Sistem reproduksi tidak penting bagi kelangsungan hidup individu, tetapi penting bagi kelangsungan hidup spesies dan menimbulkan dampak besar pada kehidupan seseorang.
Tema sentral buku ini adalah proses-proses fisiologis yang ditujukan untuk mempertahankan homeostasis untuk memastikan kelangsungan hidup individu. Sekarang kita akan keluar dari tema ini untuk membahas sistem reproduksi, yang terutama berfungsi memperbanyak spesies. Fungsi normal sistem reproduksi tidak ditujukan untuk homeostasis dan tidak penting bagi kelangsungan hidup individu, tetapi penting untuk kelangsungan hidup spesies. Hanya melalui sistem reproduksilah cetak biru genetik yang kompleks dari tiap-tiap spesies dapat bertahan melebihi masa hidup tiap-tiap anggota spesies tersebut.
Walaupun sistem reproduksi tidak memberi kontribusi pada homeostasis dan tidak penting bagi kelangsungan hidup seseorang, sistem ini tetap berperan penting dalam kehidupan seseorang. Sebagai contoh, cara bagaimana orang berhubungan sebagai makhluk seksual sangat berperan dalam perilaku psikososial dan menimbulkan pengaruh penting pada bagaimana orang memandang diri mereka dan bagaimana mereka berinteraksi dengan orang lain. Fungsi reproduksi juga memiliki pengaruh mendalam pada masyarakat. Organisasi universal masyarakat ke dalam satuan-satuan keluarga menciptakan suatu lingkungan stabil yang kondusif untuk kelangsungan hidup spesies. Di pihak lain, ledakan populasi dan terkurasnya sumber daya alam yang diakibatkannya menyebabkan diupayakannya cara-cara untuk membatasi reproduksi.
Kemampuan reproduksi bergantung pada hubungan rumit antara hipotalamus, hipofisis anterior, organ reproduksi, dan sel sasaran hormon seks. Selain prosesproses biologis dasar tersebut, perilaku dan sikap seksual sangat dipengaruhi oleh faktor emosi dan moral sosiokultural masyarakat tempat individu berada. Kita akan memusatkan perhatian pada fungsi reproduksi dan seksual dasar yang berada di bawah pengaruh kontrol saraf dan hormon serta tidak mengkaji aspek-aspek psikologis dan sosial perilaku seksual.
Sistem reproduksi mencakup gonad dan saluran reproduksi.
Reproduksi bergantung pada penyatuan gamet (sel reproduktif atau sel germinatiwm) pria dan wanita, yang masing-masing memiliki separuh set kromosom, untuk membentuk individu baru dengan set kromosom yang utuh dan khas. Tidak seperti sistem tubuh lainnya, yang pada dasarnya identik pada kedua jenis kelamin, sistem reproduksi pria dan wanita sangat berbed:., sesuai dengan peran berbeda mereka dalam proses reproduksi. Sistem reproduksi pria dan wanita dirancang untuk memungkinkan penyatuan bahan genetik dari kedua mitra seksual, dan sistem wanita diperlengkapi untuk dapat menampung dan memberi makan keturunan sampai ke tahap perkembangan sampai keturunan tersebut dapat bertahan hidup secara independen di lingkungan eksternal.
Organ reproduksi primer, atau gonad, terdiri dari sepasang testis pada pria dan sepasang ovarium (indung telur) pada wanita. Pada kedua jenis kelamin, gonad matang melaksanakan fungsi ganda, yaitu (1) menghasilkan gamet (gametogenesis), yaitu spermatozoa (sperma) pada pria dan ovum (telur) pada wanita, dan (2) mengeluarkan hormon-hormon seks, terutama testosteron pada pria dan estrogen dan progesteron pada wanita.
Selain gonad, sistem reproduksi pada pria dan wanita juga mencakup saluran reproduksi, yaitu suatu sistem saluran yang dirancang untuk mengangkut atau menampung gamet setelah garnet tersebut diproduksi, ditambah berbagai kelenjar seks tambahan yang menyalurkan sekresi suportif mereka ke dalam saluran tersebut. Pada wanita, payudara juga dianggap sebagai organ reproduksi tambahan. Bagian sistem reproduksi yang tampak dari luar dikenal sebagai genitalia eksterna.
Karakterlstik seks sekunder adalah berbagai karakteristik eksternal yang tidak secara langsung terlibat dalam reproduksi tetapi membedakan pria dan wanita, misalnya konfigurasi tubuh dan distribusi rambut. Sebagai contoh, pada manusia, pria memiliki bahu yang lebih lebar sementara wanita memiliki pinggul yang melengkung, dan pria memiliki janggut sementara wanita tidak. Testosteron pada pria dan estrogen pada wanita merupakan penentu perkembangan dan pemeliharaan karakteristik tersebut. Pada sebagian, spesies, karakteristik seks sekunder sangat penting dalam perilaku pacaran (bercumbu) dan kawin; sebagai contoh, jengger ayam jago menarik perhatian ayam betina, dan tanduk pada menjangan jantan bermanfaat untuk mengusir jantan lain. Pada manusia, tanda-tanda yang membedakan antara pria dan wanita memang menarik perhatian lawan jenis, tetapi daya tarik sangat dipengaruhi oleh kompleksitas masyarakat manusia dan perilaku budaya.
Fungsi reproduksi penting pada pria adalah (1) pembentukan sperma (spermatogenesis) dan (2) penyaluran sperma pada wanita. Organ penghasil sperma, testis, tergantung di luar rongga abdomen dalam suatu kantung terbungkus kulit, skrotum, yang terletak di sudut di antara kedua pangkal paha. Sistem reproduksi pria dirancang untuk menyalurkan sperma ke saluran reproduksi wanita dalam suatu vehikulum cair, yaitu semen, yang kondusif untuk viabilitas sperma. Kelenjar seks tambahan yang utama, yang sekresinya membentuk sebagian besar semen, adalah vesikula seminalis, kelenjar prostat, dan kelenjar bulbouretra. Penis adalah organ yang digunakan untuk menaruh semen pada wanita. Sperma keluar dari testis melalui epididimis, duktus (vas) deferens, duktus ejakulatorius, dan uretra, yang terakhir adalah saluran berjalan sepanjang penis.
Peran wanita dalam reproduksi lebih rumit daripada pada pria. Fungsi utama sistem reproduksi pada wanita adalah (1) pembentukan ovum (oogenesis); (2) menerima sperma; (3) transportasi sperma dan ovum ke tempat penyatuan (fertilisasi/pembuahan, atau konsepsi); (4) pemeliharaan janin yang sedang berkembang sampai janin tersebut dapat bertahan hidup di dunia luar (gestasi atau kehamilan), termasuk pembentukan plasenta, organ pertukaran antara ibu dan janinnya; (5) melahirkan bayi (partus); dan (6) memberi makan pada bayi yang baru dilahirkan dengan menghasilkan susu (laktasi). Produk
pembuahan dikenal sebagai embrio (mudigah) selama dua bulan pertama perkembangan intrauterus. Setelah waktu ini, hasil pembuahan tersebut dianggap sebagai manusia dan dikenal sebagai fetus (janin) selama sisa gestasi.
Ovarium dan saluran reproduksi wanita terletak di dalam rongga panggul (pelvis). Saluran reproduksi wanita terdiri dari dua oviduktus (tuba uterina atau, tuba Fallopii), yang menjemput ovum pada ovulasi dan berfungsi sebagai tempat pembuahan; uterus (rahim) berongga dan berdinding tebal, yang terutama berperan dalam mempertahankan janin selama perkembangannya dan mengeluarkannya pada akhir masa kehamilan; dan vagina, suatu saluran berotot dan dapat diregangkan yang menghubungkan uterus ke lingkungan eksternal. Bagian terbawah uterus, serviks (leher rahim), menonjol ke dalam vagina dan memiliki sebuah lubang, kanalis servikalis. Spcrma didepositkan di vagina oleh penis selama hubungan kelamin. Kanalis servikalis berfungsi sebagai jalur untuk sperma melintasi uterus ke tempat pembuahan di tuba Fallopii, dan sewaktu mengalami dilatasi saat melahirkan, kanalis ini berfungsi sebagai jalan untuk keluarnya bayi dari uterus.
Muara vagina terletak di regio perineum antara muara uretra di sebelah anterior dan lubang anus di sebelah posterior. Lubang ini ditutup secara parsial oleh suatu membran tipis, himen (selaput dara), yang secara fisik dapat robek karena berbagai cara, termasuk hubungan kelamin yang pertama. Muara vagina dan uretra dikelilingi di sebelah lateral oleh dua pasang lipatan kulit, labia minora dan labia mayora. Labia minora yang lebih kecil terletak di sebelah medial dari labia mayora yang lebih besar. Klitoris (kelentit), sebuah struktur erotik kecil dan terdiri dari jaringan yang identik dengan yang terdapat di penis, terletak di ujung anterior lipatan labia minora. Genitalia eksterna wanita secara kolektif disebut sebagai vulva.
Sel-sel reproduksi masing-masing mengandnng separuh sel kromosom
Molekul-molekul DNA yang membawa kode genetik sel tidak secara acak dimasukkan ke dalam nukleus tetapi disusun secara rapi menjadi banyak lromosom. Setiap kromosom terdiri dari molekul DNA yang berbeda, yang mengandung rangkaian gen yang unik. Sel somatik (tubuli) mengandung empat puluh enam kromosom (jumlah diploid), yang dapat disortir menjadi dua puluh tiga pasangan berdasarkan berbagai ciri pembeda. Kromosom yang membentuk satu pasangan disebut kromosom homolog, yang salah satu anggotanya berasal dari ayah dan yang lainnya dari ibu. Gamet (yaitu, sperma dan sel telur) mengandung hanya salah satu anggota dari setiap pasangan kromosom sehingga jumlah total kromosomnya dua puluh tiga (jumlah haploid).
Gametogenesis dilakukan oleh meiosis.
Sebagian besar sel dalam tubuh manusia memiliki kemampuan untuk memperbanyak diri, suatu proses yang penting untuk pertumbuhan, penggantian, dan perbaikan jaringan. Pembelahan sel terdiri dari dua komponen: pembelahan inti sel (nukleus) dan pembelahan sitoplasma.
Pembelahan nukleus di sel-sel somatik dilakukan oleh mitosis. Pada mitosis, kromosom bereplikasi (membuat salinan duplikat dirinya), kemudian kromosomkromosom yang identik tersebut terpisah sehingga di kedua sel anak baru terdapat satu set lengkap informasi genetik (yaitu jumlah kromosom yang diploid). Pembelahan nukleus di gamet dilakukan oleh meiosis, dengan hanya separuh set informasi genetik (yaitu jumlah kromosom yang haploid) yang diberikan ke empat sel anak baru.
Selama meiosis, sel germinativum diploid khusus mengalami satu replikasi kromosom diikuti oleh dua pembelahan nukleus. Pada pembelahan meiosis pertama, kromosom yang telah bereplikasi tidak memisah menjadi dua kromosom identik tetapi tetap bersama. Kromosom-kromosom ganda tersebut mengatur diri mereka sendiri menjadi pasangan-pasangan homolog, dan pasangan-pasangan tersebut memisah sehingga tiaptiap dari dua sel anak menerima separuh set kromosom ganda. Selama pembelahan meiosis kedua, kromosom ganda di dalam setiap sel anak berpisah dan terdistribusi ke dalam dua sel, sehingga tercipta empat sel anak yang masing-masing memiliki separuh set kromosom. Selama proses ini, kromosom yang berasal dari ibu dan ayah dari setiap pasangan homolog terdistribusi ke sel-sel anak secara acak dalam campuran yang mengandung satu anggota dari tiap-tiap pasangan kromosom tanpa bergantung dari asalnya. Jadi, tidak semua kromosom yang berasal dari ibu akan pergi ke satu sel anak dan kromosom dari ayah ke sel lain. Dengan cara ini kemungkinan yang dapat terjadi dari pencampuran duapuluh tiga kromosom ayah dan ibu adalah lebih dari 8 juta (223). Pencampuran genetik ini menghasilkan kombinasi kromosom baru.
Dengan demikian, sperma dan ovum memiliki jumlah kromosom yang haploid. Sewaktu terjadi pembuahan, sperma dan ovum menyatu untuk memulai individu baru dengan empat puluh enam krosomom, satu anggota dari setiap pasangan kromosom berasal dari ibu dan anggota yang lain dari ayah.
Jenis kelamin individu ditentukan oleh kombinasi kromosom seks.
Apakah individu ditakdirkan menjadi pria atau wanita adalah suatu fenomena genetik yang ditentukan oleh kromosom-kromosom seks. Sewaktu dua puluh tiga pasangan kromosom memisah selama meiosis, setiap sperma atau ovum menerima hanya satu anggota dari tiap-tiap pasangan kromosom. Dua puluh dua pasangan kromosom adalah kromosom otosom yang mengkode karakteristik manusia umum serta sifat-sifat spesifik, misalnya warna mata. Pasangan kromosom yang tersisa adalah kromosom seks, yang terdiri dari dua jenis yang berbeda secara genetis-kromosom X yang lebih besar dan kromosom Y yang lebih kecil. Penentuan jenis kelamin (sex determination) bergantung pada kombinasi kromosom-kromosom seks: pria genetik memiliki satu kromosom X dan satu Y; wanita genetik memiliki dua kromosom seks X. Dengan demikian, perbedaan genetik yang bertanggung jawab untuk semua perbedaan anatomis dan fungsional antara pria dan wanita adalah kromosom Y Pria memilikinya; wanita tidak.
Akibat meiosis selama gametogenesis, semua pasangan kromosom terpisah sehingga setiap sel anak hanya memiliki satu anggota dari setiap pasangan, termasuk pasangan kromosom seks. Apabila pasangan kromosom seks XY berpisah selama pembentukan sperma, separuh sperma akan menerima kromosom X dan separuh lainnya kromosom Y Sebaliknya, selama oogenesis, setiap ovum menerima sebuah kromosom X karena pemisahan kromosom seks XX hanya menghasilkan kromosom X. Selama pembuahan, kombinasi sperma yang mengandung X dengan ovum yang mengandung X menghasilkan wanita genetik, XX, sementara penyatuan sperma yang membawa kromosom Y dengan ovum pembawa kromosom X menghasilkan pria genetik, XY. Dengan demikian, jenis kelamin genetik ditentukan pada saat konsepsi dan bergantung pada jenis kromosom seks apa yang terkandung di dalam sperma yang membuahi.
