposisi dalam penumbuhan organ itu sendiri akan memptrmudah terjadinya deformitas suatu organ. Sebagai contoh deformitas organ tubuh ialah kelainan talipes pada kaki seperti talipes varus, talipes valgus, talipes equinus dan talipes equinovarus. (clubfoot).

Faktor Infeksi
Infeksi yang dapat menimbulkan kelainan kongenital ialah infeksi yang terjadi pada periode organogenesis yakni dalam trimester pertama kehamilan. Adanya infeksi tertentu dalam periode organogenesis ini dapat menimbulkan gangguan dalam penumbuhan suatu organ tubuh. Infeksi pada trimester pertama di samping dapat menimbulkan kelainan kongenital dapat pula meningkatkan kemungkinan terjadinya abortus. Sebagai contoh infeksi virus pada trimester pertama ialah infeksi oleh virus Rubella. Bayi yang dilahirkan oleh ibu yang menderita infeksi Rubella pada trimester pertama dapat menderita kelainan kongenital pada mata sebagai katarak, kelainan pada sistem pendengaran sebagai tuli dan ditemukannya kelainan jantung bawaan. Beberapa infeksi lain pada- trimester pertama yang dapat menimbulkan kelainan kongenital antara lain ialah infeksi virus sitomegalovirus, infeksi toksoplasmosis. Kelainan-kelainan kongenital yang mungkin dijumpai ialah adanya gangguan pertumbuhan pada sistem saraf pusat seperti hidrosefalus, mikrosefalus, atau mikroptalmia.

Faktor obat
Beberapa jenis obat tertentu yang diminum wanita hamil pada trimester pertama kehamilan diduga sangat erat hubungannya dengan terjadinya kelainan kongenital pada bayinya. Salah satu jenis obat yang telah diketahui dapat menimbulkan kelainan kongenital ialah thalidomide yang dapat mengakibatkan terjadinya fokomelia atau mikromelia. Beberapa jenis jamu-jamuan yang diminum wanita hamil muda dengan tujuan yang kurang balk diduga erat pula hubungannya dengan terjadinya kelainan kongenital, walaupun hal MI secara laboratorik belum banyak diketahui secara pasti.

Sebaiknya selama kehamilan, khususnya trimester pertama, dihindari pemakaian obat-obatan yang tidak perlu sama sekali; walaupun hal in] kadang-kadang sukar dihindari karena calon ibu memang terpaksa harus minum obat. Hal ini misalnya pada pemakaian transkuilaiser untuk penyakit tertentu, pemakaian sitostatik atau preparat hormon yang tidak dapat dihindarkan; keadaan ini perlu dipertimbangkan sebaik-baiknya sebelum kehamilan dan akibatnya terhadap bayi.

Faktor umur ibu
Telah diketahui bahwa mongolisme lebih sering ditemukan pada bayi-bayi yang dilahirkan oleh ibu yang mendekati masa menopause. DI bangsal bayi baru lahir Rumah Sakit Dr Cipto Mangunkusumo pada tahun 1975-1979, secara klinis ditemukan angka kejadian mongolisme 1,08 per 100 kelahiran hidup dan citemukan risiko relatif sebesar 26,93 untuk kelompok ibu berumur 35 tahun atau lebih; angka kejadian yang ditemukan ialah 1 : 5500 untuk kelompok ibu berumur < 35 tahun, 1 : 600 untuk kelompok ibu berumur 35-39 tahun, 1 : 75 untuk kelompok ibu berumur 40-44 tahun dan 1 : 15 untuk kelompok ibu berumur 45 tahun atau lebih.

Faktor hormonal
Faktor hormonal diduga mempunyai hubungan pula dengan kejadian kelainan kongenital. Bayi yang dilahirkan oleh ibu hipotiroidisme atau ibu penderita diabetes mellitus kemungkinan untuk mengalami gangguan pertumbuhan lebih besar bila dibandingkan dengan bayi yang normal.

Faktor radiasi
Radiasi pada permulaan kehamilan mungkin sekali akan dapat menimbulkan kelainan kongenital pada janin. Adanya riwayat radiasi yang cukup besar pada orang tua dikhawatirkan akan dapat mengakihatkan mutasi pada gene yang mungkin sekali dapat menyebabkan kelainan kongenital pada bayi yang dilahirkannya. Radiasi untuk keperluan diagnostik atau terapeutik sebaiknya dihindarkan dalam masa kehamilan, khususnya pada hamil muda.

Faktor gizi
Pada binatang percobaan, kekurangan gizi berat dalam masa kehamilan dapat menimbulkan kelainan kongenital. Pada manusia, pada penyelidikan-penyelidikan menunjukkan bahwa frekuensi kelainan kongenital pada bayi-bayi yang dilahirkan oleh ibu yang kekurangan makanan lebih tinggi bila dibandingkan dengan bayi-bayi yang lahir dari ibu yang balk gizinya. Pada binatang percobaan, adanya defisiensi protein, vitamin A riboflavin, folic acid, thiamin dan lain-lain dapat menaikkan kejadian kelainan kongenital

Proses Manajemen Keperawatan


A. Pengkajian - Pengumpulan Data
Pada tahap ini seorang manager dituntut tidak hanya mengumpulkan informasi tentang keadaan pasien, melainkan juga mengenai institusi (Rumah Sakit/Puskesmas), tenaga keperawatan, administrasi, dan bagian keuangan yang akan mempengaruhi fungsi keperawatan secara keseluruhan.

Manajer perawat yang efektif harus mampu memanfaatkan proses manajemen dalam mencapai suatu tujuan melalui usaha orang lain. Bila ia memimpin anggota staf, maka manajer harus bertindak secara terencana dan efektif serta mampu menjalankan pekerjaan bersama dengan para perawat dari beberapa  level hirarki  serta didasarkan pada informasi penuh dan akurat tentang apa yang perlu dan harus diselesaikan, dengan cara dan alasan apa, tujuan dan sumber daya apa yang tersedia untuk melaksanakan rencana itu. Selanjutnya, manajer yang efektif harus mampu mempertahankan suatu level yang tinggi bagi efesiensi pada salah satu bagian dengan cara menggunakan ukuran pengwasan untuk mengidentifikasi masalah dengan segera, dan setelah mereka terbentuk kemudian dievaluasi apakah rencana tersebut perlu diubah atau prestasi karyawan yang perlu dikoreksi.

Proses adalah suatu rangkaian tindakan yang mengarah pada suatu tujuan. Di dalam proses keperawatan, bagian akhir mungkin berupa sebuah pembebasan dari gejala, eliminasi resiko, pencegahan komplikasi, argumentasi pengetahuan atau keterampilan kesehatan dan kemudahan dari kebebasan maksimal. Di dalam proses manajemen keperawatan, bagian akhir adalah perawatan yang efektif dan ekonomis bagi semua kelompok pasien.

B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah menganalisis data subjektif dan objektif untuk membuat diagnosa keperawatan. Diagnosa keperawatan melibatkan proses berpikir kompleks tentang data yang dikumpulkan dari klien, keluarga, rekam medik, dan pemberi pelayanan kesehatan yang lain.
The North American Nursing Diagnosis Association (NANDA, 1992) mendefinisikan diagnosa keperawatan semacam keputusan klinik yang mencakup klien, keluarga, dan respon komunitas terhadap sesuatu yang berpotensi sebagai masalah kesehatan dalam proses kehidupan.
  • Dalam membuat diagnosa keperawatan dibutuhkan ketrampilan klinik yang baik, mencakup proses diagnosa keperawatan dan perumusan dalam pembuatan pernyataan keperawatan.
  • Proses diagnosa keperawatan dibagi menjadi kelompok interpretasi dan menjamin keakuratan diagnosa dari proses keperawatan itu sendiri. Perumusan pernyataan diagnosa keperawatan memiliki beberapa syarat yaitu mempunyai pengetahuan yang dapat membedakan antara sesuatu yang aktual, risiko, dan potensial dalam diagnosa keperawatan.

C. Intervensi
Intervensi keperawatan adalah preskripsi untuk perilaku spesifik yang diharapkan dari pasien dan/atau tindakan yang harus dilakukan oleh perawat. Intervensi dilakukan untuk membantu pasien dalam mencapai hasil yang diharapkan.

Intervensi keperawatan harus spesifik dan dinyatakan dengan jelas. Pengkualifikasian seperti bagaimana, kapan, di mana, frekuensi, dan besarnya memberikan isi dari aktivitas yang direncanakan. Intervensi keperawatan dapat dibagi menjadi dua yaitu mandiri yaitu dilakukan oleh perawat dan kolaboratif yaitu yang dilakukan oleh pemberi perawatan lainnya.

