Ads 468x60px

11 Desember, 2011

Penanganan Nyeri Pada Kanker Serviks


Kanker serviks masih merupakan masalah kesehatan perempuan karena insiden dan angka kematiannya yang tinggi. Kanker serviks adalah penyebab kematian kedua tersering pada wanita umur 15-34 tahun dan merupakan penyebab utama kematian pada wanita umur 35-54 tahun.1 Angka kematian yang tinggi berhubungan dengan keterbatasan sumber daya manusia, sarana dan prasarana, pengetahuan/pendidikan masyarakat, dan kebudayaan kesehatan. Akan tetapi faktor yang paling menonjol adalah keterlambatan diagnosis kanker serviks dimana sebagian besar terdiagnosis pada stadium invasif, stadium lanjut, bahkan stadium terminal.

Penanganan Nyeri Pada Kanker Serviks Stadium Lanjut
1. Obat-obatan
Analgesik merupakan pendekatan utama dalam penanganan nyeri kanker. Dengan koordinasi terapi primer seperti kemoterapi, radioterapi dan pembedahan, farmakoterapi dengan opioid, nonopioid dan analgesik ajuvan dilakukan per individu untuk mendapatkan keuntungan dan keseimbangan antara hilangnya nyeri dan tidak timbulnya efek samping.

WHO pada tahun 1986 mempublikasikan buku kecil dengan penuntun untuk pemberian obat untuk penderita dengan nyeri kanker. Penuntun ini memformulasikan mengenai konsep tangga analgesik (analgesik ladder). Tangga analgesik ini telah diuji di banyak negara baik negara maju dan negara yang sedang berkembang dengan hasil dapat mengobati lebih dari 80% penderita. Di negara yang sedang berkembang, tantangannya terletak pada pendidikan dan implementasi prinsip-prinsip dasar di balik tangga analgesik ini.

WHO Three Step ladder adalah sebagai berikut.
Step I: Penderita dengan nyeri kanker ringan sampai sedang harus diobati dengan analgesik nonopioid, yang harus dikombinasikan dengan obat-obat tambahan jika ada indikasi.
Step II: Penderita yang relatif tidak toleran dan menderita nyeri sedang sampai berat, atau yang gagal mendapatkan perbaikan setelah percobaan dengan analgesik nonopioid harus diobati dengan opioid konvensional yang digunakan untuk nyeri sedang (opioid lemah). Yang termasuk dalam golongan ini adalah kodein, hidrokodon, dihidrokodein, oksikodon profoksifen. Obat-obatan ini umumnya dikombinasikan dengan nonopioid dan bisa diberikan bersama-sama dengan analgesik ajuvan.
Step III: Penderita yang menderita nyeri berat, atau gagal mendapatkan perbaikan yang adekuat setelah pemberian obat pada tangga kedua, harus menerima opioid konvensional yang digunakan untuk nyeri berat (opioid kuat). Yang termasuk obat-obatan ini ialah morfin, oksikodon, hidromorfon, metadon, levofanol, fentanil. Obat-obatan ini bisa dengan petunjuk dosis yang sesuai, pengobatan ini memberikan kesembuhan pada 70-90% penderita.

Analgesik Nonopioid
Prostaglandin dibentuk dalam jaringan rusak dan tampaknya terlibat dalam mensensitisasi nosiseptor perifer terhadap rangsang nyeri. Pengaruh NSAID adalah untuk menghambat enzim siklooksigenase dan akibatnya akan menghambat sintesa prostaglandin. Prostaglandin merupakan mediator inflamasi yang mensensitisasi nosiseptor perifer. Prostaglandin, leukotriene dan tromboksan semuanya merupakan derivat asam arakhidonat yang teroksigenasi, suatu lemak poly unsatturated essensial. NSAID membuat siklooksigenase tidak aktif, dimana tugas siklooksigenase ini adalah mengkatalisa pembentukan siklik endoperoksida dari asam arakhidonat.

Analgesik Opioid
Opioid merupakan bahan yang paling efektif dalam mengobati komponen nosiseptor dari nyeri akut. Namun banyaknya pandangan keliru seputar penggunaan opioid, telah menghasilkan kecenderungan menggunakan dosis yang tidak adekuat pada jangka waktu lama. Sekali telah dibuat keputusan untuk menggunakan obat-obatan opioid, maka harus menggunakan dosis obat efektif yang logik dan essensial. 

Kodein
Kodein merupakan analgesik opioid yang paling sering digunakan untuk menangani nyeri ringan sampai sedang. Paling sering digunakan dalam kombinasi dengan aspirin atau asetaminofen. Waktu paruh plasma dan lama kerjanya biasanya berkisar antara 2-4 jam. 1,3,5

Hidrokodon
Merupakan analgesik oral yang poten yang kira-kira potensinya setengahdari morfin oral.1

Dihidrokodein
Merupakan analog kodein yang ekuianalgesik.1

Oksikodon
Oksikodon oral memiliki bioavailabilitas yang tinggi (60%) dan potensi analgesik yang dapat disamakan dengan morfin. Oksikodon yang digabungkan dengan aspirin atau asetaminofen berguna untuk nyeri sedang pada tangga II analgesic ladder. 1,3,5

Profoksifen
Profoksifen dimetabolisme menjadi non profoksifen yang mempunyai waktu paruh lama dan disertai dengan efek eksitasi, termasuk gemetar dan kejang. Efek ini tergantung dosis dan bukan merupakan masalah pada dosis profoksifen yang diberikan untuk nyeri sedang pada penderita non toleran. 