Diferensiasi seks pada garis pria dan wanita bergantung pada ada tidaknya deternunan maslculinicaci selama periode kritis perkembangan embrio.
Perbedaan antara pria dan wanita terdapat dalam tiga tingkatan: jenis kelamin genetik, gonad, dan fenotipe (anatomis). Jenis kelamin genetik, yang bergantung pada kombinasi kromosom seks pada saat konsepsi, pada gilirannya menentukan jenis kelamin gonad, yaitu, apakah yang berkembang adalah testis atau ovarium. Ada atau tidaknya kromosom Y menentukan diferensiasi gonad. Pada bulan pertama dan separuh dari masa gestasi, semua embrio memiliki potensi untuk berdiferensiasi mengikuti jalur pria atau wanita, karena jaringan reproduktif kedua jenis kelamin yang sedang berkembang identik dan tidak dibeda-bedakan (indiferen). Spesifisitas gonad muncul selama minggu ketujuh masa kehidupan intrauterus sewaktu jaringan gonad indiferen pada pria genetik mulai berdiferensiasi menjadi testis di bawah pengaruh regio penentu jenis kelamin di kromosom Y (sex determining region o f the Y chromosome, SRY), sebuah gen penentu jenis kelamin. Gen ini memicu serangkaian reaksi yang menimbulkan perkembangan fisik pria. Regio penentu jenis kelamin di kromosom Y "memaskulinisasikan" gonad (menginduksi perkembangan gonad tersebut menjadi testis) dengan merangsang pembentukan antigen H-Y oleh sel-sel gonad primitif. Antigen H-Y, yaitu protein membran plasma spesifik yang hanya dijumpai pada pria, mengarahkan diferensiasi gonad menjadi testis. Karena wanita genetic tidak memiliki gen SRY sehingga tidak menghasilkan antigen H-Y, jaringan gonad yang belum berdiferensiasi mulai berkembang menjadi ovarium pada minggu kesembilan.
Jenis kelatnin fenotipe, jenis kelamin anatomik yang tampak pada seseorang, bergantung pada jenis kelamin gonad yang ditentukan secara genetis. Diferensiasi seks mengacu pada perkembangan genitalia eksterna dan saluran reproduksi pada masa embrio yang mengikuti jalur pria atau waruta. Seperti gonad yang belum berdiferensiasi, embrio dari kedua jenis kelamin memiliki potensi untuk memiliki saluran reproduksi dan genitalia eksterna pria atau wanita. Diferensiasi menjadi sistem reproduksi tipe pria diinduksi oleh androgen, yaitu hormon maskulinisasi yang disekresikan oleh testis yang sedang berkembang. Testosteron adalah androgen yang paling kuat. Tidak adanya hormon-hormon testis ini pada janin wanita menyebabkan berkembangnya sistem reproduksi tipe wanita. Pada usia kehamilan sepuluh sampai dua belas minggu, kedua jenis kelamin dapat dengan mudah dibedakan berdasarkan gambaran anatomis genitalia eksterna.
Genitalia eksterna pria dan wanita berkembang dari jaringan embrionik yang sama. Pada kedua jenis kelamin, genitalia eksterna yang belum berdiferensiasi terdiri dari sebuah tuberkel genital, sepasang lipatan uretra yang mengelilingi sebuah alur uretra, dan, lebih ke lateral, pembengkakan genital (labioskrotum). Tuberkel genital menghasilkan jaringan erotik yang sangat pekapada pria glans penis (tutup di ujung distal penis) dan pada wanita klitoris. Perbedaan utama antara glans penis dan klitoris adalah ukuran klitoris yang lebih kecil dan ditembusnya glans penis oleh muara uretra. Uretra adalah saluran (tabung) tempat keluarnya urin dari kandung kemih dan pada pria juga berfungsi untuk penyaluran keluar semen melalui penis. Pada pria, lipatan uretra berfusi di sekeliling alur uretra untuk membentuk penis, yang mengelilingi uretra. Pembengkakan genital juga berfusi untuk membentuk skrotum dan prepusium, lipatan kulit yang melebihi ujung penis dan sedikit banyak menutupi glans penis. Pada wanita, lipatan uretra dan pembengkakan genital tidak menyatu di garis tengah tetapi masing-masing berkembang menjadi labia minora dan mayora. Alur uretra tetap terbuka, menjadi akses ke interior melalui muara uretra dan orifisium (mulut) vagina.
Walaupun genitalia eksterna pria dan wanita berkembang dari jaringan embrionik tidak terdiferensiasi yang sama, hal ini tidak berlaku untuk saluran reproduksi. Dua sistem duktus primitif-duktus Wolffii dan duktus Mulleri-berkembang di kedua embrio. Pada pria, saluran reproduksi berkembang dari duktus Wolffii dan duktus Miilleri berdegenerasi, sedangkan pada wanita, duktus Mulleri berkembang menjadi saluran reproduksi dan duktus Wolffii mengalami regresi. Karena kedua sistem duktus sudah ada sebelum diferensiasi jenis kelamin terjadi, embrio muda memiliki potensi untuk berkembang mengikuti baik jalur saluran reproduksi pria atau wanita. Perkembangan saluran reproduksi mengikuti jalur pria atau wanita ditentukan oleh ada, tidaknya dua hormon yang disekresikan oleh testis janintestosteron dan Mullerian-inhibiting factor. Suatu hormon yang dikeluarkan oleh plasenta, human chorionic gonadotropin, tampaknya merupakan stimulus bagi sekresi testis awal ini. Testosteron memicu perkembangan duktus Wolffii menjadi saluran reproduksi pria (epididimis, duktus deferens, duktus ejakulatorius, dan vesikula seminalis). Hormon ini, setelah diubah menjadi dihidrotestosteron (DHT), juga bertanggung jawab dalam diferensiasi genitalia eksterna menjadi penis dan skrotum. Sementara itu, Mullerian-inhibiting factor menyebabkan regresi duktus Mulleri. Tanpa adanya testosteron dan Miillerian-inhibiting factor pada wanita, duktus Wolffii mengalami regresi, sedangkan duktus Mulleri berkembang menjadi saluran reproduksi wanita (oviduktus dan uterus), dan genitalia eksterna berdiferensiasi menjadi klitoris dan labia.
Perhatikan bahwa jaringan reproduksi embrionik yang belum berdiferensiasi secara pasif berkembang menjadi struktur wanita, kecuali jika mendapat pengaruh aktif dari faktor-faktor maskulinisasi. Tanpa adanya hormon pria testosteron, akan berkembang saluran reproduksi dan genitalia eksterna wanita apapun jenis kelamin individu yang bersangkutan. Bahkan ovarium tidak diperlukan untuk feminisasi jaringan genitalia wanita. Pola kontrol untuk menentukan diferensiasi jenis kelamin seperti ini memang merupakan hal yang sesuai mengingat bahwa janin dari kedua jenis kelamin terpajan ke hormon-hormon seks wanita dalam konsentrasi tinggi selama masa gestasi. Apabila hormonhormon seks wanita memiliki pengatuh pada perkembangan saluran reproduksi dan genitalia eksterna, semua janin akan mengalami feminisasi.
Pada kasus yang lazim, jenis kelamin genetik dan diferensiasi jenis kelamin cocok satu sama lain; yaitu, pria genetik tampak sebagai pria secara anatomis dan berfungsi sebagai pria, dan kesesuaian yang sama juga berlaku bagi wanita. Namun, kadang-kadang terjadi ketidakcocokan antara jenis kelamin genetik dan anatomik karena kesalahan pada diferensiasi jenis kelamin, seperti yang digambarkan oleh contoh berikut:
Apabila testis pada pria genetik gagal berdiferensiasi dengan benar dan tidak mengeluarkan hormon, hasilnya adalah berkembangnya individu dengan anatomi wanita tetapi gen pria yang, tentu saja, akan steril.
Karena testosteron bekerja pada duktus Wolffii untuk mengubahnya menjadi saluran reproduksi pria, sedangkan DHT (turunan testosteron) bertanggung jawab untuk maskulinisasi genitalis eksterna, defisiensi genetik enzim yang mengubah testosteron menjadi DHT akan menghasilkan pria genetik dengan testis dan saluran reproduksi pria tetapi genitalia eksternanya wanita.
Kelenjar adrenal dalam keadaan normal mengeluarkan suatu androgen lemah, dehidroepiandrosteron, dalam jumlah yang tidak mencukupi untuk menyebabkan maskulinisasi wanita. Namun, sekresi berlebihan dan patologis hormon ini pada janin yang secara genetis waruta selama tahap-tahap kritis perkembangan menyebabkan saluran reproduksi dan genitalia eksterna berkembang mengikuti jalur pria.
Kadang-kadang ketidaksesuaian antara jenis kelamin genetik dan jenis kelamin yang tampak ini belum diketahui sampai masa pubertas, saat temuan tersebut menyebabkan krisis identitas gender yang menimbulkan trauma psikologis. Sebagai contoh, individu dengan gen wanita yang mengalami maskulinisasi memiliki ovarium tetapi dengan genitalia eksterna jenis pria, sehingga dibesarkan sebagai anak laki-laki. Ketika terjadi pembesaran payudara (disebabkan oleh ovarium yang mulai aktif mensekresikan estrogen) dan tidak timbul janggut (karena tidak ada testosteron yang disebabkan oleh tidak adanya testis), akan timbul masalah. Dengan demikian; setiap masalah diferensiasi jenis kelamin harus didiagnosis sejak masa bayi. Jika jenis kelamin sudah ditentukan, hal tersebut dapat diperkuat, jika diperlukan, dengan terapi bedah atau hormon sehingga perkembangan psikoseksual dapat berlangsung senormal mungkin. Kasus-kasus ketidaksesuaian diferensiasi jenis kelamin yang lebih ringan sering muncul sebagai masalah sterilitas.
FISIOLOGI REPRODUKSI PRIA
Letak testis di dalam skrotum menghasilkan lingkungan yang lebih dingin yang Penting tmtuk spermatogenesis.
Secara embrionis, testis berkembang dari gonadal ridge yang terletak di belakang rongga abdomen. Pada bulanbulan terakhir kehidupan janin, testis mulai perlahanlahan turun keluar rongga abdomen melintasi kanalis inguinalis ke dalam skrotum, satu testis jatuh ke dalam masing-masing kantung skrotum. Testosteron dari testis jar}`in merupakan penyebab turunnya testis ke dalam skrotum. Walaupun waktunya agak bervariasi, penurunan testis (desensus testikulorum) tersebut biasanya selesai pada bulan ketujuh masa gestasi. Akibatnya penurunan tersebut selesai pada 98% bayi laki-laki cukup bulan, tetapi pada sebagian bayi laki-laki prematur, testis masih berada di kanalis inguinalis ketika lahir. Pada sebagian besar kasus, testis yang tertahan tersebut akan turun secara alamiah sebelum pubertas atau dapat dipercepat dengan pemberian testosteron. Walaupun jarang, testis dapat tetap tidak turun sampai masa dewasa, suatu keadaan yang dikenal sebagai laiptorkidismus ("testis tersembunyi"). Setelah testis turun ke skrotum, lubang di dinding abdomen tempat lewatnya kanalis inguinalis kemudian menutup di sekeliling duktus penyalur sperma dan pembuluh darah yang berjalan antara masing-masing testis dan rongga abdomen. Penutupan yang tidak sempurna atau rupturnya lubang ini menyebabkan isi abdomen terselip keluar, dan menimbulkan hernia inguinalis.
Suhu di dalam skrotum rata-rata adalah beberapa derajat Celcius lebih rendah daripada suhu tubuh (inti) normal. Penurunan testis ke lingkungan yang lebih dingin ini sangat penting karena spermatogenesis adalah proses yang peka suhu dan tidak dapat berlangsung pada suhu tubuh normal. Dengan demikian, seorang kriptorkid tidak dapat menghasilkan sperma hidup.
Posisi skrotum dalam hubungannya dengan rongga abdomen dapat berubah-ubah di bawah pengaruh mekanisme refleks spinal yang berperan penting dalam mengatur suhu testis. Kontraksi refleks otot-otot skrotum pada pajanan ke lingkungan yang dingin akan mengangkat kantung skrotum sehingga testis lebih dekat ke abdomen yang hangat. Sebaliknya, pajanan ke panas menyebabkan relaksasi otot sehingga kantung skrotum lebih bergantung dan testis menjauhi tubuh yang lebih hangat.
Sel Leydig testis mengeluarkan testosteron yang meny.ebabkan maskulinisasi.
Testis melaksanakan dua fungsi, yaitu menghasilkan sperma dan mengeluarkan testosteron. Sekitar 80% massa testis terdiri dari tubulus seminiferosa yang berkelakkelok, yang di dalamnya berlangsung spermatogenesis. Sel-sel endokrin yang mengeluarkan testosteron-sel Leydig atau sel interstisium terletak di jaringan ikat (jaringan interstisium) antara tubulus-tubulus seminiferosa. Dengan demikian, bagianbagian testis yang menghasilkan sperma dan mengeluarkan testosteron secara struktural dan fungsional berbeda.
Testosteron adalah suatu hormon steroid yang berasal dari molekul prekursor kolesterol, seperti halnya hormon-hormon seks wanita, estrogen dan progesteron. Sel-sel Leydig mengandung enzim-enzim dengan konsentrasi tinggi yang diperlukan untuk mengarahkan kolesterol mengikuti jalur yang menghasilkan testosteron. Setelah dihasilkan, sebagian testosteron disekresikan ke dalam darah untuk diangkut, terutama dengan terikat ke protein plasma, ke jaringan sasaran. Sebagian testosteron yang baru diproduksi mengalir ke lumen tubulus seminiferosa, tempat hormon ini memainkan peranan penting dalam spermatogenesis.