D. Implementasi 
Implementasi keperawatan adalah kategori dari perilaku keperawatan dimana tindakan yang diperlukan untuk mencapai tujuan dan hasil yang diperkirakan dari asuhan keperawatan dilakukan dan diselesaikan.

Implementasi mencakup melakukan, membantu atau mengarahkan kinerja aktivitas kehidupan sehari-hari, memberikan arahan keperawatan untuk mencapai tujuan yang berpusat pada klien, dan mengevaluasi kerja anggota staf, dan mencatat serta melakukan pertukaran informasi yang relevan dengan perawatan kesehatan berkelanjutan dari klien.

E. Evaluasi
Evaluasi mengacu kepada penilaian, tahapan, dan perbaikan. Pada tahap ini perawat menemukan penyebab mengapa suatu proses keperawatan dapat berhasil atau gagal. (Alfaro-LeFevre, 1994)
Perawat menemukan reaksi klien terhadap intervensi keperawatan yang telah diberikan dan menetapkan apa yang menjadi sasaran dari rencana keperawatan dapat diterima.Perencanaan merupakan dasar yang mendukung suatu evaluasi.
Menetapkan kembali informasi baru yang diberikan kepada klien untuk mengganti atau menghapus diagnosa keperawatan, tujuan, atau intervensi keperawatan. Menentukan target dari suatu hasil yang ingin dicapai adalah keputusan bersama antara perawat dank lien (Yura & Walsh, 1988)

Evaluasi berfokus pada individu klien dan kelompok dari klien itu sendiri. Proses evaluasi memerlukan beberapa keterampilan dalam menetapkan rencana asuhan keperawatan., termasuk pengetahuan mengenai standar asuhan keperawatan, respon klien yang normal terhadap tindakan keperawatan, dan pengetahuan konsep teladan dari keperawatan.

Penanganan Nyeri Pada Kanker Serviks


Kanker serviks masih merupakan masalah kesehatan perempuan karena insiden dan angka kematiannya yang tinggi. Kanker serviks adalah penyebab kematian kedua tersering pada wanita umur 15-34 tahun dan merupakan penyebab utama kematian pada wanita umur 35-54 tahun.1 Angka kematian yang tinggi berhubungan dengan keterbatasan sumber daya manusia, sarana dan prasarana, pengetahuan/pendidikan masyarakat, dan kebudayaan kesehatan. Akan tetapi faktor yang paling menonjol adalah keterlambatan diagnosis kanker serviks dimana sebagian besar terdiagnosis pada stadium invasif, stadium lanjut, bahkan stadium terminal.

Penanganan Nyeri Pada Kanker Serviks Stadium Lanjut
1. Obat-obatan
Analgesik merupakan pendekatan utama dalam penanganan nyeri kanker. Dengan koordinasi terapi primer seperti kemoterapi, radioterapi dan pembedahan, farmakoterapi dengan opioid, nonopioid dan analgesik ajuvan dilakukan per individu untuk mendapatkan keuntungan dan keseimbangan antara hilangnya nyeri dan tidak timbulnya efek samping.

WHO pada tahun 1986 mempublikasikan buku kecil dengan penuntun untuk pemberian obat untuk penderita dengan nyeri kanker. Penuntun ini memformulasikan mengenai konsep tangga analgesik (analgesik ladder). Tangga analgesik ini telah diuji di banyak negara baik negara maju dan negara yang sedang berkembang dengan hasil dapat mengobati lebih dari 80% penderita. Di negara yang sedang berkembang, tantangannya terletak pada pendidikan dan implementasi prinsip-prinsip dasar di balik tangga analgesik ini.

WHO Three Step ladder adalah sebagai berikut.
Step I: Penderita dengan nyeri kanker ringan sampai sedang harus diobati dengan analgesik nonopioid, yang harus dikombinasikan dengan obat-obat tambahan jika ada indikasi.
Step II: Penderita yang relatif tidak toleran dan menderita nyeri sedang sampai berat, atau yang gagal mendapatkan perbaikan setelah percobaan dengan analgesik nonopioid harus diobati dengan opioid konvensional yang digunakan untuk nyeri sedang (opioid lemah). Yang termasuk dalam golongan ini adalah kodein, hidrokodon, dihidrokodein, oksikodon profoksifen. Obat-obatan ini umumnya dikombinasikan dengan nonopioid dan bisa diberikan bersama-sama dengan analgesik ajuvan.
Step III: Penderita yang menderita nyeri berat, atau gagal mendapatkan perbaikan yang adekuat setelah pemberian obat pada tangga kedua, harus menerima opioid konvensional yang digunakan untuk nyeri berat (opioid kuat). Yang termasuk obat-obatan ini ialah morfin, oksikodon, hidromorfon, metadon, levofanol, fentanil. Obat-obatan ini bisa dengan petunjuk dosis yang sesuai, pengobatan ini memberikan kesembuhan pada 70-90% penderita.

Analgesik Nonopioid
Prostaglandin dibentuk dalam jaringan rusak dan tampaknya terlibat dalam mensensitisasi nosiseptor perifer terhadap rangsang nyeri. Pengaruh NSAID adalah untuk menghambat enzim siklooksigenase dan akibatnya akan menghambat sintesa prostaglandin. Prostaglandin merupakan mediator inflamasi yang mensensitisasi nosiseptor perifer. Prostaglandin, leukotriene dan tromboksan semuanya merupakan derivat asam arakhidonat yang teroksigenasi, suatu lemak poly unsatturated essensial. NSAID membuat siklooksigenase tidak aktif, dimana tugas siklooksigenase ini adalah mengkatalisa pembentukan siklik endoperoksida dari asam arakhidonat.

Analgesik Opioid
Opioid merupakan bahan yang paling efektif dalam mengobati komponen nosiseptor dari nyeri akut. Namun banyaknya pandangan keliru seputar penggunaan opioid, telah menghasilkan kecenderungan menggunakan dosis yang tidak adekuat pada jangka waktu lama. Sekali telah dibuat keputusan untuk menggunakan obat-obatan opioid, maka harus menggunakan dosis obat efektif yang logik dan essensial. 

Kodein
Kodein merupakan analgesik opioid yang paling sering digunakan untuk menangani nyeri ringan sampai sedang. Paling sering digunakan dalam kombinasi dengan aspirin atau asetaminofen. Waktu paruh plasma dan lama kerjanya biasanya berkisar antara 2-4 jam. 1,3,5

Hidrokodon
Merupakan analgesik oral yang poten yang kira-kira potensinya setengahdari morfin oral.1

Dihidrokodein
Merupakan analog kodein yang ekuianalgesik.1

Oksikodon
Oksikodon oral memiliki bioavailabilitas yang tinggi (60%) dan potensi analgesik yang dapat disamakan dengan morfin. Oksikodon yang digabungkan dengan aspirin atau asetaminofen berguna untuk nyeri sedang pada tangga II analgesic ladder. 1,3,5

Profoksifen
Profoksifen dimetabolisme menjadi non profoksifen yang mempunyai waktu paruh lama dan disertai dengan efek eksitasi, termasuk gemetar dan kejang. Efek ini tergantung dosis dan bukan merupakan masalah pada dosis profoksifen yang diberikan untuk nyeri sedang pada penderita non toleran. 

Morfin
Berdasarkan pada availabilitasnya, morfin dirancang sebagai preparat dasar untuk tangga III dari analgesik ladder. Preparatnya tersedia untuk penggunaan oral, rektal, parental dan pemberian intra spinal. Memiliki waktu paruh dan lama kerja 2-4 jam. Morfin mengalami glukoronidasi di hepar dan metabolitnya diekskresikan melalui ginjal.

Hidromorfon
Merupakan opioid dengan waktu paruh pendek. Dapat diberikan melalui oral, rektal, parenteral dan intra spinal. Kelarutannya, tingginya bioavailabilitasnya dan availabilitasnya pada preparat berkonsentrasi tinggi (10 mg/cc), membuatnya sesuai untuk infus subkutan.

Meperidin
Meperidin merupakan agonis opioid dengan waktu paruh pendek dengan efek sampingnya yang luas, sehingga penggunaannya dibatasi. Meperidin imetabolisme di hati menjadi normeperidin, yang merupakan metabolit aktif yang potensinya dua kali konvulsan. Akumulasi normeperidin setelah pemberian berulang ditandai dengan tremor, mioklonus multifokal dan kadang-kadang kejang.

Fentanil
Merupakan opioid semisintetik yang ditandai dengan potensinya yang tinggi,lipofilik, dan waktu paruhnya setelah pemberian bolus pendek. Perkembangannya sebagai sistem analgesik transdermal telah memperluas kegunaan klinisnya untuk menatalaksanakan nyeri kanker. Fentanil juga digunakan sebagai premedikasi untuk tindakan-tindakan yang menimbulkan nyeri.