Morfin
Berdasarkan pada availabilitasnya, morfin dirancang sebagai preparat dasar untuk tangga III dari analgesik ladder. Preparatnya tersedia untuk penggunaan oral, rektal, parental dan pemberian intra spinal. Memiliki waktu paruh dan lama kerja 2-4 jam. Morfin mengalami glukoronidasi di hepar dan metabolitnya diekskresikan melalui ginjal.

Hidromorfon
Merupakan opioid dengan waktu paruh pendek. Dapat diberikan melalui oral, rektal, parenteral dan intra spinal. Kelarutannya, tingginya bioavailabilitasnya dan availabilitasnya pada preparat berkonsentrasi tinggi (10 mg/cc), membuatnya sesuai untuk infus subkutan.

Meperidin
Meperidin merupakan agonis opioid dengan waktu paruh pendek dengan efek sampingnya yang luas, sehingga penggunaannya dibatasi. Meperidin imetabolisme di hati menjadi normeperidin, yang merupakan metabolit aktif yang potensinya dua kali konvulsan. Akumulasi normeperidin setelah pemberian berulang ditandai dengan tremor, mioklonus multifokal dan kadang-kadang kejang.

Fentanil
Merupakan opioid semisintetik yang ditandai dengan potensinya yang tinggi,lipofilik, dan waktu paruhnya setelah pemberian bolus pendek. Perkembangannya sebagai sistem analgesik transdermal telah memperluas kegunaan klinisnya untuk menatalaksanakan nyeri kanker. Fentanil juga digunakan sebagai premedikasi untuk tindakan-tindakan yang menimbulkan nyeri.

Oksimorfon
Merupakan kelompok morfin dengan waktu paruh singkat yang tersedia dalam bentuk injeksi dan formula rektal. Oksimorfon kurang sering melepaskan histamin daripada morfin dan mungkin berguna untuk penderita yang mengalami gatal sebagai respon terhadap opioid.

Metadon
Metadon merupakan opioid sintetik dengan waktu paruh plasma yang sangat lama, kira-kira mencapai 24 jam (rentang waktu antara 13-100 jam). Walaupun memiliki waktu paruh lama,beberapa penderita memerlukan dosis pada interval 4-8 jam untuk mempertahankan efek analgesik. Tersedia dalam bentuk oral dan parenteral.

Levorfanol
Mempunyai waktu paruh lama (12-16 jam) yang tersedia dalam bentuk oral dan parenteral. Umumnya digunakan sebagai pilihan kedua pada penderita nyeri kanker kronik yang tidak dapat diatasi dengan morfin.

Cara Pemberian Opioid
a. Oral
Pemberian opiod oral tetap merupakan pemberian paling penting dan paling sesuai dalam praktek klinis. Pemberian oral memiliki onset kerja yang lebih lama dan waktu puncak dicapai lebih lama daripada parenteral. Pemberian opioid secara oral tidak sesuai untuk penderita yang mengalami kesulitan menelan atau menderita obstruksi gastrointestinal, dan untuk penderita yang memerlukan onset analgesik yang cepat. Pada pemberian oral, opioid diabsorbsi dari saluran cerna langsung ke sirkulasi portal, dimana kemudian diangkut ke liver. Obat ini dimetabolisme menjadi produk inaktif sebelum mencapai sirkulasi sistemik yang dikenal sebagai hepatic first pass effect. Efek ini menyebabkan timbul persepsi bahwa pemberian opioid oral tidak efektif.

b. Rektal
Cara pemberian melalui rektal merupakan pilihan noninvasif pada penderita yang tidak mungkin menggunakan opioid oral. Potensi yang dicapai oleh opioid per rektal kira-kira sama dengan yang dicapai dengan pemberian oral. Pemberian opioid rektal telah diajukan pada penderita yang tidak dapat menelan, atau mereka yang sering sekali mengalami mual dan muntah setelah pemberian oral. Pada beberapa penelitian, bioavailabilitas pemberian per rectal serupa dengan pemberian oral.

c. Transdermal
Tersedia formula transdermal dari fentanil yang dapat mengeluarkan atau 100 µg per jam. Indikasi pemberian secara transdermal ialah toleransi obat oral, gagal dipenuhinya efek analgesik dengan pemberian oral.

d. Sublingual
Pemberian sublingual terutama berguna pada penderita-penderita yang mengeluh mual, muntah, dan disfagi, yang tidak dapat mentoleransi pemberian oral. Secara teori, pemberian ini memberikan keuntungan absorbsi sistemik daripada yang melalui portal. Absorbsi sublingual dari metadon, fentanil, dan bufrenorfin dari larutan alkalin telah menunjukkan pencapaian efek analgesic yang sangat cepat. Absorbsi sublingual dapat terjadi pada setiap opioid, tetapi bioavailabilitasnya sangat jelek pada obat yang tidak bersifat lipofilik seperti morfin.

e. Parenteral
Dipilih untuk penderita yang memerlukan onset analgesik segera dosis yang sangat tinggi atau penderita yang tidak bisa menelan atau terdapat obstruksi gastrointestinal.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Ada pertanyaan ataupun komentar ....!

Fans Page