Sebagian besar tetapi tidak semua kerja testosteron akhirnya ditujukan untuk memastikan penyaluran sperma pada wanita. Efek testosteron dapat dibagi menjadi lima kelompok: (1) efek pada sistem reproduksi sebelum lahir; (2) efek pada jaringan spesifik-seks setelah lahir; (3) efek lain yang terkait dengan reproduksi; (4) efek pada karakteristik seks sekunder; dan (5) efek yang tidak berkaitan dengan reproduksi.
Efek pada Sistem Reproduksi Sebelum Lahir Sebelum lahir, sekresi testosteron oleh testis janin merupakan penyebab maskulinisasi saluran reproduksi dan genitalia eksterna serta menurunnya testis ke dalam skrotum, seperti telah dijelaskan di atas. Setelah lahir, sekresi testosteron berhenti, dan testis serta sistem reproduksi lainnya tetap kecil dan nonfungsional sampai pubertas.
Efek pada Jaringan Spesifik-Seks Setelah Lahir Pubertas mengacu pada periode kebangkitan dan pematangan sistem reproduksi yang sebelumnya nonfungsional, yang memuncak pada pencapaian kematangan seksual dan kemampuan bereprodtiksi. Awitan pubertas biasanya sekitar usia sepuluh dan empat belas tahun; wanita ratarata mengalami pubertas dua tahun lebih awal daripada pria. Pubertas biasanya berlangsung tiga sampai lima tahun dan mencakup serangkaian perubahan endokrin, fisik, dan perilaku yang kompleks. Masa remaja (adolescence) adalah konsep yang lebih luas yang mengacu pada keseluruhan masa transisi antara anak-anak menjadi dewasa, bukan hanya pematangan seksual.
Pada pubertas, sel-sel Leydig mulai mengeluarkan testosteron kembali, dan untuk pertama kalinya terjadi spermatogenesis di tubulus seminiferosa. Testosteron bertanggung jawab untuk pertumbuhan dan pematangan keseluruhan sistem reproduksi pria. Di bawah pengaruh lonjakan sekresi testosteron pada masa pubertas, testis membesar dan mampu melaksanakan spermatogenesis, kelenjar-kelenjar seks tambahan membesar dan mulai aktif mensekresi, sementara penis serta skrotum membesar. Sekresi testosteron yang berlangsung terus menerus penting untuk spermatogenesis dan untuk mempertahankan kematangan saluran reproduksi pria selama masa dewasa. Setelah kastrasi (pengebirian, pengangkatan testis secara bedah) atau kegagalan testis akibat penyakit, ukuran dan fungsi organ-organ seks menurun.
Efek Terkait-Reproduksi Lainnya Testosteron bertanggung jawab dalam pembentukan libido seksual pada masa pubertas dan membantu mempertahankan dorongan seks pada pria dewasa. Stimulasi perilaku ini oleh testosteron penting untuk mempermudah penyaluran sperma pada wanita. Pada manusia, libido juga dipengaruhi oleh banyak faktor emosional dan sosial yang saling berinteraksi. Setelah libido terbentuk, testosteron tidak lagi diperlukan untuk mempertahankannya. Pria yang mengalami pengebirian sering tetap aktif secara seksual tetapi dengan tingkat yang lebih rendah.
Pada fungsi terkait-reproduksi lainnya, testosteron ikut serta dalam kontrol umpan-balik negatif normal pada sekresi hormon gonadotropin oleh hipofisis anterior, suatu topik yang nanti akan dibahas secara lebih luas.
Efek pada Karakteristik Seks Sekunder Perkembangan dan pemeliharaan semua karakteristik seks sekunder pria bergantung pada testosteron. Karakteristik pria nonreproduktif (yang tidak berkaitan dengan reproduksi) yang dipicu oleh testosteron ini adalah (1) pola pertumbuhan rambut pria (misalnya, rambut dada dan janggut dan, pada pria dengan predisposisi genetis, kebotakan); (2) suara menjadi berat akibat pembesaran laring dan penebalan pita suara; (3) penebalan kulit; dan (4) konfigurasi tubuh pria (sebagai contoh, bahu lebar,, otot lengan dan tungkai yang berkembang) sebagai akibat pengendapan protein. Pria yang dikebiri sebelum pubertas (kasi atau eunuch) tidak mengalami pematangan seksual dan tidak memperlihatkan perkembangan karakteristik seks sekunder pria.
Efek yang Tidak Berkaitan dengar ~Reproduksi Testosteron memiliki beberapa efek penting yang tidak berkaitan dengan reproduksi. Testosteron memiliki efek anabolik (sintesis) protein dan mendorong pertumbuhan tulang, sehingga berperan menyebabkan otot lebih berkembang pada pria dan adanya lonjakan pertumbuhan pada pubertas. Ironisnya, testosteron tidak saja merangsang pertumbuhan tulang tetapi akhirnya mencegah pertumbuhan lebih lanjut dengan menutup ujung-ujung tulang panjang yang sedang tumbuh (yaitu, osifikasi atau "penutupan" lempeng epifisis-lihat h. 635). Testosteron juga merangsang sekresi minyak dari kelenjar sebasea. Efek ini paling nyata selama lonjakan sekresi testosteron pada masa remaja, sehingga pemuda rentan mengalami jerawat (akne).
Spermatogenesis menghasilkan sperma yang bergerak, sangat spesifik, dan dalam jumlah besar.
Di dalam testis terkemas tubulus seminiferosa penghasil sperma dengan panjang sekitar 250 meter (800 kaki). Di dalam tubulus ini terdapat dua jenis sel penting: sel germinativum, yang sebagian besar berada dalam berbagai tahap perkembangan sperma, dan sel Sertoli, yang sangat penting dalam menunjang spermatogenesis. Spermatogenesis adalah suatu proses kompleks berikut: sel germinativum primordial yang relatif tidak berdiferensiasi, spermatogonia (yang masing-masing mengandung komplemen diploid empat puluh enam kromosom), berproliferasi dan diubah menjadi spermatozoa (sperma) yang sangat khusus dan dapat bergerak, dan masing-masing membawa set haploid dua puluh tiga kromosom yang terdistribusi secara acak.
Pemeriksaan mikroskopik tubulus seminiferosa memperlihatkan adanya lapisan-lapisan sel germinativum sesuai kemajuan perkembangan sperma, dimulai dari yang paling kurang berkembang di lapisan luar ke bagian dalam melalui berbagai tahap pembelahan ke lumen, tempat sperma yang telah berdiferensiasi sempurna siap untuk keluar dari testis. Spermatogenesis memerlukan waktu enam puluh empat hari, dari spermatogonia menjadi sperma matang. Setiap hari beberapa ratus juta sperma mencapai kematangan. Spermatogenesis mencakup tiga tahapan utama: proli ferasi mitotik; meiosis; dan pengemasan.
Proliferasi Mitotik Spermatogonia yang terletak di lapisan paling luar tubulus secara terus menerus membelah dengan cara mitosis, dengan semua sel baru membawa empat puluh enam kromosom yang identik dengan sel induk. Proliferasi ini menghasilkan pasokan kontinu sel-sel germinativum baru. Setelah pembelahan mitosis spermatogonia, salah satu sel anak tetap berada di tepi luar tubulus sebagai spermatogonium yang tidak berdiferensiasi, dengan demikian mempertahankan lapisan sel germinativum. Sementara itu, sel-sel anak lainnya mulai bergerak ke arah lumen sementara mengalami berbagai tahapan yang diperlukan untuk membentuk sperma, yang akan dikeluarkan dari lumen. Pada manusia, sel anak yang menghasilkan sperma membelah diri secara mitosis dua kali untuk membentuk empat spermatosit primer yang identik. Setelah pembelahan mitosis yang terakhir, spermatosit primer masuk ke fase istirahat selama kromosom mengalami duplikasi dan untai-untai ganda tetap bersatu sebagai persiapan untuk pembelahan meiosis pertama.
Meiosis Selama meiosis, setiap spermatosit primer (dengan empat puluh enam kromosom ganda) membentuk dua spermatosit sekunder (masing-masing dengan dua puluh tiga kromosom ganda) selama pembelahan meiosis pertama, yang akhirnya menghasillcan empat spermatid (masing-masing dengan dua puluh tiga kromosom tunggal) sebagai hasil pembelahan meiosis kedua.
Pengemasan Bahkan setelah meiosis, secara struktural spermatid masih mirip dengan spermatogonia yang belum berdiferensiasi, kecuali jumlah kromosomnya. Pembentukan spermatozoa yang dapat bergerak dan bersifat sangat spesifik dari spermatid memerlukan remodeling ekstensif, atau pengemasan (packaging), unsur-unsur sel, suatu proses yang dikenal sebagai spermiogenesis. Sperma pada dasarnya adalah sel-sel yang "dilucuti", dengan sebagian besar sitosol dan organel yang tidak diperlukan untuk tugas penyaluran informasi genetik sperma ke ovum disingkirkan. Spermatozoa memiliki empat bagian kepala, akrosom, bagian tengah, dan ekor Kepala terutama terdiri dari nukleus, yang mengandung mformasi genetik sperma. Akrosom, suatu vesikel berisi enzim di ujung kepala, digunakan sebagai "bor enzimatik" untuk menembus ovum. Akrosom dibentuk dari agregasi vesikel-vesikel yang dihasilkan oleh kompleks Golgi/retikulum endoplasma sebelum organel-organel ini dibuang. Mobilitas spermatozoa dihasilkan oleh ekor yang panjang dan berbentuk seperti pecut yang keluar dari salah satu sentriol. Pergerakan ekor, yang terjadi akibat pergeseran relatif mikrotubulusmikrotubulus konstituennya, dijalankan oleh energi yang dihasilkan oleh mitokondria yang terkonsentrasi di bagian tengah sperma.
Sampai pematangan sperma tuntas, sel-sel germinatiwm yang berasal dari sebuah spermatosit tetap bersatu karena dihubungkan oleh jembatan-jembatan sitoplasma. Hubungan ini, yang terjadi akibat pembelahan sitoplasma yang tidak sempurna, memungkinkan pertukaran sitoplasma antara keempat sperma yang berkembang. Hubungan ini penting, karena kromosom X-lah dan bukan kromosom Y yang mengandung gen yang mengkode produk-produk sel yang penting untuk perkembangan sperma. Selama meiosis, separuh sperma menerima sebuah X dan separuh lainnya menerima sebuah Y Jika tidak ada pertukaran sitoplasma yang memungkinkan semua sel haploid memiliki produk-produk yang dikode oleh kromosom X sampai perkembangan sperma tuntas, sperma yang mengandung Y dan menentukan jenis kelamin pria tidak akan mampu berkembang dan bertahan hidup.
Selama masa perkembangannya, sel sperma berhubungan erat dengan sel Sertoli.
Selain spermatogonia dan sel sperma yang sedang berkembang, tubulus seminiferosa juga mengandung sel Sertoli. Sel Sertoli membentuk suatu cincin yang berjalan dari membran basal di bagian luar ke lumen tubulus. Setiap sel Sertoli terentang dari membran luar ke lumen yang berisi cairan. Sel-sel Sertoli yang berdekatan disatukan oleh taut-erat pada titik yang letaknya sedikit di belakang membran luar. Spermatogonia terselip di antara sel-sel Sertoli di perimeter luar tubulus dalam ruang-ruang antara membran basal dan taut erat.
Selama spermatogenesis, sel-sel sperma sedang berkembang yang berasal dari aktivitas mitosis spermatogonia berjalan melewati taut erat, yang secara sementara memisah untuk memberi jalan bagi sel-sel tersebut, kemudian bermigrasi ke arah lumen sambil terus berhubungan erat dengan sel-sel Sertoli di dekatnya. Sitoplasma sel Sertoli membungkus sel-sel germinativum
yang sedang bermigrasi tersebut, yang tetap terbenam dalam cekungan sitoplasma tersebut sepanjang perkembangan mereka.
Sel-sel Sertoli melaksanakan fungsi-fungsi berikut yang esensial untuk spermatogenesis:
1. Taut erat antara sel-sel Sertoli yang berdekatan membentuk sawar darah-testis. Karena sawar ini mencegah bahan-bahan yang terdapat di dalam darah masuk ke dalam lumen tubulus, hanya molekulmolekul tertentu yang mampu melewati sel Sertoli yang dapat mencapai cairan lumen. Akibatnya, komposisi cairan intratubulus cukup berbeda dengan komposisi darah. Komposisi khas cairan yang membasuh sel-sel germinativum ini dianggap sangat penting untuk tahapan-tahapan akhir perkembangan sperma. Sawar darah-testis juga mencegah sel-sel penghasil antibodi di cairan ekstrasel mencapai tubulus penghasil sperma, sehingga mencegah pembentukan antibodi terhadap spermatozoa yang telah berdiferensiasi lebih lanjut.
2. Karena sel-sel sperma yang sedang berkembang tidak memiliki akses langsung ke nutrien-nutrien di dalam darah, sel-sel Sertolilah yang memberi makan sperma.
3. Sel-sel Sertoli memiliki fungsi fagositik penting. Selsel ini memakan sitoplasma yang dibuang dari spermatid selama proses remodeling dan menghancurkan sel-sel germinativum cacat yang gagal menyelesaikan semua tahapan spermatogenesis.
4. Sel-sel Sertoli mengeluarkan cairan tubulus seminiferosa ke dalam lumen, yang "menggelontor" sperma dari tubulus ke dalam epididimis untuk disimpan dan diolah lebih lanjut.
5. Suatu komponen penting sekresi Sertoli adalah protein pengikat androgen (androgen-binding protein). Seperti yang diisyaratkan oleh namanya, protein ini mengikat androgen (yaitu, testosteron), sehingga kadar hormon ini di dalam lumen tubulus seminiferosa tetap tinggi. Konsentrasi testosteron lokal yang tinggi ini penting untuk mempertahankan produksi sperma. Protein pengikat androgen penting untuk mempertahankan testosteron di dalam lumen karena hormon steroid ini larut lemak dan mudah berdifusi menembus membran plasma dan meninggalkan lumen.