Oksimorfon
Merupakan kelompok morfin dengan waktu paruh singkat yang tersedia dalam bentuk injeksi dan formula rektal. Oksimorfon kurang sering melepaskan histamin daripada morfin dan mungkin berguna untuk penderita yang mengalami gatal sebagai respon terhadap opioid.

Metadon
Metadon merupakan opioid sintetik dengan waktu paruh plasma yang sangat lama, kira-kira mencapai 24 jam (rentang waktu antara 13-100 jam). Walaupun memiliki waktu paruh lama,beberapa penderita memerlukan dosis pada interval 4-8 jam untuk mempertahankan efek analgesik. Tersedia dalam bentuk oral dan parenteral.

Levorfanol
Mempunyai waktu paruh lama (12-16 jam) yang tersedia dalam bentuk oral dan parenteral. Umumnya digunakan sebagai pilihan kedua pada penderita nyeri kanker kronik yang tidak dapat diatasi dengan morfin.

Cara Pemberian Opioid
a. Oral
Pemberian opiod oral tetap merupakan pemberian paling penting dan paling sesuai dalam praktek klinis. Pemberian oral memiliki onset kerja yang lebih lama dan waktu puncak dicapai lebih lama daripada parenteral. Pemberian opioid secara oral tidak sesuai untuk penderita yang mengalami kesulitan menelan atau menderita obstruksi gastrointestinal, dan untuk penderita yang memerlukan onset analgesik yang cepat. Pada pemberian oral, opioid diabsorbsi dari saluran cerna langsung ke sirkulasi portal, dimana kemudian diangkut ke liver. Obat ini dimetabolisme menjadi produk inaktif sebelum mencapai sirkulasi sistemik yang dikenal sebagai hepatic first pass effect. Efek ini menyebabkan timbul persepsi bahwa pemberian opioid oral tidak efektif.

b. Rektal
Cara pemberian melalui rektal merupakan pilihan noninvasif pada penderita yang tidak mungkin menggunakan opioid oral. Potensi yang dicapai oleh opioid per rektal kira-kira sama dengan yang dicapai dengan pemberian oral. Pemberian opioid rektal telah diajukan pada penderita yang tidak dapat menelan, atau mereka yang sering sekali mengalami mual dan muntah setelah pemberian oral. Pada beberapa penelitian, bioavailabilitas pemberian per rectal serupa dengan pemberian oral.

c. Transdermal
Tersedia formula transdermal dari fentanil yang dapat mengeluarkan atau 100 µg per jam. Indikasi pemberian secara transdermal ialah toleransi obat oral, gagal dipenuhinya efek analgesik dengan pemberian oral.

d. Sublingual
Pemberian sublingual terutama berguna pada penderita-penderita yang mengeluh mual, muntah, dan disfagi, yang tidak dapat mentoleransi pemberian oral. Secara teori, pemberian ini memberikan keuntungan absorbsi sistemik daripada yang melalui portal. Absorbsi sublingual dari metadon, fentanil, dan bufrenorfin dari larutan alkalin telah menunjukkan pencapaian efek analgesic yang sangat cepat. Absorbsi sublingual dapat terjadi pada setiap opioid, tetapi bioavailabilitasnya sangat jelek pada obat yang tidak bersifat lipofilik seperti morfin.

e. Parenteral
Dipilih untuk penderita yang memerlukan onset analgesik segera dosis yang sangat tinggi atau penderita yang tidak bisa menelan atau terdapat obstruksi gastrointestinal.

Seputar Nyeri Pinggang


Anatomi Pinggang 
Sebelum membicarakan lebih lanjut tentang nyeri pinggang atau LBP, ada baiknya kita lihat dulu susunan normal/anatomi yang membentuk pinggang . Struktur penting yang membentuk pinggang antara lain : tulang belakang (vertebra), sendi tulang belakang, ligamentum yang mengikat tulang belakang, serat saraf, otot, organ dalam perut dan pelvis serta kulit yang menutupi daerah pinggang.   
   
Tulang belakang diciptakan sedemikian rupa sehingga mampu bergerak sesuai kehendak sembari melindungi serat saraf yang ada di dalamnya. Dibagian belakang setiap tulang, terbentuk tonjolan khusus yang disebut prosesus spinosus yang salah satu fungsinya adalah melindungi serat saraf yang lewat di depannya. 

Diskus atau piringan sendi adalah bagian atas dan bawah dari tulang belakang yang menghubungkan antara satu tulang dengan tulang yang lain. Selain memudahkan pergerakan, diskus ini juga berfungsi untuk meminimalisasi tekanan yang terjadi pada rongga serat saraf. 

Ligamentum adalah jaringan ikat yang sangat kuat guna memegang tulang belakang agar tidak terlepas satu dengan yang lainnya. Serat saraf yang lewat melalui tulang belakang berfungsi untuk menghantarkan rasangan sensoris maupun motoris ke organ yang ada di bawahnya. 

Fungsi Pinggang 
Daerah pinggang mempunyai fungsi yang sangat penting pada tubuh manusia. Fungsi penting tersebut antara lain, membuat tubuh berdiri tegak, pergerakan, dan melindungi beberapa organ penting. 
Saat kita berdiri, pinggang berfungsi sebagai penyangga sebagian besar berat badan. Saat kita menggoyangkan pinggul, pinggang akan ikut membantu pergerakan. Sehingga untuk mendeteksi kelainan pada pinggang dapat dilakukan dengan menyuruh pasien berdiri tegak atau menggoyangkan pinggulnya. Fungsi terpenting dari semuanya adalah sebagai pelindung susunan saraf yang melintas sepanjang tulang belakang dan organ yang terdapat di dalam rongga perut. 

Penyebab Tersering Nyeri Pinggang. 
Berikut adalah beberapa penyebab tersering dari nyeri pinggang atau low back pain (LBP). 

Peregangan Tulang Pinggang (akut, khronis) 
Peregangan tulang pinggang adalah cidera regangan pada ligamentum, tendon dan otot pinggang. Regangan akan menyebabkan luka yang sangat kecil pada organ tersebut. Cidera yang paling sering menjadi biang kerok dari nyeri pinggang ini, disebabkan oleh beberapa hal antara lain, pergerakan yang berlebihan, pergerakan yang tidak benar atau trauma. Disebut akut bila keadaan ini berlangsung dalam beberapa hari atau minggu, dan disebut khronis bila keadaan ini berlangsung lebih dari 3 bulan. 

Peregangan tulang pinggang sering terjadi pada orang yang berumur diatas 40 tahun. Terkadang keadaan ini bisa menyerang tanpa batasan usia. Gejala yang timbul dari keadaan ini antara lain adanya rasa tidak nyaman atau nyeri pada pinggang setelah pinggang mengalami tekanan mekanis. Derajat nyeri sangat tergantung dari seberapa banyak otot yang mengalami cidera. 

Diagnosis peregangan pinggang ditegakan melalui wawancara untuk mengetahui riwayat trauma yang terjadi, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan rontgen. 
Penanganan nyeri pinggang oleh karena peregangan yang paling utama adalah mengistirahatkan pingang agar tidak terjadi cidera ulangan. Obat obatan diperlukan untuk meredakan nyeri dan melemaskan otot yang kaku. Bisa pula dilakukan pemijatan, penghangatan dan penguatan otot pinggang, namun tetapi harus dilakukan secara hati hati. 

Iritasi saraf 
Serat serat saraf yang terbentang sepanjang tulang belakang dapat mengalami iritasi oleh karena pergeseran mekanis atau oleh penyakit. Keadaan ini termasuk penyakit diskus lumbar (radikulopathy), gangguan tulang, dan peradangan saraf akibat infeksi virus. 

Radikulopathy lumbar 
Radikulopathy lumbar adalah iritasi saraf yang disebabkan oleh karena rusaknya diskus antara tulang belakang. Kerusakan ini terjadi akibat dari adanya degenerasi dari cincin luar diskus, dan trauma atau kombinasi antara keduanya.
Penanganan penyakit ini memerlukan pengobatan konservatif dengan obat obatan atau bila keadaan parah bisa dilakukan tindakan pembedahan. 

Kondisi tulang dan sendi 
Kondisi tulang dan sendi yang bisa menyebabkan nyeri pinggang antara lain gangguang kongenital (bawaan), gangguan akibat proses degeneratif dan peradangan yang terjadi pada sendi. 

Penyebab Lain Nyeri Pinggang 
Penyebab lain dari nyeri pinggang antara lain : 

Gangguan ginjal 
Gangguan ginjal yang sering dihubungkan dengan nyeri pinggang antara lain infeksi ginjal, batu ginjal, dan perdarahan pada ginjal akibat trauma. Diagnosa ditegakan berdasarkan pemeriksaan kencing, dan pemeriksaan radiologi. 

Kehamilan 
Wanita hamil sering mengalami nyeri pinggang sebagai akibat dari tekanan mekanis pada tulang pinggang dan pengaruh dari posisi bayi dalam kandungan.  

Masalah pada organ peranakan 
Beberapa masalah pada organ peranakan perempuan yang dapat menimbulkan nyeri pinggang antara lain kista ovarium, tumor jinak rahim dan endometriosis. 

Tumor 
Nyeri pinggang bisa pula disebabkan oleh karena tumor, baik tumor jinak maupun ganas. Tumor dapat terjadi lokal pada tulang pinggang atau terjadi di tempat lain tetapi mengalami metastase atau penyebaran ke tulang pinggang. 

Penanganan Nyeri Pinggang 
Seperti telah dijelaskan diatas, penanganan nyeri pinggang sangat terggantung dari penyebab nyeri itu. Setiap kasus harus ditangani secara individual untuk mengetahui latar belakang dari keluhannya sehingga dapat dikelola dengan tepat. 

Prinsip utama penanganan nyeri pinggang adalah mengatasi nyerinya terlebih dahulu, setelah itu baru dicari penyebab dari nyeri pinggangnya.Sayangnya keluhan ini bisa kambuh kambuhan sehingga sangat menjengkelkan bagi beberapa pasien, untuk itu perlu dijelaskan dengan baik tentang kemungkinan kemungkinan yang terjadi.

Penanganan Nyeri Pada Bayi


Pada zaman dulu, bayi, terutama yang baru dilahirkan, seringkali dianggap belum mampu memberikan respons nyeri. Hal ini disebabkan, untuk dapat bereaksi terhadap nyeri atau rasa sakit, diperlukan susunan saraf yang sudah terbentuk dengan baik dan adanya pengalaman awal terhadap nyeri sehingga nyeri dapat diinterpretasikan dengan baik. Bayi yang baru dilahirkan dianggap belum memiliki sistem persarafan yang sempurna sehingga dianggap belum mampu merespons nyeri yang diterima dengan baik. 

Prosedur medis yang dilakukan di rumah sakit sering bersifat invasif dan dilakukan tanpa mempertimbangkan rasa nyeri yang mungkin dialami. Sampai akhir tahun 1980-an, operasi yang dilakukan pada bayi sering tanpa mempergunakan obat-obatan anestesi yang memadai. Demikian pula bayi-bayi prematur (kurang bulan) yang dirawat di ruangan intensif sering menerima perlakuan yang menimbulkan nyeri tanpa mendapatkan obat yang dapat mengurangi rasa nyeri. Perlakuan yang dimaksud adalah prosedur medis rutin yang harus dilakukan untuk mempertahankan stabilitas fisiknya seperti pengambilan darah, pemasangan infus, ataupun pemberian tranfusi. 

Penelitian-penelitian yang dilakukan dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa terdapat suatu fenomena baru mengenai nyeri, yaitu: 
  • Telah mulai dikenali secara luas bahwa pada bayi yang baru dilahirkan baik bayi yang cukup bulan (bayi yang dilahirkan pada saat kehamilan berusia lebih atau sama dengan 37 minggu) ataupun kurang bulan (bayi yang dilahirkan pada saat kehamilan berusia kurang dari 37 minggu), telah memiliki kemampuan untuk mengantarkan nyeri dengan sempurna. Hal ini disebabkan sistem persarafan dan hormonal yang terlibat dalam proses pengantaran respons nyeri telah terbentuk sempurna pada akhir trisemester kedua kehamilan.
  • Terdapat beberapa metode penanganan nyeri yang cukup mudah dilaksanakan sehingga pada akhirnya penanganan nyeri dapat dikerjakan dengan cara yang praktis dan tidak menimbulkan efek samping. Penanganan nyeri ini dikenal dengan metode yang tidak mempergunakan obat-obat antinyeri (non farmakologi) yang terutama diperuntukkan bagi rasa nyeri yang ditimbulkan tindakan medis minimal. Metode ini dianggap mampu mengurangi respons nyeri secara optimal dan dalam pelaksanaannya tidak memerlukan pengawasan yang intensif. 


Tiga Kelompok Nyeri pada Bayi
Nyeri yang dialami bayi dapat menimbulkan efek yang tidak saja akan dialami pada masa sekarang, namun juga berdampak di masa kehidupannya mendatang. Pada dasarnya pengaruh nyeri terbagi menjadi tiga kelompok yaitu efek segera, efek jangka pendek, dan efek jangka panjang. Masing-masing kelompok menimbulkan efek yang berbeda-beda. 
  • Efek segera: menimbulkan rasa ketakutan, kegelisahan, gangguan waktu tidur dan bangun, penurunan jumlah konsumsi makanan, peningkatan jumlah produksi asam lambung.
  • Efek jangka pendek: gangguan imunologis (pertahanan tubuh), keterlambatan penyembuhan, gangguan pembentukan emosi.
  • Efek jangka panjang: terbentuknya ingatan terhadap nyeri, retardasi pertumbuhan, perubahan dalam merespons nyeri. Nah, melihat respons terhadap nyeri yang dijelaskan di atas, mungkinkah efek nyeri dapat menjadi sedemikian luasnya? Jawabannya, mungkin, tergantung dari sisi mana kita memandang. Nyeri yang dapat menimbulkan efek seperti di atas adalah nyeri yang dialami berulang-ulang dan dalam intensitas yang cukup kuat. Namun bagaimana pun, intensitas nyeri yang dialami akan terekam dalam ingatan bayi sehingga di masa mendatang akan terjadi perubahan memori terhadap nyeri dan menyebabkan makin rendahnya nilai ambang terhadap nyeri. Pada beberapa bayi, sering terlihat reaksi ketakutan dan kegelisahan terhadap situasi dimana dia harus mengalami rasa nyeri ini. Di mata kita, terlihat sebagai respons yang dianggap "biasa", padahal dalam kenyataannya jika hal ini dialami berulangkali akan menimbulkan efek seperti yang telah dijelaskan di atas. 


Penanganan
Berbagai macam pertanyaan dapat muncul berkaitan dengan respons nyeri dan efeknya di masa mendatang. Tetapi ada beberapa prinsip yang bisa dipakai pegangan dalam menjawab sejumlah pertanyaan tersebut yaitu: 
  • Pada dasarnya, semua bentuk rasa nyeri yang diterima oleh bayi sebaiknya dihindari, jika tidak memungkinkan dapat dipakai beberapa cara penanganan nyeri secara praktis. 
  • Makin dini penanganan nyeri dilakukan, makin baik hasil yang akan diperoleh. Hal ini disebabkan oleh adanya rekaman terhadap rasa nyeri yang akan sangat berpengaruh terhadap bagaimana respons nyeri bayi Anda di masa mendatang. Penanganan nyeri dengan tidak memakai obat-obatan merupakan metode yang praktis, tidak menimbulkan efek samping dan mudah untuk dilaksanakan. Metode ini digunakan untuk penanganan nyeri yang disebabkan oleh prosedur medis minimal yang telah dijelaskan di atas. Penelitian yang dilakukan dalam beberapa tahun terakhir ini telah membuktikan bahwa pemberian larutan gula dan menyusui mampu menurunkan respons nyeri dengan optimal pada bayi. Sayangnya penelitian yang sama pada anak belum pernah dilakukan, sehingga belum dapat dijelaskan kegunaannya pada media ini. 
Berikut penjelasan selengkapnya:
  • Pemberian larutan gula Larutan gula yang mampu menurunkan respons nyeri berkisar antara 12-50% (di pasaran Indonesia dijual dalam kemasan 5%, 10%, 40%). Respons terhadap nyeri didapat oleh karena sensasi rasa manis pada larutan guna dapat merangsang munculnya opiate endogen dalam tubuh (zat analgesik alamiah yang terdapat dalam tubuh). Metode pemberiannya adalah dengan memberikan larutan ini melalui semprit 2-3 menit sebelum melakukan imunisasi, pengambilan infus, dll. Respons nyeri yang dapat diturunkan cukup besar yaitu berkisar 50% dari respons nyeri yang sesungguhnya. Larutan gula merupakan teknik penanganan nyeri yang dapat dilaksanakan di rumah sakit, termasuk di ruangan intensif dimana prosedur medis minimal ini sering dikerjakan. Permasalahannya, bagaimana jika nyeri ini juga dialami di luar rumah sakit atau di tempat-tempat yang tidak memiliki cukup perawat terlatih untuk mengerjakannya? Ambillah contoh pemberian imunisasi yang merupakan program rutin yang dapat dilakukan di mana saja seperti Posyandu, tempat praktik bidan, dokter, ataupun Puskesmas pembantu. 
  • Menyusui, Menyusui merupakan proses alamiah yang dapat dikerjakan oleh semua ibu yang memiliki bayi. Telah dikenal secara luas berbagai manfaat yang didapat dari ASI dan proses menyusui itu sendiri. Kini, manfaat itu bertambah lagi dengan ditemukannya efek analgesik dari menyusui.  Seperti yang telah dijelaskan, efek analgesik dapat muncul dari sensasi rasa manis (terdapat pada ASI), efek ini dapat diperkuat dengan proses mengisap. Berdasarkan penelitian beberapa tahun terakhir didapatkan bahwa menyusui dapat menurunkan respons nyeri 3/4 dari respons semula. Sungguh suatu angka yang mengejutkan karena respons analgesiknya hampir menyerupai respons obat-obatan. Tekniknya hampir sama dengan pemberian larutan gula, namun menyusui dilanjutkan 2-3 menit setelah perlakuan yang menimbulkan nyeri diberikan. 