6. Sel-sel Sertoli adalah tempat kerja testosteron dan follicle-stimulating hormone (FSH) untuk mengontrol spermatogenesis., Sel-sel Sertoli itu sendiri mengeluarkan hormon lain, yakni inhibin, yang bekerja dengan mekanisme umpan-balik negatif untuk mengatur sekresi FSH.
Kedua hormon gonadotropik hipofisis anterior, LH dan FSH, mengontrol sekresi testosteron dan spermatogenesis.
Testis dikontrol oleh dua hormon gonadotropik yang disekresikan oleh hipofisis anterior, luteinizing hormone (LH) dan follicle-stimulating hormone (FSH), yang diberi nama sesuai dengan fungsi mereka pada wanita. Kedua hormon ini bekerja pada komponen-komponen testis yang berbeda. Luteinizing hormone bekerja pada sel Leydig untuk mengatur sekresi testosteron, sehingga pada pria hormon ini juga memiliki nama interstitial-cell-stimulating hormone (ICSH). Follicle-stimulating hormone bekerja pada tubulus seminiferosa, terutama di sel Sertoli, untuk meningkatkan spermatogenesis. (Tidak ada nama alternatif untuk FSH pada pria.) Sebaliknya, sekresi LH dan FSH 'dari hipofisis anterior dirangsang oleh sebuah hormon hipotalamus, gonadotropin-releasing hormone.
Aktivitas gonadotropin-releasing hormone meningkat saat pubertas.
Walaupun testis janin mengeluarkan testosteron, yang mengarahkan perkembangan sistem reproduksi ke arah maskulin, setelah lahir testis tidak aktif sampai saat pubertas. Selama periode prapubertas, sekresi LH dan FSH tidak cukup adekuat untuk merangsang aktivitas testis. Penundaan munculnya kemampuan reproduktif pada masa prapubertas memungkinkan individu mencapai kematangan fisik (walau tidak selalu disertai kematangan psikologis) agar bisa mengasuh anak. (Pematangan fisik ini terutama penting pada wanita, yang tubuhnya harus menunjang janin yang tumbuh.)
Proses pubertas diawali oleh peningkatan aktivitas GnRH pada usia sekitar delapan sampai dua belas tahun. Pada masa pubertas dini, letupan sekresi GnRH berlangsung hanya pada malam hari, sehingga pada malam hari terjadi peningkatan singkat sekresi LH dan, dengan demikian, sekresi testosteron. Durasi sekresi GnRH yang episodik tersebut semakin lama semakin panjang seiring dengan perkembangan pubertas sampai tercipta pola sekresi GnRH, FSH, LH, dan testosteron seperti pada dewasa. Di bawah pengaruh testosteron yang kadarnya terus meningkat selama masa pubertas, terjadi perubahanperubahan fisik yang menandai munculnya karakteristik seks sekunder dan pematangan reproduksi.
Duktus-duktus di saluran reproduksi menyimpan dan memekatkan spexma serta meningkatkan motilitas dan ferkilitas mereka.
Sisa sistem reproduksi pria (selain testis) dirancang untuk menyalurkan sperma ke saluran reproduksi wanita. Pada dasarnya, sistem reproduksi di luar testis tersebut terdiri dari (1) suatu saluran berkelok-kelok yang mengangkut sperma dari testis keluar tubuh; (2) beberapa kelenjar, yang menghasilkan sekresi yang penting untuk viabilitas dan motilitas sperma; dan (3) penis, yang dirancang untuk menembus dan menaruh sperma di. dalam vagina wanita.
Di permukaan belakang setiap testis melekat epididimis berbentuk koma secara longgar. Setelah dihasilkan di tubulus seminiferosa, sperma disapu ke dalam epididimis sebagai akibat adanya tekanan yang diciptakan oleh sekresi cairan tubulus secara terus menerus oleh sel-sel Sertoli. Duktus-duktus epididimis dari setiap testis menyatu untuk membentuk sebuah saluran berdinding tebal dan berotot yang disebut duktus (vas) deferens. Dari setiap testis duktus deferens berjalan keluar dari kantung skrotum dan kembali ke dalam rongga abdomen melalui kanalis inguinalis dan akhirnya menyalurkan isinya ke dalam uretra di leher kandung kemih. Uretra mengangkut sperma keluar penis selama ejakulasi, yaitu pengeluaran semen yang kuat dan ekspulsif dari tubuh.
Kelenjar seks tambahan menghasilkan sebagian besar cairan semen.
Beberapa kelenjar seks tambahan-vesikula seminalis dan prostat-menyalurkan sekresi mereka ke dalam sistem duktus sebelum bersatu dengan uretra. Sepasang vesikula seminalis yang berbentuk kantung menyalurkan isi mereka ke bagian terakhir dari kedua duktus deferens, satu untuk tiap-tiap sisi. Segmen pendek duktus yang berjalan setelah titik masuk vesikula seminalis untuk menyatu dengan uretra membentuk duktus ejakulatorius. Prostat adalah sebuah kelenjar besar yang secara total melingkupi duktus ejakulatorius dan uretra. Pada sejumlah pria, terjadi hipertrofi (pembesaran) prostat pada usia pertengahan sampai lanjut. Sering terjadi kesulitan berkemih karena prostat yang membesar menekan bagian uretra yang melewati prostat. Sepasang kelenjar seks tambahan lain, kelenjar bulbouretra, menyalurkan isinya ke uretra setelah uretra melewati prostat sesaat sebelum masuk ke penis. Di sepanjang uretra juga terdapat banyak kelenjar penghasil mukus.
Ketika ejakulasi, kelenjar seks tambahan menghasilkan sekresi yang membantu menunjang kelangsungan hidup sperma di dalam saluran reproduksi wanita. Sekresisekresi tersebut membentuk sebagian besar semen, yang terdiri dari campuran sekresi kelenjar seks tambahan, sperma, dan mukus. Sperma hanya merupakan sebagian kecil dari seluruh cairan yang diejakulasikan.
Walaupun tidak mutlak penting untuk pembuahan, sekresi kelenjar seks tambahan sangat membantu proses pembuahan:
Vesikula seminalis (1) menghasilkan fruktosa, yang berfungsi sebagai sumber energi utama untuk sperma yang dikeluarkan; (2) mengeluarkan prostaglandin, yang diperkirakan merangsang kontraksi otot polos di saluran reproduksi pria dan wanita sehingga sperma lebih mudah dipindahkan dari tempat penyimpanan di pria ke tempat pembuahan di oviduktus wanita; (3) membentuk lebih dari separuh semen, yang membantu menggelontor sperma ke dalam uretra dan juga mengencerkan massa sperma yang kental sehingga motilitas sperma meningkat; dan (4) mengeluarkan fibrinogen, suatu prekursor fibrin, yang membentuk jaringan bekuan.
Kelenjar prostat (1) mengeluarkan cairan alkalis yang menetralkan sekresi vagina yang asam, suatu fungsi penting karena sperma lebih dapat bertahan hidup dalam lingkungan yang sedikit basa, dan (2) menghasilkan enzim-enzim pembekuan dan fibrinolisin. Enzim-enzim pembekuan prostat bekerja pada fibrinogen dari vesikula seminalis untuk menghasilkan fibrin, yang "membekukan" semen sehingga sperma yang diejakulasikan tetap tertahan di dalam saluran reproduksi wanita saat penis ditarik keluar. Segera setelah itu, bekuan seminal diuraika,n oleh fibrinolisin, suatu enzim pengurai fibrin dari prostat, sehingga sperma motil yang dikeluarkan dapat bebas bergerak di dalam saluran reproduksi wanita.
Prostaglandin adalah zat perantara kimiawi yang banyak ditemukan dan bekerja lokal.
Walaupun prostaglandin pertama kali ditemukan di dalam semen dan saat itu diperkirakan berasal dari prostat (yang menghasilkan nama tersebut, walaupun sebenarnya zat golongan ini dihasilkan oleh vesikula seminalis), pembentukan dan kerja prostaglandin tidak terbatas di sistem reproduksi. Turunan asam lemak dua puluh karbon ini merupakan salah satu zat perantara kimiawi yang paling banyak ditemukan di berbagai tempat di tubuh. Sebenarnya zat-zat ini dihasillcan di seluruh jaringan dari asam arakidonat, yaitu konstituen asam lemak pada fosfolipid di dalam membran plasma. Prostaglandin (dan turunan asam arakidonat lain yang terkait erat yang untuk kemudahan sering dimasukkan dalam kategori prostaglandin, yaitu prostaszklin, tromboksan, dan leukotrien) merupakan salah satu senyawa yang paling aktif secara biologis. Dengan stimulasi yang sesuai, asam arakidonat dilepaskan dan membran plasma oleh suatu enzim dan kemudian diubah menjadi prostaglandin yang sesuai, yang bekerja secara lokal di dalam atau di dekat tempat pembentukannya.
Seiring dengan semakin dipahaminya berbagai efek prostaglandin, dimungkinkan cara-cara baru untuk memanipulasi prostaglandin secara terapetis. Salah satu contoh klasik adalah pemakaian aspirin, yang menghambat perubahan asam arakidonat menjadi prostaglandin, untuk menurunkan demam dan menghilangkan nyeri. Pada pengobatan gejala prahaid dan dismenore (nyeri haid), kerja prostaglandin juga dihambat secara terapetis. Selain itu, prostaglandin spesifik telah diberikan untuk berbagai keadaan yang sangat beragam, misalnya menginduksi persalinan, mengobati asma, dan mengatasi tukak lambung.
HUBUNGAN KELAMIN ANTARA PRIA DAN WANITA
Akhirnya, penyatuan gamet pria dan wanita pada manusia memerlukan penyaluran semen ke dalam vagina wanita melalui perilaku seksual, juga dikenal sebagai hubungan kelamin, koitus, atau kopulasi.
Perilaku seksual pria ditandai oleh ereksi dan ejakulasi.
Perilaku seksual pria (male sex act) terdiri dari dua komponen: (1) ereksi, atau pengerasan penis yang dalam keadaan normal lemas yang memt2ngkinkannya masuk ke vagina, dan (2) ejakulasi, atau penyemprotan kuat dan ekspulsif semen ke dalam uretra dan keluar dari penis (Tabel 20-4). Selain komponen yang benar-benar berkaitan dengan reproduksi ini, siklus respons seksual juga mencakup respons fisiologis yang lebih luas yang dapat dibagi menjadi empat fase:
1. Fase eksitasi, yang mencakup ereksi disertai vasokongesti testis (pembengkakan oleh darah) dan peningkatan keinginan berhubungan kelamin.
2. Fase datar, yang ditandai oleh peningkatan responsrespons tersebut, ditambah dengan respons tubuh yang lebih menyeluruh, misalnya peningkatan kecepatan denyut jantung, tekanan darah, kecepatan bernapas, dan ketegangan otot.
3. Fase orgasme, yang mencakup ejakulasi serta respons lain yang berpuncak pada kenikmatan seksual dan secara kolektif dirasakan sebagai kenikmatan fisik yang intensif.
4. Fase resolusi, yang mengembalikan genitalia dan sistem-sistem tubuh ke keadaan sebelum terangsang.
Respons seksual manusia adalah suatu pengalaman multikomponen yang, selain fenomena fisiologis di atas, juga mencakup faktor emosi, psikologis, dan sosial. Kita hanya akan membahas aspek fisiologis seks.
Ereksi tidak disebabkan oleh kontraksi otot-otot rangka di dalam penis, seperti yang semula diperkirakan, tetapi akibat pembengkakan penis oleh darah. Penis sebagian besar terdiri dari jaringan erektil yang terdiri dari tiga kolom ruang-ruang vaskuler seperti spons yang berjalan di sepanjang organ. Apabila tidak terjadi perangsangan seksual, jaringan erektil hanya berisi sedikit darah, karena arteriol yang memperdarahi ruang vaskuler ini mengalami konstriksi. Akibatnya, penis tetap kecil dan lemas. Selama perangsangan seksual, arteriolarteriol tersebut secara refleks berdilatasi dan jaringan erektil terisi oleh darah, sehingga penis membesar baik panjang inaupun lebarnya serta menjadi lebih keras (kaku). Penimbunan darah lebih lanjut dan peningkatan ereksi terjadi karena penurunan aliran darah vena. Venavena yang mendapat darah dari jaringan erektil tertekan akibat pembengkakan dan ekspansi ruang-ruang vaskuler yang ditimbulkan oleh peningkatan aliran masuk darah arteri. Respons vaskuler lokal ini-yang secara refleks meningkatkan aliran masuk darah arteri dan secara mekanis mengurangi aliran keluar melaui vena-mengubah penis menjadi organ yang mengeras dan memanjang serta mampu menembus vagina.
Refleks ereksi adalah suatu refleks spinal yang dipicu oleh stimulasi mekanoreseptor-mekanoreseptor yang sangat peka di glans penis, yang menutupi ujung penis. Stimulasi taktil pada glans secara refleks memicu peningkatan aktivitas parasimpatis dan penurunan aktivitas simpatis ke arteriol-arteriol di penis, sehingga terjadi vasodilatasi arteriol-arteriol tersebut dan ereksi. Respons ini adalah salah satu contoh utama kontrol parasimpatis langsung pada kaliber pembuluh darah di tubuh. Bukti-bukti terakhir mengisyaratkan bahwa stimulasi parasimpatis menyebabkan relaksasi otot polos arteriol penis melalui nitrat oksida (alias endothelial-derived relaxing factor), yang diketahui menyebabkan vasodilatasi arteriol sebagai respons terhadap perubahan lokal di berbagai jaringan lain di tubuh. Arteriol biasanya hanya dipersarafi oleh saraf simpatis, yang bila aktivitasnya meningkat menyebabkan vasokonstriksi dan bila aktivitasnya menurun menyebabkan vasodilatasi. Stimulasi parasimpatis dan inhibisi simpatis pada arteriol penis yang terjadi secara bersamaan menyebabkan vasodilatasi terjadi yang lebih cepat dan lebih kuat dibandingkan dengan yang dapat terjadi pada arteriol yang hanya mendapat persarafan simpatis. Melalui cara efisien yang dengan cepat meningkatkan aliran darah ke dalam penis ini, ereksi penuh dapat dicapai hanya dalam waktu lima sampai sepuluh detik. Pada saat yang sama, impuls parasimpatis meningkatkan sekresi mukus dari kelenjar bulbouretra dan kelenjar uretra sebagai persiapan untuk koitus.