Kini, terdapat suatu metode yang sebenarnya sudah sangat familiar dengan kehidupan kita yang dapat dipergunakan untuk menurunkan respons nyeri dan mencegah efek yang merugikan di masa yang mendatang. Kebiasaan membiarkan bayi merasakan nyeri tanpa intervensi apapun, sebaiknya mulai dihilangkan, mengingat berbagai efek nyeri yang dapat muncul di masa mendatang. Pada bayi, menyusui dapat menjadi suatu alternatif yang mudah dilaksanakan dan dapat dilakukan di mana saja. 

Sedangkan pada anak, penanganan nyeri dapat dilakukan dengan pemberian obat yang bersifat lokal pada lokasi di mana perlakuan nyeri itu dikerjakan. Obat-obatan ini telah tersedia beberapa di apotek, namun sayang sekali belum banyak yang menggunakannya. 

Penanganan nyeri dalam bentuk apapun, dalam bentuk intervensi obat atau tanpa obat-obatan akan sangat berguna dalam mencegah efek nyeri di masa mendatang. 

Penanganan Nyeri Akut


Nyeri Akut
Adalah suatu keadaan dimana individu mengalami dan melaporkan adanya rasa ketidaknyamanan yang hebat atau sensasi yang tidak menyenangkan selama enam bulan atau kurang. (Carpenito, 1998: 55)

Batasan Karakteristik : 
Subjektif : Komunikasi (verbal atau penggunaan kode) tentang nyeri dideskripsikan
Objektif :
Perilaku sangat berhati-hati
Memusatkan diri
Fokus perhatian rendah (perubahan persepsi waktu, menarik diri dari hubungan sosial, gangguan proses fikir)
Perilaku distraksi (mengerang, menangis dll)
Raut wajah kesakitan (wajah kuyu, meringis)
Perubahan tonus otot
Respon autonom (diaforesis, perubahan tekanan darah dan nadi, dilatasi pupil, penurunan atau peningkatan frekuensi pernafasan).

Nyeri Kronis
Yaitu : keadaan dimana seseorang individu mengalami nyeri yang menetap atau intermiten dan berlangsung lebih dari enam bulan.

Batasan Karakteristik :
Mayor (Harus Terdapat)
Individu melaporkan bahwa nyeri telah ada lebih dari 6 bulan


Minor (Mungkin Terdapat)
Ketidaknyamanan
Marah, frustasi, depresi karena situasi
Raut wajah kesakitan
Anoreksia, penurunan berat badan
Insomnia
Gerakan yang sangat berhati-hati
Spasme otot
Kemerahan, bengkak, panas
Perubahan warna pada area terganggu
Abnormalitas refleks.

Diagnosa Tambahan
Kecemasan yang berhubungan dengan hilangnya kontrol
Ketakutan yang berhubungan dengan nyeri
Kelemahan yang berhubungan dengan pengobatan pada penyakit
Perubahan Penampilan Peran yang berhubungan dengan perubahan status kesehatan dan kerusakan koping
Perubahan Pola Sexualitas yang berhubungan dengan kesakitan dan nyeri
Kerusakan Mobilitas Fisik yang berhubungan dengan nyeri dan ketidaknyamanan
Aktifitas Intoleran yang berhubungan dengan nyeri dan/atau depresi
Gangguan Pola Tidur yang berhubungan dengan nyeri
Kurang Perawatan Diri (total atau sebagian) yang berhubungan dengan nyeri
Perubahan Pemeliharaan Kesehatan yang berhubungan dengan persaan tak berdaya.



Rencana Tindakan
Tujuan dari rencana tindakan untuk mengatasi nyeri antara lain :
1. Meningkatkan perasaan nyaman dan aman individu
2. Meningkatkan kemampuan individu untuk dapat melakukan aktifitas fisik yang diperlukan untuk penyembuhan (misal; batuk dan nafas dalam, ambulasi)
3. Mencegah timbulnya gangguan tidur

Intervensi
Secara umum intervensi yang dapat dilakukan untuk mengatasi nyeri dibagi menjadi 2 bagian besar, yaitu :
1. Non Farmakologik intervention : Distraksi, Relaksasi, Stimulasi Kutaneus
2. Farmakologi Intervention

Distraksi
Beberapa teknik distraksi, antara lain :
1. Nafas lambat, berirama
2. Massage and Slow, Rhythmic Breathing
3. Rhytmic Singing and Tapping
4. Active Listening
5. Guide Imagery

Relaksasi
Teknik relaksasi terutama efektif untuk nyeri kronik dan memberikan beberapa keuntungan, antara lain :
1. Relaksasi akan menurunkan ansietas yang berhubungan dengan nyeri atau stress
2. Menurunkan nyeri otot
3. Menolong individu untuk melupakan nyeri
4. Meningkatkan periode istirahat dan tidur
5. Meningkatkan keefektifan terapi nyeri lain
6. Menurunkan perasaan tak berdaya dan depresi yang timbul akibat nyeri

Stewart (1976: 959), menganjurkan beberapa teknik relaksasi berikut :
1. Klien menarik nafas dalam dan menahannya di dalam paru
2. Secara perlahan-lahan keluarkan udara dan rasakan tubuh menjadi kendor dan rasakan betapa nyaman hal tersebut
3. Klien bernafas dengan irama normal dalam beberapa waktu
4. Klien mengambil nafas dalam kembali dan keluarkan secara perlahan-lahan, pada saat ini biarkan telapak kaki relaks. Perawat minta kepada klien untuk mengkonsentrasikan fikiran pada kakinya yang terasa ringan dan hangat.
5. Ulangi langkah 4 dan konsentrasikan fikiran pada lengan, perut, punggung dan kelompok otot-otot lain
6. Setelah klien merasa relaks, klien dianjurkan bernafas secara perlahan. Bila nyeri menjadi hebat klien dapat bernafas secara dangkal dan cepat.

Stimulasi Kulit (Cutaneus)

Beberapa teknik untuk stimulasi kulit antara lain :
a. Kompres dingin
b. Analgesics ointments
c. Counteriritan, seperti plester hangat.
d. Contralateral Stimulation, yaitu massage kulit pada area yang berlawanan dengan area yang nyeri.

Farmakologik Agent

1. Analgesics
Obat golongan analgesik akan merubah persepsi dan interpretasi nyeri dengan jalan mendepresi Sistem Saraf Pusat pada Thalamus dan Korteks Cerebri. Analgesik akan lebih efektif diberikan sebelum klien merasakan nyeri yang berat dibandingkan setelah mengeluh nyeri. Untuk alasan ini maka analgesik dianjurkan untuk diberikan secara teratur dengan interval, seperti setiap 4 jam (q 4h) setelah pembedahan.
Terdapat dua klasifikasi mayor dari analgesik, yaitu :
a. Narcotic (Strong analgesics)
Termasuk didalamnya adalah : derivat opiate seperti morphine dan codein.
Narkotik menghilangkan nyeri dengan merubah aspek emosional dari pengalaman nyeri (misal : persepsi nyeri). Perubahan mood dan perilaku dan perasaan sehat membuat seseorang merasa lebih nyaman meskipun nyerinya masih timbul.
b. Nonnarcotics (Mild analgesics)
Mencakup derivat dari : Asam Salisilat (aspirin); Para-aminophenols (phenacetin); Pyrazolon (Phenylbutazone).
Meskipun begitu terdapat pula obat analgesik kombinasi, seperti kombinasi dari analgesik kuat (strong analgesics) dengan analgesik ringan (mild analgesics), contohnya : Tylenol #3, merupakan kombinasi dari acetaminophen sebagai obat analgesik nonnarkotik dengan codein, 30mg.

2. Plasebo
Plasebo merupakan jenis dari tindakan, seperti pada intervensi keperawatan yang menghasilkan efek pada klien dikarenakan adanya suatu kepercayaan daripada kandungan fisik atau kimianya (McCaffery, 1982:22). Pengobatannya tidak mengandung komponen obat analgesik (seperti : gula, larutan garam/normal saline, atau air) tetapi hal ini dapat menurunkan nyeri. Untuk memberikan plasebo ini perawat harus mempunyai izin dari dokter.

Medical Interventions
1. Blok Saraf (Nerve Block)
2. Electric Stimulation
3. Acupunture
4. Hypnosis
5. Surgery/Pembedahan
6. Biofeedback 

Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Anemia Pada Remaja Putri


Anemia merupakan masalah gizi di dunia, terutama di negara berkembang termasuk Indonesia. Angka  anemia gizi besi di Kabupaten Lampung Timur sebanyak 72,3%. Kekurangan besi pada remaja mengakibatkan pucat, lemah, letih, pusing, dan menurunnya konsentrasi belajar. Penyebabnya, antara lain: tingkat pendidikan orang tua, tingkat ekonomi, tingkat pengetahuan tentang anemia dari remaja putri, konsumsi Fe, Vitamin C, dan lamanya menstruasi. Angka prevalensi anemia di Indonesia,  yaitu pada remaja wanita sebesar 26,50%, pada wanita usia subur sebesar 26,9%, pada ibu hamil sebesar 40,1% dan pada balita sebesar 47,0%. Hasil pra survei terhadap 15 remaja putri  yang diperiksa Hb diperoleh hasil sebanyak 12 remaja putri (80%) mengalami anemia. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah faktor-faktor yang berhubungan  dengan  kejadian  anemia  pada  remaja putri kelas VII dan VIII di SMP. Tujuan penelitian adalah diketahuinya faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian anemia pada remaja putri

Penelitian ini  merupakan penelitian analitik dengan rancangan penelitian cross sectional. Populasinya adalah semua remaja putri kelas VII dan VIII di SMP yang berjumlah 220 orang, sedangkan sampel penelitian berjumlah 142 responden yang diperoleh berdasarkan teknik random sampling, dengan menggunakan alat ukur angket. Selanjutnya dianalisis menggunakan analisis univariat untuk mengetahui presentase dan analisis bivariat dengan uji chi square.

Hasil penelitian diperoleh bahwa terdapat kejadian anemia sebesar 65%, persentase lama menstruasi yang lebih dari 7 hari sebanyak 48,6%, persentase pengetahuan yang kurang sebanyak 45,8%, dan persentase pendidikan ibu yang rendah sebanyak 43,7%. Terdapat hubungan antara lama menstruasi dengan kejadian anemia dengan nilai X2 hitung (10,8) > X2 tabel (3,481), Ada hubungan antara pengetahuan dengan kejadian anemia dengan nilai X2 hitung (14,9) > X2 tabel (3,481), Ada hubungan antara pendidikan ibu dengan kejadian anemia dengan nilai X2 hitung (9,7) > X2 tabel (3,481).

Kesimpulan penelitian membuktikan adanya hubungan antara lama menstruasi, pengetahuan dan pendidikan ibu dengan kejadian anemia. Hal ini berarti menunjukkan bahwa faktor lama menstruasi, pengetahuan dan pendidikan ibu merupakan faktor yang berhubungan dengan kejadian anemia pada remaja putri. Berdasarkan hasil penelitian agar diupayakan untuk program penanggulangan anemia pada remaja putri kelas VII dan VIII di SMP, yaitu melalui UKS dengan cara menganjurkan guru BP agar bekerjasama dengan puskesmas untuk memberikan tablet Fe pada remaja putri.

Kata Kunci       : Lama Menstruasi, Pengetahuan, Pendidikan ibu, Kejadian Anemia
Daftar Bacaan  : 37 (1972 – 2010)


Anda tertarikUntuk melakukan penelitian yang sama dengan penelitian di atas
ANDA DAPAT MEMILIKI KESELURUHAN ISI KTI : PESAN SEKARANG JUGA

Teori tentang Kecemasan


Pengertian
Atkinson dkk. (1991) mendefinisikan kecemasan sebagai emosi yang tidak menyenangkan yang ditandai dengan rasa khawatir, keprihatinan dan rasa takut yang kadang-kadang dalam, dan dalam tingkat yang berbeda. Frued (dalam Atkinson dkk. 1991) mengatakan kecemasan sebagai suatu keadaan tegang. Sedangkan menurut Wolman dan Stricker (1994) kecemasan adalah keadaan yang tidak menyenangkan dan  menegangkan akan bencana yang tidak diharapkan

Harriman (1995) memberikan pengertian bahwa kecemasan adalah ketakutan  yang dirasakan karena ancaman berbahaya. Calhoum dan Acocella (1995) dan Kartono  (1997) menyebutkan bahwa kecemasan adalah ketakutan yang tidak nyata, suatu  perasaan terancam sebagai tanggapan terhadap sesuatu yang sebenarnya tidak  mengancam.

Steman (1994) mengatakan kecemasan sebagai suatu tanda dari adanya hal-hal  yang mengganggu ego. Menurut Sullivan (dalam Hall dan Lindzey 1994), kecemasan sebagai ketegangan akibat ancaman nyata dari luar yang membayangi keadaan seseorang.

Caplin (1997) mengatakan kecemasan dalam berbagai arti, yang pertama adalah perasaan campuran berisikan ketakutan dan keprihatinan mengenai masa-masa mendatang tanpa sebab khusus untuk ketakutan tersebut. Kedua, rasa takut atau  kekhawatiran kronis pada tingkat yang ringan. Ketiga, kekhawatiran atau ketakutan yang  kuat dan meluap. Keempat, adalah dorongan sekunder mencakup suatu reaksi penghindaran yang dipelajari.

Menurut Hawari (2001) pada individu yang cemas, gejalanya didominasi oleh  keluhan psikis (ketakutan dan kekhawatiran), tetapi dapat pula disertai keluhan somatis (fisik). Adapun gejala pada individu yang mengalami kecemasan adalah cemas, khawatir, bimbang, firasat buruk, takut akan pikirannya sendiri dan mudah tersinggung; merasa tegang, tidak tenang, gelisah, gerakan sering serba salah dan mudah terkejut; takut sendirian, takut keramaian dan banyak orang; gangguan pola tidur, mimpi-mimpi yang menegangkan; gangguan konsentrasi dan daya ingat; keluhan somatik seperti rasa sakit pada otot dan tulang, pendengaran berdengung (tinitus), berdebar-debar, sesak nafas, gangguan pencernaan, sakit kepala dan lain sebagainya.
Secara klinis, gejala cemas yang biasa disertai dengan kecemasan yang  menyeluruh dan menetap (paling sedikit berlangsung selama 1 bulan) dapat dikategorikan sebagai respon psikologis, dan respon psikos. Respon psikologis terdiri dari ketegangan motorik/alat gerak (gemetar, tegang, nyeri oto, letih, tidak dapat santai, kelopak mata bergetar, kening berkerut, muka tegang, gelisah, tidak dapat diam, dan muka kaget), hiperaktivitas saraf otonom (simpatis/parasimatetis, yang terdiri dari berkeringat berlebihan, jantung berdebar-debar, telapak tangan/kaki basah, muka kering, pusing, kepala terasa ringan, kesemutan, rasa mual, rasa aliran panas/dingin, sering buang air seni, diare, rasa tidak enak di hulu hati, kerongkongan tersumbat, muka merah atau pucat, dan denyut nadi dan nafas cepat.

Respon psikis merupakan rasa khawatir berlebihan tentang hal-hal yang akan  datang, dan kewaspadaan berlebihan. Rasa khawatir berlebihan bisa dalam bentuk cemas, khawatir, takut, bimbang, membayangkan akan datangnya kemalangan terhadap dirinya atau orang lain, berfirasat buruk. Kewaspadaan berlebihan bisa dalam bentuk mengalami lingkungan secara berlebihan sehingga mengakibatkan perhatian mudah teralih, sukar berkonsentrasi, gerakan serba salah, sukar tidur, merasa grogi, mudah tersinggung, dan tidak sabar.
Menurut Ramaiah (2003), gejala kecemasan paling lazim adalah kejengkelan umum (seperti rasa gugup, jengkel, tegang dan rasa panik), sakit kepala (seperti ketegangan otot khususnya kepala, di daerah lengkuk dan di tulang punggung, menyebabkan sakit kepala atau rasa tidak enak (denyut kesakitan), gemetaran pada sekujur tubuh, khusunya lengan dan tangan, aktivitas sistem motorik. Menurut Blakburn dan Davidson (1990), ada beberapa gejala kecemasan, di antaranya adalah suasana hati, pikiran, motivasi, perilaku gelisah, reaksi biologis, ketakutan, ketegangan, dan  kekhawatiran. Menurut Sue dkk. (dalam Haber dan Runyon, 1984) ada empat cara untuk mengetahui ada tidaknya kecemasan, yaitu secara koginitif, motorik, somatik, dan afeksi.