Refleks spinal dasar dapat difasilitasi atau dihambat oleh pusat-pusat yang lebih tinggi di otak melalui jalurjalur desendens yang juga berakhir di saraf-saraf otonom yang mempersarafi arteriol penis. Sebagai salah satu contoh fasilitasi, rangsangan psikis, misalnya melihat sesuatu yang secara seksual merangsang, dapat memicu ereksi walaupun sama sekali tidak terdapat stimulasi taktil di penis. Di pihak lain, kegagalan mengalami ereksi walaupun stimulasinya adekuat (impotensi) dapat terjadi akibat inhibisi refleks ereksi oleh pusat-pusat yang lebih tinggi di otak. Pada kenyataannya, impoten lebih sering disebabkan oleh pengaruh psikologis dibandingkan dengan akibat keterbatasan fisik. Seorang pria yang terlalu cemas akan kemampuannya melaksanakan tindakan seksual mungkin akan benar-benar mengalaminya. Penyebab fisik impotensi meliputi kerusakan saraf, obat-obat tertentu yang mengganggu fungsi otonom, dan masalah aliran darah melalui penis.
Komponen kedua perilaku seksual pria adalah ejakulasi. Seperti ereksi, ejakulasi dilakukan oleh refleks spinal. Rangsangan taktil dan psikis yang memicu ereksi akan menyebabkan ejakulasi jika tingkat perangsangan menguat sampai ke puncak. Respons ejakulasi keseluruhan berlangsung dalam dua fase, emisi dan ekspulsi. Pertama, impuLs simpatis menyebabkan kontraksi sekuensial otot-otot polos di prostat, duktus-duktus reproduksi, dan vesikula seminalis. Aktivitas kontraktil ini menyebabkan cairan prostat, kemudian sperma, dan akhirnya cairan vesikula seminalis (secara kolektif disebut semen) mengalir ke dalam uretra. Fase refleks ejakulasi ini dikenal sebagai emisi. Selama fase ini, sfingter di leher kandung kemih tertutup rapat untuk mencegah semen masuk ke dalam kandung kemih dan urin keluar bersama dengan ejakulat melai4: urPtra. Kedua, pengisian uretra oleh semen memicu impulsimpuls saraf yang mengaktifkan serangkaian otot rangka di pangkal penis. Kontraksi ritmik otot ini berlangsung dengan interval 0,8 detik dan meningkatkan tekanan di dalam penis, memaksa semen keluar melalui uretra ke eksterior. Fase ini adalah fase ekspulsi pada ejakulasi.
Kontraksi ritmik yang terjadi selama ekspulsi semen disertai dengan berdenyutnya otot-otot panggul secara berirama dan involunter serta intensitas puncak respons tubuh keseluruhan yang meningkat selama fase-fase sebelumnya. Bernapas dalam, kecepatan denyut jantung yang dapat mencapai 180 kali per menit, kontraksi otot rangka secara umum, dan memuncaknya emosi merupakan karakteristik fase ini. Respons panggul dan respons sistemik keseluruhan yang merupakan puncak dari tindakan seksual ini disertai dengan kenikmatan yang ditandai oleh perasaan lega dan kepuasan, merupakan suatu pengalaman yang dikenal sebagai orgasme.
Selama fase resolusi setelah orgasme, impuls vasokonstriktor simpatis memperlambat aliran masuk darah ke dalam penis sehingga ereksi lenyap. Keadaan ini diikuti oleh relaksasi dalam, sering disertai oleh perasaan lelah. Tonus otot kembali ke normal sementara sistem kardiovaskuler dan pernapasan kembali ke tingkat aktivitasnya sebelum perangsangan. Setelah terjadi ejakulasi, terdapat periode refrakter sementara yang lamanya bervariasi sebelum rangsangan seksual berikutnya dapat menyebabkan ereksi. Dengan demikian, pria tidak dapat mengalami orgasme multipel dalam beberapa menit seperti yang kadang-kadang dapat dirasakan oleh wanita.
Volume dan isi sperma pada ejakulat bergantung pada lama waktu sebelum ejakulasi. Volume rata-rata semen adalah 3 ml, berkisar dari 2,5 sampai 6 ml, dengan volume yang lebih besar dapat terjadi setelah ditahan beberapa saat. Ejakulat manusia rata-rata mengandung sekitar 300 sampai 400 juta sperma (120 jutalml). Kuan- ' titas dan kualitas sperma merupakan penentu fertilitas yang penting. Seorang pria secara klinis dianggap infertil apabila konsentrasi spermanya turun di bawah 20 juta/ ml semen. Walaupun hanya satu spermatozoa yang sebenarnya melakukan fertilisasi, diperlukan sejumlah besar sperma untuk menghasilkan enzim-enzim akrosom dalam jumlah memadai untuk meluluhkan sawar yang mengelilingi ovum sampai sperma pemenang menembus sitoplasma ovum. Dalam menilai potensi fertilitas suatu sampel sperma, kualitas sperma juga harus diperhitungkan. Adanya sperma dalam jumlah bermakna dengan kelainan motilitas atau struktur, misalnya sperma dengan ekor abnormal, menurunkan kemungkinan fertilisasi.
Dalam banyak aspek, siklus seksual wanita setara dengan pria.
Kedua jenis kelamin mengalami keempat fase siklus seksual yang sama-eksitasi, data; orgasme, dan resolusi. Selain itu, mekanisme-mekanisme psikologis yang bertanggung jawab untuk orgasme pada pria dan wanita pada dasarnya sama.
Fase eksitasi pada wanita dapat dimulai dengan rangsangan fisik atau psikologis. Stimulasi taktil pada klitoris dan daerah perineum di sekitarnya adalah rangsangan seksual yang kuat. Rangsangan ini akan memicu refleks-refleks spinal yang melalui sistem parasimpatis menimbulkan vasodilatasi arteriol-arteriol di seluruh vagina dan genitalia eksterna. Terjadi peningkatan aliran masuk darah yang menyebabkan pembengkakan labia dan ereksi klitoris. Yang terakhir-seperti homolognya pada pria, penis-sebagian besar terdiri dari jaringan erektil. Vasokongesti kapiler-kapiler vagina menyebabkan cairan keluar dari pembuluh dan masuk ke dalam lumen vagina. Cairan ini, yang merupakan indikator positif pertama adanya gairah seksual, berfungsi sebagai pelumas utama untuk hubungan kelamin. Pelumasan tambahan dihasilkan oleh sekresi mukus dari pria dan oleh mukus yang dikeluarkan selama gairah seksual dari kelenjar-kelenjar yang terletak di luar muara vagina. Selama fase eksitasi pada wanita, puting payudara juga mengalami ereksi dan payudara membesar akibat vasokongesti. Selain itu, sebagian besar wanita memperlihatkan sex flush selama waktu ini, yang disebabkan oleh peningkatan aliran darah melalui kulit.
FISIOLOGI REPRODUKSI WANITA
Fisiologi reproduksi wanita jauh lebih rumit daripada fisiologi reproduksi pria. Tidak seperti pembentukan sperma yang berlangsung terus menerus dan sekresi testosteron yang relatif konstan pada pria, pengeluaran ovum bersifat intermiten dan sekresi hormon-hormon seks wanita memperlihatkan pergesaran siklus yang lebar. Jaringan-jaringan yang dipenganthi oleh hormonhormon seks ini juga mengalami perubahan berkala, yang paling jelas adalah adanya daur haid bulanan. Pada setiap siklus, saluran reproduksi wanita dipersiapkan untuk fertilisasi dan implantasi ovum, dikeluarkan dari ovarium pada waktu ovarium. Jika tidak terjadi pemruabahan siklus akan berulang. Jika memang terjadi pembuahan, siklus berhenti, sementara sistem wanita beradaptasi untuk membesarkan dan melindungi manusia yang baru terbentuk sampai ia memiliki kemampuan individual untuk hidup di luar lingkungan maternal. Selain itu, wanita melanjutkan tugas reproduksinya setelah melahirkan dengan menghasilkan susu (laktasi) untuk memberi makan bayinya. Dengan demikian, sistem reproduksi wanita ditandai oleh siklus-siklus kompleks yang terhenti oleh perubahan yang lebih kompleks lagi sewaktu terjadi kehamilan.
Pembelahan kromosom pada oogenesis setara dengan pada spermatogenesis, tetapi pada gametogenesis terdapat perbedaan seksual kuantitatif dan kualitatif yang cukup bermakna.
Oogenesis sangat berbeda dengan spermatogenesis dalam beberapa aspek penting, walaupun selama pembentukan gamet di kedua jenis kelamin berlangsung langkah-langkah replikasi dan pembelahan kromosom yang sama. Sel germinativum primordial yang belum berdiferensiasi pada ovarium janin, yakni oogonium (setara dengan spermatogonium), membelah diri secara mitosis untuk menghasilkan sekitar enam sampai tujuh juta oogonia pada bulan kelima masa gestasi, saat proliferasi mitotik berhenti. Selama bagian terakhir masa kehidupan janin, oogonia memulai langkah-langkah awal pembelahan meiosis pertama tetapi tidak menyelesaikannya. Sel-sel yang terbentuk, yang dikenal sebagai oosit primer, mengandung empat puluh enam kromosom replikasi, yang berkumpul dalam pasangan-pasangan homolog tetapi belum memisah. Oosit primer tetap berada dalam keadaan meiosis yang terhenti ini selama beberapa tahun sampai mereka dipersiapkan untuk ovulasi.
Sebelum lahir, setiap oosit primer dikelilingi oleh sebuah lapisan sel granulosa untuk membentuk folikel primer. Oosit yang tidak membentuk folikel akan berdegenerasi, dan saat lahir hanya sekitar dua juta folikel primer yang tersisa, masing-masing berisi satu oosit primer yang mampu menghasillcan sebuah ovum. Setelah lahir tidak ada pembentukan oosit atau folikel baru; folikel-folikel yang sudah ada di ovarium saat lahir berfungsi sebagai reservoir yang merupakan asal dari semua ovum sepanjang masa reproduktif seorang wanita. Dari folikel-folikel ini, hanya sekitar empat ratus akan matang dan mengeluarkan ovum. Kumpulan folikel primer yang ada sejak lahir merupakan sumber bagi perkembangan folikel. Sekali berkembang, sebuah folikel akan mengalami salah satu dari dua nasib: folikel tersebut akan mencapai kematangan dan berovulasi, atau mengalami degenerasi untuk membentuk jaringan parut, yaitu suatu proses yang dikenal sebagai atresia. Sampai pubertas, semua folikel yang mulai berkembang mengalami atresia pada tahap-tahap awal tanpa pernah mengalami ovulasi. Bahkan untuk beberapa tahun pertama setelah pubertas, banyak siklus bersifat anovulatorik (yaitu tanpa pengeluaran ovum). Dari simpanan folikel awal, 99,8% tidak pernah berovulasi tetapi mengalami atresia pada tahap tertentu perkembangannya. Pada saat menopause, yang rata-rata terjadi pada usia awal limapuluhan, beberapa, kalaupun ada, folikel primer bertahan karena tidak mengalami ovulasi atau atresia. Dari titik ini ke depan, kapasitas reproduksi wanita terhenti.
Siklus ovarium terdiri dari fase folikel dan luteal yang berselang-seling.
Setelah awitan pubertas, ovarium secara terus menerus berada dalam dua fase secara bergantian-fase folikel, yang didominasi oleh adanya folikel matang, dan fase luteal, yang ditandai oleh adanya korpus luteum (akan segera dijelaskan). Siklus ini dalam keadaan normal diinterupsi hanya oleh kehamilan dan akhirnya berakhir pada menopause. Siklus ovarium rata-rata berlangsung selama dua puluh delapan hari, tetapi hal ini bervariasi„ di antara wanita dan di antara siklus pada seorang wanita. Folikel bekerja pada separuh pertama siklus untuk menghasilkan sebuah telur matang yang siap berovulasi di pertengahan siklus. Korpus luteum mengambil alih peran pada paruh kedua siklus untuk mempersiapkan saluran reproduksi wanita untuk kehamilan apabila terjadi pembuahan terhadap telur yang dikeluarkan.
Pada setiap saat sepanjang siklus, sebagian dari folikel primer mulai tumbuh. Namun, folikel-folikel tersebut hanya tumbuh selama fase folikel, pada saat lingkungan hormonal tepat untuk mendorong pematangan mereka, melanjutkan diri melewati fase awal perkembangan. Folikel-folikel lain, karena tidak mendapat bantuan hormon, mengalami atresia. Selama perkembangan folikel, sewaktu oosit primer sedang melaksanakan sintesis dan menyimpan berbagai bahan untuk digunakan kemudian jika dibuahi, terjadi perubahan-perubahan penting di sel-sel yang mengelilingi oosit reaktif sebagai persiapan untuk pelepasan telur dari ovarium. Pertama, selapis sel-sel granulosa di folikel primer berproliferasi untuk membentuk beberapa lapisan mengelilingi oosit. Sel-sel granulosa ini mengeluarkan bahan kental mirip-gel yang membungkus oosit dan memisahkannya dari sel-sel granulosa di sekitarnya. Membran penghalang ini dikenal sebagai zona pelusida. Pada saat yang sama, sel-sel jaringan ikat khusus di ovarium di tepi folikel yang sedang tumbuh berproliferasi dan berdiferensiasi untuk membentuk suatu lapisan luar, yaitu sel-sel teka. Sel teka dan granulosa, yang secara kolektif disebut sel folikel, berfungsi sebagai satu kesatuan untuk mensekresikan estrogen. Dari tiga estrogen yang penting secara fisiologis-estradiol, estron, dan estriol-estradiol adalah estrogen utama dari ovarium.