Secara kognitif, kecemasan dimanifestasikan ke dalam pikiran individu. Gejala yang tampak dalam diri individu menjadi cemas, sulit untuk berkonsentrasi, sulit untuk tidur, sulit untuk membuat keputusan, dan terlalu terpaku pada bahaya yang tidak jelas asalnya. Secara motorik, kecemasan dimanifesatikan ke dalam perilaku motorik seperti gerakan tidak beraturan, gerakan yang tidak terarah, yang bermula pada gemetaran secara halus kemudian meningkat intensitasnya. Secara somatic, kecemasan dimanifestasikan ke dalam reaksi fisik dan biologis. Perubahan somatik dapat dilihat dari pernafasan tidak teratur, dahi berkerut, muka pucat, berdebar-debar, tangan dan kaki dingin, mulut kering, sesak nafas, gangguan pencernaan dan sebagainya. Secara afeksi kecemasan dimanifestasikan pada perasaan emosi individu seperti adanya bahaya yang mengancam dan menimpa dirinya sehingga individu merasa tidak nyaman dan sangat khawatir dan  gelisah yang berlebihan.

Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kecemasan
Menurut Iskandar (1998), faktor yang memengaruhi kecemasan dibagi menjadi dua (2) yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal dari kecemasan berangkat dari pandangan psikoanalisis yang berpendapat bahwa sumber dari kecemasan itu bersifat internal dan tidak disadari. Menurut Freud (dalam Atkinson 1993), kecemasan merupakan akibat dari konflik yang tidak disadari antara implus dengan kendala yang ditetapkan oleh ego dan superego. Menurut Atkinson (1993) kecemasan lebih ditimbulkan oleh faktor eksternal dari pada faktor intrenal. Seorang yang mengalami kecemasan merasa bahwa dirinya tidak dapat mengendalikan situasi kehidupan yang bermacam-macam sehingga perasaan cemas hampir selalu hadir.
Penyebab kecemasan menurut Hardjana (1994) adalah keluarga, lingkungan sosial, bertambah atau berkurangnya anggota keluarga, dan perubahan kebiasaan. Menurut Thomas (1994), terdapat faktor potensial yang dapat membuat individu secara potensial mengalami kecenderungan untuk cemas secara umum, yaitu pewaris genetik, trauma mental, pikiran, dan kurang efektifnya mekanisme penyesuaian diri. Di samping faktor predisposisi, terdapat pula faktor terendap yang dapat menimbulkan kecemasan pada individu (Freeman dan Tomasso, 1994). Faktor tersebut adalah masalah fisik, penyebab eksternal, dan kepekaan emosional.

Rentang Respon Kecemasan
1. Kecemasan ringan
Kecemasan ini berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan sehari-hari dan menyebabkan seseorang menjadi waspada dan meningkatkan lahan persepsinya. Kecemasan dapat memotivasi belajar dan menghasilkan pertumbuhan dan kreatifitas.
Respon fisiologis dari kecemasan ringan ditandai dengan : sesekali napas pendek, nadi dan tekanan darah naik, gejala ringan pada lambung, muka berkerut dan bibir bergetar. Respon kognitif ditandai dengan : lahan persepsi meluas, mampu menerima rangsangan yang kompleks, konsentrasi pada masalah, dan dapat menyelesaikan masalah secara efektif. Respon perilaku dan emosi ditandai dengan : tidak dapat duduk dengan tenang, tremor halus pada tangan, dan suara kadang-kadang meninggi.

2. Kecemasan sedang
Kecemasan sedang memungkinkan seseorang untuk memusatkan perhatiannya pada hal yang menurutnya penting dan mengesampingkan yang lain. Sehingga seseorang mengalami perhatian yang selektif namun dapat melakukan sesuatu yang lebih terarah. Respon fisiologis pada tingkat kecemasan sedang adalah sering napas pendek, nadi ekstra sistole, tekanan darah naik, mulut kering, anoreksia, diare atau kosntipasi dan gelisah. Respon kognitif ditandai dengan : lahan persepsi menyempit, rangsang luar tidak mampu diterima, dan hanya berfokus pada apa yang menjadi perhatiannya. Respon perilaku dan emosi ditandai dengan gerakan tersentaksentak (meremas tangan), bicara banyak dan lebih cepat, susah tidur, perasaan tidak aman.

3. Kecemasan berat
Kecemasan berat sangat mengurangi lahan persepsi seseorang. Seseorang cenderung untuk memusatkan pada sesuatu yang terinci dan spesifik dan tidak dapat berpikir tentang hal lain. Semua perilaku ditujukan untuk mengurangi ketegangan. Orang tersebut memerlukan banyak pengarahan untuk dapat memusatkan pada suatu area lain. Respon fisiologisnya adalah napas pendek, nadi dan tekanan darah naik, berkeringat dan sakit kepala, penglihatan kabur, ketegangan. Respon kognitif ditandai dengan lapang persepsi sangat sempit, dan tidak mampu menyelesaikan masalah. Respon perilaku dan emosi : perasaan ancaman meningkat, vervalisasi cepat dan blockiing.

4. Panik
Panik berhubungan dengan terperangah, ketakutan dan teror. Rincian terpecah dari proporsinya. Karena mengalami kehilangan kendali, orang yang mengalami panik tidak mampu melakukan sesuatu walaupun dengan pengarahan. Panik melibatkan diorganisasi kepribadian, terjadi peningkatan aktivitas motorik, menurunnya kemampuan berhubungan dengan orang lain, persepsi yang menyimpang, dan kehilangan pemikiran yang rasional. Respon fisiologis pada tingkat ini adalah napas pendek, rasa tercekik dan palpitasi, sakit dada, pucat, hipotensi, koordinasi dan motorik rendah. Respon kognitif ditandai dengan lahan persepsi sangat sempit dan tidak dapat berpikir logis. Respon perilaku dan emosi : agitasi, mengamuk dan marah, ketakutan, berteriak-teriak, blocking, kehilangan kendali atau kontrol diri, dan persepsi kacau.


Rupture Perineum


1. Pengertian Rupture Perineum
Perineum merupakan bagian permukaan dari pintu bawah panggul yang terletak antara vulva dan anus. Perineum terdiri dari otot dan fascia  urogenitalis serta  diafragma pelvis. Rupture perineum adalah robekan yang terjadi pada  saat bayi   lahir baik   secara spontan maupun  dengan menggunakan   alat atau tindakan. Robekan perineum umumnya terjadi pada garis tengah dan bisa menjadi luas apabila kepala janin lahir terlalu cepat.   Robekan  perineum   terjadi pada hampir semua   primipara (Wiknjosastro,   2005: 665). Robekan dapat  terjadi bersamaan dengan atonia uteri. Perdarahan pasca persalinan dengan uterus yang  berkontraksi baik biasanya  disebabkan  oleh robekan  serviks atau vagina  (Mochtar,  1998).
Robekan perineum umumnya terjadi di garis tengah dan bisa menjadi luas apabila kepala janin lahir terlalu cepat, sudut arkus pubis lebih kecil dari pada biasa sehinga kepala janin terpaksa lahir lebih kebelakang dari pada biasa, kepala janin melewati pintu bawah panggul dengan ukuran yang lebih besar dari pada sirkumferensia suboksipito bregmatika, atau anak dilahirkan dengan pembedahan vagina. (Prawirohardjo, 2002).

2. Klasifikasi Ruptur Perineum
a. Ruptur Perineum Spontan
Yaitu luka pada perineum yang terjadi karena sebab-sebab tertentu tanpa dilakukan tindakan perobekan atau disengaja. Luka ini terjadi pada saat persalinan dan biasanya tidak teratur.
b. Ruptur perineum yang disengaja (Episiotomi)
Yaitu luka perineum yang terjadi karena dilakukan pengguntingan atau perobekan pada perineum: Episiotomi adalah torehan yang dibuat pada perineum untuk memperbesar saluran keluar vagina (Prawirohardjo, 2002).