Lingkungan hormonal yang terdapat selama fase folikel mendorong pembesaran dan perkembangan kapasitas sekretorik sel-sel folikel, mengubah folikel primer menjadi folikel sekunder, atau antrum, yang mampu menghasilkan estrogen. Stadium perkembangan folikel ini ditandai oleh pembentukan antrum yang berisi cairan di bagian tengah sel-sel granulosa. Cairan folikel sebagian besar berasal dari transudasi (melewati poripori kapiler) plasma dan sebagian dari sekresi sel folikcl. Sewaktu sel-sel folikel mulai menghasilkan estrogen, sebagian dari hormon ini disekresikan ke dalam darah untuk disebarkan ke seluruh tubuh. Akan tetapi, sebagian estrogen berkumpul di cairan antrum yang kaya akan hormon.
Siklus ovarium diatur oleh interaksi kompleks berbagai hormon dari hipotalamus, hipofisis anterior; dan ovarium.
Ovarium memiliki dua unit endokrin terkait-folikel penghasil estrogen selama paruh pertama siklus, dan korpus luteum, yang mengeluarkan progesteron dan estrogen selama paruh terakhir siklus. Unit-unit ini secara sekuensial dipicu oleh hubungan hormonal siklis yang rumit antara hipotalamus, hipofisis anterior, dan kedua unit endokrin ovarium.
Seperti pada pria, fungsi gonad pada wanita secara langsung dikontrol oleh hormon-hormon gonadotropik hipofisis anterior, follicle-stimulating hormone (FSH) dan luteinizing hormone (LH). Kedua hormon ini, pada gilirannya, diatur oleh gonadotropin-releasing hormone (GnRH) hipotalamus yang sekresinya pulsatif serta efek umpan-balik hormon-hormon gonad. Namun, berbeda dengan pria; kontrol gonad wanita diperumit oleh fungsi ovarium yang sifatnya siklis. Sebagai contoh, efek FSH dan LH pada ovarium bergantung pada stadium siklus ovarium. Juga berbeda dengan pria, FSH tidak sematamata bertanggung jawab untuk gametogenesis dan LH juga tidak hanya bertanggung jawab atas sekresi hormon gonad. Kita akan membahas kontrol fungsi folikel, ovulasi, dan korpus luteum secara terpisah, dengan menggunakan Gambar 20-15 sebagai cara untuk mengintegrasikan berbagai aktivitas yang bersamaan dan berunitan yang berlangsung di sepanjang siklus.
Kontrol Fungsi Ovarium Faktor-faktor yang memulai perkembangan folikel masih belum sepenuhnya dipahami. Tahap-tahap awal pertumbuhan folikel pra-antrum dan pematangan oosit tidak memerlukan stimulasi gonadotropik. Namun, bantuan hormon diperlukan untuk membentuk antrum, perkembangan folikel lebih lanjut, dan sekresi estrogen. Estrogen, FSH, dan LH semuanya diperlukan. Pembentukan antrum diinduksi oleh FSH.
Baik FSH maupun estrogen merangsang proliferasi selsel granulosa. Baik FSH maupun LH diperlukan untuk sintesis dan sekresi estrogen oleh folikel, tetapi hormonhormon ini bekerja pada sel-sel yang berbeda dan pada tahapan jalur pembentukan estrogen yang berbeda pula. Baik sel granulosa maupun sel teka berpartisipasi dalam pembentukan estrogen. Perubahan kolesterol menjadi estrogen memerlukan sejumlah langkah berututan, dengan langkah terakhir adalah perubahan androgen menjadi estrogen. Sel-sel teka banyak menghasilkan androgen tetapi kapasitas mereka mengubah androgen menjadi estrogen terbatas. Sel-sel granulosa, di pihak lain, mudah mengubah androgen menjadi estrogen tetapi tidak mampu membentuk sendiri androgen. Luteinizing hormone bekerja pada sel-sel teka untuk merangsang pembentukan androgen, sementara FSH bekerja pada sel-sel granulosa untuk meningkatkan perubahan androgen teka (yang berdifusi ke dalam sel granulosa dari sel teka) menjadi estrogen. Karena kadar basal FSH yang rendah sudah cukup untuk mendorong perubahan menjadi estrogen ini, kecepatan sekresi estrogen oleh folikel terutama bergantung pada kadar LH dalam darah, yang terus meningkat selama fase folikel. Selain itu, sewaktu folikel terus tumbuh, estrogen yang dihasilkan juga meningkat karena bertambahnya jumlah sel folikel penghasil estrogen.
Sebagian dari estrogen yang dihasilkan oleh folikel yang tumbuh disekresikan ke dalam darah dan menjadi penyebab meningkatnya kadar estrogen plasma selama fase folikel. Sisa estrogen tetap berada di dalam folikel dan ikut serta membentuk cairan antn.tm dan merangsang proliferasi lebih lanjut sel-sel granulosa.
Estrogen yang disekresikan, selain bekerja pada jaringan spesifik-seks seperti uterus, juga menghambat hipotalamus dan hipofisis anterior melalui mekanisme umpan-balik negatif. Kadar estrogen yang rendah tetapi meningkat pada fase folikel bekerja secara langsung pada hipotalamus untuk menghambat sekresi GnRH, sehingga pengeluaran FSH dan LH dari hipofisis anterior yang dipicu oleh GnRH juga tertekan. Namun, efek primer estrogen adalah langsung pada hipofisis itu sendiri. Estrogen menurunkan kepekaan sel penghasil gonadotropin, terutama sel penghasil FSH, terhadap GnRH.
Perbedaan kepekaan sel-sel penghasil FSH dan LH yang diinduksi oleh estrogen ini paling tidak ikut berperan pada kenyataan bahwa kadar FSH plasma, tidak seperti kadar LH plasma, menurun selama fase folikel seiring dengan peningkatan kadar estrogen (Gbr. 20-15). Faktor lain yang menyebabkan turunnya FSH selama fase folikel adalah sekresi inhibin oleh sel-sel folikel. Inhibin cenderung menghambat sekresi FSH dengan bekerja pada hipofisis anterior, seperti yang terjadi pada pria. Penurunan sekresi FSH menyebabkan atresia semua folikel yang sedang berkembang kecuali satu yang paling matang.
Berbeda dengan FSH, sekresi LH terus meningkat secara perlahan selama fase folikel walaupun terjadi inhibisi terhadap sekresi GnRH (dan dengan demikian secara tidak langsung, LH). Hal yang tampak paradoks ini disebabkan oleh kenyataan bahwa estrogen sendiri tidak dapat secara total menekan sekresi LH tonik (terus-menerus, dengan kadar rendah); untuk menghambat secara total sekresi LH tonik tersebut diperlukan baik estrogen maupun progesteron. Karena progesteron belum muncul sampai fase luteal siklus tersebut, kadar LH basal secara perlahan meningkat selama fase folikel di bawah inhibisi inkomplit estrogen.
Kontrol Ovulasi Ovulasi dan luteinisasi selanjutnya folikel yang ruptur dipicu oleh peningkatan sekresi LH yang masif dan mendadak. Lonjakan LH ini menimbulkan empat perubahan-ulama pada folikel:
1. Lonjakan tersebut menghentikan sintesis estrogen oleh sel folikel.
2. Lonjakan tersebut memulai kembali meiosis di oosit pada folikel yang sedang berkembang, tampaknya dengan menghambat pengeluaran oocyte maturationinhibiting substance yang dihasilkan oleh sel-sel granulosa. Zat ini diperkirakan menjadi penyebab terhentinya meiosis di oosit primer setelah oosit terbungkus di dalam sel-sel granulosa pada ovarium janin.
3. Lonjakan tersebut memicu pembentukan prostaglandin spesifik yang bekerja lokal. Prostaglandin tersebut menginduksi ovulasi dengan mendorong perubahanpenzbahan vaskuler yang menyebabkan pembengkakan folikel dengan cepat sementara menginduksi pencernaan dinding folikel oleh enzim-enzim. Efek-efek tersebut bersama-sama menyebabkan rupturnya dinding yang membungkus folikel.
4. Lonjakan tersebut menyebabkan diferensiasi sel-sel folikel menjadi sel luteal. Karena lonjakan LH memicu ovulasi dan luteinisasi, pembentukan korpus luteum secara otomatis mengikuti ovulasi. Dengan demkian, lonjakan sekresi LH pada pertengahan siklus adalah titik dramatis dalam siklus; lonjakan tersebut menghentikan fase folikel dan memulai fase luteal.
Dua cara sekresi LH yang berbeda-sekresi tonik LH yang menyebabkan sekresi hormon ovarium dan lonjakan LH yang menyebabkan ovulasi-tidak hanya berlangsung pada saat yang berbeda dan menimbulkan efek yang berlainan pada ovarium tetapi juga dikontrol oleh mekanisme yang berbeda. Sekresi LH tonik ditekan secara parsial oleh estrogen kadar rendah selama fase folikel dan ditekan secara total oleh progesteron yang kadarnya meningkat selama fase luteal. Karena sekresi LH tonik merangsang sekresi estrogen dan progesteron, hal ini adalah khas untuk sistem umpan-balik negatif.
Sebaliknya, lonjakan LH dipicu oleh efek umpanbalik positif. Kadar estrogen yang rendah dan meningkat pada awal fase folikel menghambat sekresi LH, tetapi kadar estrogen yang tinggi pada saat puncak sekresi estrogen pada akhir fase folikel (Gbr. 20-15) merangsang sekresi LH dan menimbulkan lonjakan LH (Gbr. 20-18). Dengan demikian, LH meningkatkan produksi estrogen oleh folikel, dan konsentrasi estrogen puncak merangsang sekresi LH. Konsentrasi estrogen plasma yang tinggi bekerja langsung pada hipotalamus untuk meningkatkan frekuensi denyut sekresi GnRH, sehingga meningkatkan sekresi LH dan FSH. Kadar tersebut juga bekerja langsung pada hipofisis anterior untuk secara spesifik meningkatkan kepekaan sel penghasil LH terhadap GnRH. Efek yang terakhir merupakan penyebab lonjakan sekresi LH yang jauh lebih besar daripada sekresi FSH pada pertengahan siklus. Karena hanya folikel praovulasi matang, bukan folikel-folikel pada tahap awal perkembangan, yang mampu mengeluarkan estrogen dalam jumlah cukup untuk memicu lonjakan LH, maka ovulasi tidak terjadi sampai sebuah folikel mencapai ukuran dan tingkat kematangan yang sesuai. Dengan cara ini, folikel memberi tahu hipotalamus kapan ia siap dirangsang untuk berovulasi. Lonjakan LH hanya berlangsung satu atau dua hari pada pertengahan siklus, sesaat sebelum ovulasi.
Kontrol Korpus Luteum Luteinizing hormone "mempertahankari" korpus luteum; yaitu, setelah memicu perkembangan korpus luteum, LH merangsang struktur ovarium ini untuk terus mengeluarkan hormon steroid. Di bawah pengaruh LH, korpus luteum mengeluarkan progesteron dan estrogen, dengan jumlah progesteron jauh lebih besar. Kadar progesteron plasma meningkat untuk pertama kalinya selama fase luteal. Selama fase folikel tidak terjadi sekresi progesteron (kecuali sedikit dari folikel yang akan pecah di bawah pengaruh lonjakan LH). Oleh karena itu, fase folikel didominasi oleh estrogen sedangkan fase luteal oleh progesteron.
Penurunan sesaat kadar estrogen dalam darah terjadi pada pertengahan siklus sewaktu folikel penghasil estrogen mati. Kadar estrogen kembali naik selama fase luteal karena aktivitas korpus luteum, walaupun tidak mencapai puncak yang sama seperti fase folikel. Apa yang mencegah kadar estrogen yang cukup tinggi selama fase luteal memicu kembali lonjakan LH? Progesteron. Walaupun estrogen kadar tinggi merangsang sekresi LH, progesteron, yang mendominasi fase luteal, dengat kuat menghambat sekresi LH dan sekresi FSH. Inhibisi FSH dan LH oleh progesteron mencegah pematangan folikel dan ovulasi baru selama fase luteal. Di bawah pengaruh progesteron, sistem reproduksi dipersiapkan untuk menunjang ovum yang baru dilepaskan, jika ovum tersebut dibuahi, dan tidak mempersiapkan pengeluaran ovum baru. Sel-sel luteal tidak mengeluarkan inhibin.
Perubahan di uterus yang terjadi selama daur haid mencerminkan perubahan hormon selama siklus ovarium.
Fluktuasi kadar estrogen dan progesteron dalam sirkulasi (plasma) yang terjadi selama siklus ovarium menyebabkan perubahan-perubahan mencolok di uterus. Hal ini menyebabkan timbulnya daur haid atau siklus uterus (siklus menstruasi). Karena mencerminkan perubahanperubahan hormon yang terjadi selama siklus ovarium, daur haid berlangsung rata-rata dua puluh delapan hari, seperti siklus ovarium, walaupun dapat terjadi variasi yang cukup besar bahkan pada orang dewasa normal. Variabilitas tersebut terutama mencerminkan perbedaan lamanya fase folikel; lama (durasi) fase luteal hampir konstan. Manifestasi nyata perubahan siklis yang terjadi di uterus adalah perdarahan haid yang berlangsung sekali setiap daur haid (yaitu, sekali sebulan). Namun, selama siklus tersebut terjadi perubahan-perubahan yang kurang nyata, ketika uterus dipersiapkan untuk menerima implantasi ovum yang dibuahi dan kemudian lapisannya dilepaskan jika tidak terjadi pembuahan (haid), hanya untuk memperbaiki dirinya kembali dan mulai mempersiapkan diri untuk ovum yang akan dikeluarkan pada siklus berikutnya.