Tingkat robekan perineum dapat dibagi atas 4 tingkatan : 
a. Tingkat I
Robekan hanya terjadi pada selaput lendir vagina dengan atau mengenai kulit perineum sedikit.
b. Tingkat II
Robekan yang terjadi lebih dalam, yaitu selain mengenai selaput lendir vagina, juga mengenai musculus perinei tranversalis, tapi tidak mengenai sfingter ani.
c. Tingkat III
Robekan yang terjadi mengenai seluruh perineum sampai mengenai otot-otot sfingter ani.
d. Tingkat IV
Robekan mengenai perineum sampai otot sfingter ani dan mukosa rektum (Prawirohardjo, 2002).
3. Tanda-tanda dan gejala rupture perineum
Tanda dan gejala robekan  rupture menurut Mochtar (1998) adalah sebagai berikut :
a. Tanda-tanda Rupture
1) Darah segar  yang mengalir  setelah  bayi lahir 
2) Uterus  tidak berkontraksi dengan baik
3) Plasenta tidak normal
b. Gejala  yang sering terjadi adalah:
1) Pucat
2) Lemah
3) Pasien dalam keadaan menggigil.

4. Penyebab Rupture Perineum
Penyebab dari  terjadinya robekan jalan lahir adalah: 
a. Partus presipitatus
b. Kepala janin  besar
c. Presentasi defleksi  (dahi, muka).
d. Primipara
e. Letak sungsang.
f. Pimpinan persalinan yang salah.
g. Pada obstetric dan embriotomi: ekstraksi vakum, ekstraksi forcep, dan embriotomi  (Mochtar, 1998).

Menurut Oxorn (2010), faktor-faktor yang menyebabkan ruptur perineum terdiri atas : 
a. Faktor maternal, mencangkup :
1) Partus presipitatus yang tidak dikendalikan dan tidak ditolong (sebab paling sering)
2) Pasien tidak mampu berhenti mengejan.
3) Partus diselesaikan secara tergesa-gesa dengan dorongan fundus yang berlebihan.
4) Edema dan kerapuhan pada perineum
5) Varikositas Vulva yang melemahkan jaringan-jaringan perineum.
6) Arcus pubis sempit dengan pintu bawah panggul yang sempit pula sehingga menekan kepala bayi ke arah posterior.
7) Perluasan episitomi. 
8) Posisi Persalinan (Wikjosastro, 2007)

b. Faktor janin mencangkup :
1) Bayi yang besar 
2) Posisi kepala yang abnormal, seperti presentasi muka
3) Kelahiran bokong
4) Ekstraksi forceps yang sukar
5) Dystocia bahu
6) Anomali kongenital, seperti hidrocephalus

Menurut Wiknjosastro (2007), terjadinya rupture perineum disebabkan oleh faktor ibu (paritas, jarak kelahiran dan berat badan bayi), pimpinan persalinan tidak sebagaimana mestinya, riwayat persalinan, ekstraksi cunam, ekstraksi vakum, trauma alat dan episiotomi.

5. Risiko  Robekan Jalan Lahir
Risiko yang ditimbulkan karena robekan jalan lahir adalah  perdarahan yang dapat menjalar ke segmen  bawah uterus (Mochtar,  1998).  Risiko lain yang dapat terjadi karena robekan jalan lahir dan perdarahan yang hebat adalah ibu tidak berdaya, lemah, tekanan  darah turun,  anemia dan berat badan turun.

6. Tindakan pada Rupture Perineum 
Tindakan yang dilakukan untuk robekan jalan lahir adalah sebagai berikut:
a. Memasang kateter ke dalam kandung kencing untuk  mencegah trauma terhadap uretra saat penjahitan  robekan jalan lahir
b. Memperbaiki  robekan  jalan lahir.
c. Jika perdarahan tidak berhenti, tekan luka dengan kasa secara kuat kira-kira selama beberapa menit. Jika perdarahan masih berlangsung, tambahkan satu atau lebih jahitan untuk menghentikan perdarahan
d. Jika perdarahan  sudah berhenti, dan ibu merasa nyaman dapat diberikan makanan dan minuman pada ibu.

7. Penanganan  Robekan Jalan Lahir
Menurut Mochtar (1998), penanganan robekan jalan lahir adalah:
a. Untuk mencegah  luka yang robek dan pinggir luka yang tidak rata dan kurang bersih pada beberapa keadaan dilakukan episotomi.
b. Bila  dijumpai  robekan  perineum dilakukan penjahitan luka dengan baik lapis demi lapis, dengan memperhatikan jangan ada robekan yang terbuka  ke arah vagina yang biasanya dapat dimasuki oleh bekuan darah yang akan menyebabkan luka lama sembuh.
c. Dengan memberikan antibiotik  yang cukup.
Tujuan penjahitan robekan perineum adalah untuk menyatukan kembali jaringan tubuh dan mencegah kehilangan darah yang tidak perlu. Penjahitan dilakukan dengan cara jelujur menggunakan benang catgut kromik.  Dengan memberikan anastesi lokal pada ibu saat penjahitan laserasi, dan mengulangi pemberian anestesi jika  masih terasa sakit.  Penjahitan  dimulai satu  cm dari puncak luka. Jahit  sebelah dalam  ke arah luar,  dari atas   hingga mencapai bawah laserasi. Pastikan jarak setiap  jahitan  sama  dan otot yang terluka telah  dijahit.  Ikat benang dengan  membuat simpul  dalam vagina.  Potong  ujung benang  dan sisakan  1,5 cm. melakukan  pemeriksaan ulang pada  vagina  dan jari paling  kecil ke dalam  anus untuk mengetahui  terabanya  jahitan pada   rectum karena bisa menyebabkan   fistula dan bahkan infeksi  (Depkes,  2004).

8. Pengobatan Robekan Jalan Lahir
Pengobatan yang dapat dilakukan untuk  robekan jalan lahir adalah dengan memberikan  uterotonika setelah lahirnya plasenta, obat  ini tidak  boleh diberikan sebelum  bayi  lahir.  Manfaat  dari pemberian obat ini  adalah  untuk  mengurangi terjadinya  perdarahan  pada kala III dan  mempercepat lahirnya  plasenta.
Perawatan luka perineum pada ibu setelah melahirkan berguna untuk mengurangi rasa ketidaknyamanan, menjaga kebersihan, mencegah infeksi dan mempercepat penyembuhan luka. Perawatan perineum umumnya bersamaan dengan perawatan   vulva. Hal-hal yang perlu  diperhatikan adalah  :
a.  Mencegah  kontaminasi dengan  rectum
b.  Menangani  dengan lembut jaringan luka
c.  Membersihkan  darah yang menjadi sumber  infeksi dan bau (Saifuddin, 2001).
9. Komplikasi
Risiko komplikasi yang mungkin  terjadi  jika rupture perineum  tidak segera di atas, yaitu :
a. Perdarahan
Seorang wanita dapat meninggal karena perdarahan pasca persalinan  dalam waktu satu jam setelah melahirkan. Penilaian dan penatalaksanaan yang cermat selama kala satu dan kala empat persalinan sangat penting. Menilai kehilangan darah yaitu dengan cara memantau tanda vital, mengevaluasi asal perdarahan, serta memperkirakan jumlah perdarahan lanjutan dan menilai tonus otot (Depkes, 2006).
b. Fistula
Fistula dapat terjadi tanpa diketahui penyebabnya karena perlukaan pada vagina menembus kandung kencing atau rectum. Jika kandung kencing  luka, maka air kencing akan segera keluar melalui vagina. Fistula dapat menekan  kandung kencing atau rectum yang lama antara kepala janin dan panggul, sehingga  terjadi iskemia (Depkes,  2006).
c.  Hematoma
Hematoma dapat terjadi akibat trauma partus pada persalinan karena adanya penekanan kepala janin serta  tindakan persalinan yang ditandai dengan  rasa nyeri pada  perineum  dan  vulva  berwarna biru dan merah. 
c. Infeksi
Infeksi pada  masa nifas adalah peradangan  di sekitar alat genetalia pada kala nifas.  Perlukaan  pada persalinan merupakan tempat masuknya  kuman ke dalam tubuh sehingga menimbulkan infeksi. Dengan ketentuan meningkatnya  suhu tubuh melebihi  380C, tanpa menghitung pireksia nifas. Setiap wanita yang mengalami pireksia nifas harus diperhatikan, diisolasi, dan dilakukan inspeksi  pada traktus gentitalis untuk  mencari laserasi, robekan atau luka episiotomi (Liwellyn, 2001).
Robekan jalan lahir selalu menyebabkan perdarahan yang berasal dari perineum, vagina, serviks dan robekan uterus (rupture uteri). Penanganan yang dapat dilakukan dalam hal ini adalah dengan melakukan  evaluasi  terhadap sumber dan jumlah perdarahan. Jenis   robekan perineum adalah mulai dari tingkatan ringan sampai dengan robekan yang terjadi pada seluruh  perineum yaitu  mulai dari derajat satu sampai dengan derajat empat. Rupture perineum dapat diketahui dari tanda dan gejala yang muncul serta  penyebab terjadinya. Dengan diketahuinya tanda dan gejala terjadinya rupture perineum, maka tindakan dan penanganan selanjutnya dapat dilakukan.

Fans Page