Kita akan membahas secara singkat pengaruh estrogen dan progesteron pada uterus dan kemudian memperhitungkan efek fluktuasi siklik kedua hormon tersebut pada struktur dan fungsi uterus. Uterus terdiri dari dua lapisan: miometrium, lapisan otot polos di sebelah luar, dan endometrium, lapisan bagian dalam yang mengandung banyak pembuluh darah dan kelenjar. Estrogen merangsang pertumbuhan miometrium dan endometrium. Hormon ini juga meningkatkan sintesis reseptor progesteron di endometrium. Dengan demikian, progesteron mampu mempengaruhi endometrium hanya setelah endometrium "dipersiapkan" oleh estrogen. Progesteron bekerja pada endometrium yang telah dipersiapkan oleh estrogen untuk mengubahnya menjadi lapisan yang ramah dan mengandung banyak nutrisi bagi ovum yang sudah dibuahi. Di bawah pengaruh progesteron, jaringan ikat endometrium menjadi longgar dan edematosa akibat penimbunan elektrolit dan air, yang mempermudah implantasi ovum yang dibuahi. Progesteron juga mempersiapkan endometrium untuk menampung mudigah yang baru berkembang dengan merangsang kelenjar-kelenjar endometrium agar mengeluarkan dan menyimpan glikogen dalam jumlah besar dan dengan menyebabkan pertumbuhan besar-besaran pembuluh darah endometrium. Progesteron juga menurunkan kontraktilitas uterus agar lingkungan di uterus tenang dan kondusif untuk in:plantasi dan pertumbuhan mudigah.
Daur haid terdiri dari tiga fase: fase menstruasi (haid), fase proliferasi, dan fase sekresi atau progestasional. Fase menstruasi adalah fase yang paling jelas karena ditandai oleh pengeluaran darah dan debris endometrium dari vagina. Berdasarkan perjanjian, hari pertama haid dianggap sebagai awal siklus baru. Fase ini bersamaan dengan berakhirnya fase luteal ovarium dan permulaan fase folikel. Sewaktu korpus luteum berdegenerasi karena tidak terjadi pembuahan dan implantasi ovum yang dikeluarkan dari siklus sebelumnya, kadar estrogen dan progesteron di sirkulasi turun drastis. Karena efek netto estrogen dan progesteron adalah mempersiapkan endometrium untuk implantasi ovum yang dibuahi, penarikan-kembali kedua hormon steroid tersebut menyebabkan lapisan endometrium yang kaya akan nutrisi dan pembuluh darah itu tidak lagi ada yang mendukung secara hormonal. Penurunan kadar hormonhormon ovarium itu juga merangsang pengeluaran prostaglandin uterus yang menyebabkan vasokonstriksi pembuluh-pembuluh endometrium, sehingga aliran darah ke endometrium terganggu. Penurunan penyaluran O2 yang terjadi menyebabkan kematian endometrium, termasuk pembuluh-pembuluh darahnya. Perdarahan yang timbul melalui disintegrasi pembuluh darah itu membilas jaringan endometrium yang mati ke dalam lumen uterus. Pada setiap kali haid, seluruh lapisan endometrium terlepas, kecuali suatu lapisan dalam dan tipis yang terdiri dari sel-sel epitel dan kelenjar yang akan menjadi bakal regenerasi endometrium. Prostaglandin uterus juga merangsang kontraksi ritmik ringan miometrium. Kontraksi-kontraksi itu membantu mengeluarkan darah dan debris endometrium dari rongga uterus melalui vagina sebagai darah haid. Kontraksi uterus yang kuat akibat pembentukan prostaglandin yang berlebihan merupakan penyebab kejang haid (dismenore) yang dialami oleh sebagian wanita.
Fluktuasi kadar estrogen dan progesteron menimbulkan perubahan siklis pada mukus serviks.
Selama siklus ovarium juga terjadi perubahan di serviks akibat pengaruh hormon. Di bawah pengaruh estrogen selama fase folikel, mukus yang disekresikan oleh serviks berjumlah banyak, jernih, dan encer. Perubahan ini, yang paling jelas ketika kadar estrogen berada di puncaknya dan ovulasi akan terjadi, mempermudah sperma melewati kanalis servikalis. Setelah ovulasi, di bawah pengaruh progesteron dari korpus luteum, mukus menjadi kental dan lengket, sehingga pada dasarnya membentuk sumbat yang menutupi lubang serviks. Sumbat ini merupakan mekanisme pertahanan penting untuk mencegah masuknya bakteri dari vagina ke uterus yang dapat mengancam kehamilan sekiranya terjadi konsepsi. Sperma juga tidak dapat menembus sawar mukus yang tebal ini.
Perubahan-perubahan pubertas pada anak perempuan sama dengan yang terjadi pada anak lald-laki, tetapi perubahan menopause khas untuk wanita
Wanita berusia muda dan tua sama-sama tidak mengalami siklus haid yang teratur, tetapi dengan alasan yang berbeda.
Perubahan Pubertas Sistem reproduksi wanita belum aktif sampai yang bersangkutan mencapai pubertas. Tidak seperti testis janin, ovarium janin belum berfungsi karena feminisasi sistem reproduksi wanita secara otomatis berlangsung jika tidak terdapat sekresi testosteron janin tanpa memerlukan keberadaan hormonhormon seks wanita. Sistem reproduksi wanita tetap inaktif sejak lahir sampai pubertas, yang terjadi pada usia sekitar sebelas tahun, karena GnRH hipotalamus secara aktif ditekan oleh mekanisme-mekanisme yang serupa dengan yang terjadi pada anak laki-laki prapubertas. Seperti pada anak laki-laki, hilangnya pengaruhpengaruh inhibitorik tersebut oleh mekanisme yang belum diketahui menyebabkan dimulainya pubertas.
Sekresi estrogen yang dihasilkan oleh ovarium aktif akan menginduksi pertumbuhan dan pematangan saluran reproduksi wanita serta perkembangan karakteristik seks sekunder wanita. Efek estrogen yang menonjol pada perkembangan karakteristik seks sekunder tersebut adalah mendorong penimbunan lemak di lokasi-lokasi strategis, misalnya payudara, bokong, dan paha, sehingga terbentuk sosok melekuk-lekuk khas wanita. Pembesaran payudara pada saat pubertas terutama disebabkan oleh penimbunan lemak di jaringan payudara dan bukan disebabkan oleh perkembangan fungsional kelenjarkelenjar mamaria. Tiga perubahan pubertas lainnya pada wanita-pertumbuhan rambut ketiak dan pubis, lonjakan pertumbuhan pubertas, dan munculnya libido-disebabkan oleh lonjakan sekresi androgen adernal pada pubertas, bukan akibat estrogen. Namun, peningkatan estrogen pada masa pubertas memang menyebabkan lempeng epifisis menutup, sehingga tidak lagi terjadi pertambahan tinggi tubuh, serupa dengan efek testosteron pada pria.
Perubahan Menopause Penghentian daur haid seorang wanita pada usia sekitar empat puluh lima sampai lima puluh lima tahun disebabkan oleh terbatasnya pasokan folikel ovarium yang terdapat saat lahir. Setelah reservoir ini habis, siklus ovarium, dan tentu saja daur haid, terhenti. Dengan demikian, penghentian potensi reproduksi pada wanita usia pertengahan "sudah diprogram sebelumnya" sejak ia lahir. Secara evolusi, menopause mungkin berkembang sebagai suatu mekanisme untuk mencegah kehamilan pada wanita melebihi waktu yang dapat mereka sediakan untuk mengasuh anak sebelum kematian datang.
Menopause didahului oleh suatu periode kegagalan ovarium progresif yang ditandai oleh semakin seringnya daur yang tidak teratur, penurunan kadar estrogen, serta sejumlah perubahan fisik dan emosi. Keseluruhan periode transisi dari kematangan seksual sampai pada penghentian kemampuan reproduksi dikenal sebagai klimakterium. Tidak adanya estrogen ovarium merupakan penyebab timbulnya perubahan-perubahan pascamenopause, misalnya kekeringan vagina, yang dapat menimbulkan rasa tidak nyaman sewaktu berhubungan kelamin, dan atrofi gradual organ-organ genitalia. Namun, wanita pascamenopause tetap memiliki dorongan seks karena androgen adrenal mereka. Masih tidak jelas apakah gejala-gejala emosional yang berkaitan dengan penurunan fungsi ovarium, misalnya depresi dan iritabilitas, disebabkan oleh penurunan estrogen atau merupakan reaksi psikologis terhadap dampak menopause.
Pria tidak mengalami kegagalan gonad total serupa karena dua alasan. Pertama, pasokan sel germinativum mereka tidak terbatas karena aktivitas mitosis spermatogonia yang berlangsung terus menerus. Kedua, sekresi hormon gonad pada pria tidak bergantung pada gametogenesis, seperti pada wanita. Jika hormon seks wanita dihasilkan oleh jaringan yang berbeda dan tidak berkaitan dengan jaringan yang bertanggung jawab untuk gametogenesis, seperti yang terjadi pada pria, penghentian sekresi estrogen dan progesteron tidak secara otomatis menyertai penghentian oogenesis.
Oviduktus adalah tempat pembuahan.
Sekarang Anda telah belajar mengenai kejadian-kejadian yang berlangsung jika tidak terjadi pembuahan. Karena fungsi utama sistem reproduksi adalah, tentu saja, reproduksi, kita akan mengalihkan perhatian kita selanjutnya pada rangkaian kejadian yang berlangsung apabila hal tersebut terjadi. (Lihat fitur penyerta dalam kotak, Konsep, Tantangan, dan Kontroversi.)
Pembuahan, penyatuan gamet pria dan wanita, dalam keadaan normal terjadi di ampula, sepertiga atas oviduktus. Dengan demikian, ovum dan sperma harus diangkut dari tempat produksi mereka di gonad ke ampula.
Pengangkutan Ovum ke Oviduktus Pada ovulasi ovum dibebaskan ke dalam rongga abdomen, telapi ovum tersebut dengan cepat diambil oleh oviduktus. Ujung oviduktus yang melebar menangkap ovarium dan mengandung finbrie, tonjolan-tonjolan seperti jari yang berkontraksi dengan gerakan menyapu, untuk memastikan jalannya ovum ke dalam oviduktus. Selain itu, fimbrie dilapisi oleh silia, yaitu tonjolan-tonjolan halus mirip rambut yang bergetar seperti gelombang ke arah interior oviduktus, yang lebih menjamin penyaluran ovum ke oviduktus (lihat h. 37). Di dalam oviduktus, ovum dengan cepat didorong oleh kontraksi peristaltik dan gerakan silia ke arah ampula.
Konsepsi dapat terjadi hanya pada rentang waktu yang terbatas dalam setiap daur haid (masa subur). Apabila tidak dibuahi, ovum mulai mengalami disintegrasi dalam dua puluh empat jam dan kemudian difagositosis oleh sel-sel yang melapisi bagian dalam saluran reproduksi. Dengan demikian, pembuahan harus terjadi dalam dua puluh empat jam setelah ovulasi, saat ovum masih dapat hidup. Sperma dapat bertahan hidup sekitar dua hari di saluran reproduksi wanita; sehingga sperma yang ditaruh dalam 48 jam sebelum sampai 24 jam setelah ovulasi masih mungkin membuahi ovum yang dikeluarkan, walaupun waktu-waktu ini dapat sangat bervariasi.
Kadang-kadang ovum gagal dipindahkan ke dalam oviduktus dan tetap berada di dalam rongga abdomen. Walaupun jarang, ovum ini dapat dibuahi dan menyebabkan kehamilan ektopik (abdomen), yaitu telur yang dibuahi tertanam di organ-organ pencernaan yang kaya akan pembuluh darah dan bukan di uterus. Apabila kehamilan yang tidak Iazim ini terus berlangsung sampai cukup bulan, bayi harus dilahirkan secara bedah, karena tidak terdapat pintu keluar yang normal baginya.
Kadang-kadang morula gagal turun ke uterus dan terus berkembang dan tertanam di lapisan dalam oviduktus. Keadaan ini menimbulkan kehamilan tuba, yang harus dihentikan. Kehamilan semacam ini tidak akan berlanjut, karena oviduktus tidak dapat mengembang seperti uterus untuk mengakomodasi janin yang tumbuh. Tanda awal kehamilan tuba adalah nyeri karena peregangan oviduktus oleh mudigah yang tumbuh. Apabila tidak diangkat, mudigah yang membesar ini akan merobek oviduktus dan menimbulkan perdarahan yang dapat mengakibatkan kematian.
Dalam keadan normal, pada saat endometrium siap diimplantasikan (sekitar seminggu setelah ovulasi), morula telah turun ke uterus dan terus berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi blastokista yang mampu melakukan implantasi. Dengan demikian, penundaan selama seminggu setelah pembuahan dan sebelum implantasi terjadi menyediakan waktu baik bagi mudigah maupun endometrium untuk mempersiapkan diri menghadapi implantasi.
Blastokista adalah satu lapis sel-sel berbentuk bola (sferis) yang mengelilingi suatu rongga berisi cairan dengan massa padat sel-sel berkelompok di satu sisi. Massa padat ini, yang disebut massa sel dalam (inner cell mass), akan menjadi janin itu sendiri. Bagian blastokista sisanya tidak akan menyatu dengan janin tetapi akan berfungsi sebagai penunjang selama kehidupan intrauterus. Lapisan tipis paling luar, yaitu trofoblas, bertanggung jawab menyelesaikan implantasi, dan setelah itu berkembang menjadi bagian janin dari plasenta. Rongga berisi cairan, blastokel, akan menjadi kantung amnion, yang mengelilingi dan menjadi bantalan bagi janin selama kehamilan.
Ketika blastokista siap melaksanakan implantasi, permukaannya menjadi lengket. Pada saat ini endometrium siap menerima mudigah. Blastokista melekat ke lapisan dalam uterus di sisi massa sel dalamnya. Implantasi dimulai ketika sel-sel trofoblastik yang melapisi massa sel dalam mengeluarkan enzim-enzim protcolitik sewaktu berkontak dengan endometrmm. Enzim-enzim ini mencerna jalan di antara sel-sel endometrium, sehingga genjel-genjel sel-sel trofoblas yang berbentuk seperti jari dapat menembus ke kedalaman endometrium, tempat sel-sel tersebut terus mencexna sel uterus. Melalui efek kanibalnya, trofoblas melaksanakan fungsi ganda, yaitu (1) menyelesaikan implantasi sewaktu membuat lubang di endometrium untuk blastokista dan (2) menyediakan bahan bakar metabolik serta bahan-bahan dasar untuk nxudigah yang sedang berkembang karena sel-sel trofoblastik menguraikan jaringan endometrium yang kaya akan gizi.
Dirangsang oleh invasi trofoblas, jaringan endometrium di tempat kontak mengalami perubahan-perubahan dramatis yang meningkatkan kemampuannya menunjang mudigah. Sebagai respons terhadap zat perantara kimiawi yang dikeluarkan oleh blastokista, sel-sel endometrium mengeluarkan prostaglandin, yang bekerja secara lokal untuk meningkatkan vaskularisasi, menyebabkan edema, dan meningkatkan simpanan zat gizi. Jaringan endometrium yang mengalami modifikasi tersebut disebut desidua. Ke dalam jaringan desidua yang super-kaya inilah blastokista tertanam. Setelah blastokista masuk ke dalam desidua melalui aktivitas trofoblastik, terbentuk selapis sel endometrium yang menutupi permukaan lubang, sehingga blastokista benar-benar tertanam di lapisan dalam uterus. Lapisan trofoblas terus mencerna sel-sel desidua di sekitarnya dan menyediakan energi bagi mudigah sampai plasenta terbentuk.
Plasenta adalah organ pertukaran antara darah ibu dan janin.
Simpanan glikogen di endometrium hanya cukup untuk memberi makan mudigah selama minggu-minggu pertama. Untuk mempertahankan mudigah/janin yang sedang tumbuh selama hidup di uterus, terbentuk plasenta, suatu organ khusus untuk pertukaran antara darah ibu dan janin (Gbr. 20-26). Plasenta berasal dari jaringan trofoblastik dan desidua.
Pada hari kedua belas, mudigah sudah terbenam seluruhnya di desidua. Saat ini lapisan trofoblastik sudah mencapai ketebalan dua lapisan dan disebut korion. Karena terus mengeluarkan enzim dan meluas, korion membentuk suatu jaringan rongga-rongga yang meluas di dalam desidua. Dinding kapiler-kapiler desidua mengalami erosi akibat ekspansi korion sehingga ronggarongga tersebut terisi oleh darah ibu, yang tidak dapat membeku karena adanya antikoagulan yang dihasilkan oleh korion. Terbentuk tonjolan-tonjolan mirip jaringan korion yang meluas ke dalam genangan darah ibu tersebut. Mudigah yang berkembang dengan segera mengirim kapiler ke tonjolan-tonjolan korion untuk membentuk vilus plasenta. Sebagian vilus meluas secara sempurna menembus ruang-ruang berisi darah untuk menambatkan plasenta bagian janin ke jaringan endometrium, tetapi sebagian besar hanya menonjol ke dalam genangan darah ibu.
Setiap vilus plasenta mengandung kapiler mudigah (nantinya janin) yang dikelilingi oleh selapis tipis jaringan korion, yang memisahkan darah mudigah/janin dari darah ibu di ruang antarvilus. Tidak terdapat pencampuran antara darah ibu dan janin, tetapi sawar di antara keduanya sangatlah tipis. Untuk menggambarkan hubungan ini, bayangkan tangan Anda (pembuluh darah janin) dalam sarung tangan karet (jaringan korion) terbenam dalam airxgenangan darah ibu). Hanya sarung tangan karet ya g memisahkan tangan Anda dari air. Dengan cara yang sama, hanya jaringan korion yang tipis -(dit~mbah dinding kapiler pembuluh janin) yang memisahkan darah janin dan ibu. Melalui sawar yang sangat tipis inilah semua bahan dipertukarkan antara kedua aliran darah tersebut. Keseluruhan sistem struktur ibu (desidua) dan janin (korion) yang saling mengunci ini membentuk plasenta.
Walau belum berkembang sempurna, plasenta sudah bekerja penuh sejak minggu kelima setelah implantasi. Pada saat ini, jantung mudigah sudah memompa darah ke dalam vilus plasenta serta ke jaringan mudigah. Selama kehamilan, darah janin secara terus menerus melintasi vilus plasenta dan sistem sirkulasi janin melalui arteri umbilikalis dan vena umbilikalis, yang terbungkus di dalam korda umbilikalis (tali pusat), pipa penghubung antara janin dan plasenta. Darah ibu di dalam plasenta terus menerus diganti oleh darah segar yang masuk melalui arteriol-arteriol uterus, tersaring melalui ruang-ruang antarvilus, tempat darah tersebut mempertukarkan berbagai bahan dengan darah janin di vilus di sekitarnya, dan kemudian keluar melalui vena uterina.
Selama kehidupan intrauterus, plasenta melaksanakan fungsi sistem pencernaan, sistem pernapasan, dan ginjal bagi "parasit" janin tersebut. Keadaan ini bukan berarti bahwa janin tidak memiliki sistem-sistem organ tersebut, tetapi sistem-sistem tersebut tidak mampu (dan tidak perlu) berfungsi di dalam lingkungan uterus. Zat-zat gizi dan O2 berdifusi dari darah ibu menembus sawar plasenta yang tipis untuk masuk ke dalam darah janin, sedangkan CO2 dan zat-zat sisa secara bersamaan berdifusi dari darah janin ke dalam darah ibu. Nutrien dan O2 yang diangkut ke janin oleh darah ibu diperoleh dari sistem pencernaan dan pernapasan ibu, serta CO2 dan zatzat sisa yang dipindahkan ke dalam darah ibu masingmasing dieliminasi oleh paru dan ginjal ibu. Dengan demikian, saluran pencernaan, sistem pernapasan, dan ginjal ibu melayani kebutuhan janin serta dirinya sendiri.
Sebagian bahan melintasi sawar plasenta melalui sistem pengangkut khusus di membran plasenta, sementara yang lain menembusnya melalui difusi sederhana. Sayangnya, banyak obat, polutan lingkungan, bahan-bahan kimia, dan mikro-organisme di dalam darah ibu juga dapat menembus sawar plasenta, dan sebagian mungkin berbahaya bagi janin yang sedang berkembang. Bayi yang lahir tanpa anggota badan akibat terpajan ke talidomid, suatu obat penenang yang diminum oleh ibu hamil sebelum efek merugikan obat ini pada janin diketahui, suatu kenangan buruk yang mengingatkan kita akan kejadian tersebut. Demikian juga, bayi baru lahir yang menjadi "ketagihan" selama masa kehamilan karena ibunya menggunakan obat-obat terlarang, misalnya heroin akan memperlihatkan gejala-gejala putus
obat setelah lahir. Bahkan zat-zat kimia yang sering dijumpai, misalnya aspirin, alkohol, dan bahan-bahan di dalam asap rokok, dapat mencapai janin dan menimbulkan efek merugikan. Demikian juga, janin dapat terjangkit virus AIDS sebelum lahir jika ibunya terinfeksi oleh virus tersebut. Dengan demikian seorang wanita hamil hatus berhati-hati akan kemungkinan terpajan halhal yang membahayakan janinnya.
Selain berfungsi sebagai organ pertukaran, plasenta sedikit banyak juga berfungsi sebagai sawar protektif untuk mencegah mudigah ditolak secara imunologis oleh ibunya. Mudigah tersebut sebenarnya adalah "benda asing" karena separuh berasal dari kromosom ayah yang secara genetis berbeda. Selain itu, plasenta menjadi organ endokrin sementara selama kehamilan, suatu topik yang sekarang akan kita bahas.
Hormon yang disekresikan oleh plasenta berperan penting untuk memelihara kehamilan.
Plasenta memiliki kapasitas besar untuk menghasilkan sejumlah hormon peptida dan steroid yang esensial untuk memelihara kehamilan. Hormon yang terpenting adalah human chorionic gonadotropin, estrogen, dan ,gesteron (Tabel 20-5). Plasenta, sebagai organ endokr- in utama pada kehamilan, bersifat unik dibandingkan dengan jaringan endokrin lain dalam dua aspek. Pertama, plasenta adalah jaringan sementara. Kedua, sekresi hormon-hormonnya tidak berada di bawah kontrol ekstrinsik, berbeda dengan mekanisme ketat dan seringkali kompleks, yang mengatur sekresi hormon-hormon lain. Jenis dan kecepatan sekresi hormon plasenta terutama bergantung pada stadium kehamilan.
Salah satu kejadian pertama setelah implantasi adalah sekresi human chorionic gonadotrpin (hCG), suatu hormon peptida yang memperpanjang lama kehidupan korpus luteum, oleh korion yang sedang berkembang. Ingatlah bahwa selama siklus ovarium, korpus luteum berdegenerasi dan lapisan dalam uterus yang sudah dipersiapkan dan bergantung pada-lutein akan terlepas jika tidak terjadi pembuahan dan implantasi. Jika terjadi fertilisasi, blastokista yang tertanam menyelamatkan dirinya dan tidak tersapu keluar bersama darah haid dengan membuat hCG. Hormon ini, yang secara fungsional serupa dengan LH, merangsang dan mempertahankan korpus luteum agar tidak berdegenerasi. Unit endokrin yang sekarang disebut sebagai korpus luteum kehamilan ini bertambah besar dan semakin banyak menghasilkan estrogen dan progesteron selama sekitar sepuluh minggu berikutnya sampai plasenta mengambil alih sekresi hormon-hormon steroid ini. Karena estrogen dan progesteron tetap ada di dalam darah, jaringan endometrium yang tebal dipertahankan dan tidak rontok. Dengan demikian selama kehamilan menstruasi berhenti.
Stimulasi oleh hCG diperlukan untuk memelihara korpus luteum kehamilan karena LH, yang mempertahankan korpus luteum selama fase luteal normal pada siklus ovarium, tertekan akibat umpan-balik negatif oleh progesteron kadar tinggi. Penekanan hormon-hormon hipofisis anterior oleh kadar progesteron yang tinggi juga mencegah pematangan dan ovulasi folikel lain selama kehamilan.
Kelangsungan kehamilan secara normal bergantung pada kadar estrogen dan progesteron yang tinggi. Dengan demikian, pembentukan hCG selama trimester pertama sangat penting untuk mempertahankan pembentukan hormon-hormon tersebut oleh ovarium. Pada janin lakilaki, hCG juga merangsang prekursor sel-sel Leydig di testis janin untuk mengeluarkan testosteron, yang menyebabkan maskulinisasi saluran reproduksi.
Tingkat sekresi hCG meningkat dengan cepat selama kehamilan awal untuk menyelamatkan korpus luteum dari kematian. Sekresi puncak hCG berlangsung sekitar 60 hari setelah periode haid terakhir. Pada minggu kesepuluh kehamilan, pengeluaran hCG menurun sehingga tingkat sekresinya rendah yang kemudian dipertahankan selama kehamilan. Turunnya hCG terjadi pada saat korpus luteum tidak lagi diperlukan untuk menghasilkan hormon-hormon steroid karena plasenta sudah mulai mengeluarkan estrogen dan progesteron dalam jumlah bermakna. Korpus luteum kehamilan mengalami regresi parsial seiring dengan turunnya sekresi hCG, tetapi struktur ini tidak berubah menjadi jaringan ikat sampai setelah bayi dilahirkan.
Laktasi memerlukan banyak masukan hormon.
Air susu (atau ekivalennya) esensial bagi kelangsungan hidup bayi baru lahir. Dengan demikian, selama gestasi kelenjar mamaria, atau payudara, dipersiapkan untuk laktasi (pembentukan susu).
Payudara pada wanita yang tidak hamil terutama terdiri dari jaringan lemak dan sistem duktus rudimenter. Ukuran payudara ditentukan oleh jumlah jaringan lemak, yang tidak ada kaitannya dengan kemampuan menghasilkan susu. Di bawah pengaruh hormon yang terdapat selama kehamilan, kelenjar mamaria membentuk struktur dan fungsi kelenjar internal yang penting untuk menghasilkan susu. Payudara yang mampu menghasilkan susu terdiri dari jaringan duktus yang secara progresif mengecil yang bercabang dari puting payudara dan berakhir di lobulus-lobulus. Setiap lobulus terdiri dari sekelompok alveolus berlapis epitel dan mirip kantung yang membentuk kelenjar penghasil susu. Susu disintesis oleh sel epitel, lalu disekresikan ke dalam lumen alveolus, kemudian mengalir melalui duktus pengumpul susu ke permukaan puting payudara.
Selama kehamilan, konsentrasi estrogen yang tinggi menyebabkan perkembangan duktus yang ekstensif sementara kadar progesteron yang tinggi merangsang pembentukan lobulus alveolus. Peningkatan konsentrasi prolaktin (suatu hormon hipofisis anterior yang dirangsang oleh peningkatan kadar estrogen) dan human chorionic somatomammotropin (suatu hormon peptida yang dikeluarkan oleh plasenta) juga ikut berperan dalam perkembangan kelenjar mamaria dengan menginduksi pembentukan enzim-enzim yang diperlukan untuk menghasilkan susu.
Sebagian besar perubahan pada payudara berlangsung selama separuh pertama masa kehamilan, sehingga pada pertengahan kehamilan kelenjar mamaria sudah mampu menghasilkan air susu secara penuh. Namun, sekresi susu tidak terjadi sampai persalinan selesai. Konsentrasi estrogen dan progesteron yang tinggi selama separuh terakhir masa kehamilan mencegah laktasi dengan menghambat efek stimulatorik prolaktin pada sekresi susu. Prolaktin adalah stimulan utama bagi sekresi susu. Dengan demikian, walaupun steroid-steroid plasenta yang kadarnya tinggi memicu perkembangan perangkat penghasil susu di payudara, steroid-steroid itu juga menghambat kelenjar-kelenjar tersebut untuk bekerja sampai bayi lahir dan memerlukan susu. Penurunan mendadak estrogen dan progesteron yang tetjadi seiring dengan keluarnya plasenta pada persalinan memicu laktasi.
Setelah persalinan, laktasi dipertahankan oleh dua hormon penting: (1) prolaktin, yang bekerja pada epitel alveolus untuk meningkatkan sekresi susu, dan (2) oksitosin, yang menyebabkan penyemprotan susu. Yang tera%hir mengacu pada ekspulsi paksa susu dari lumen alveolus melalui duktus-duktus. Pengeluaran kedua hormon tersebut dirangsang oleh refleks neuroendokrin yang dipicu oleh rangsangan mengisap pada puting payudara (Gbr. 20-32). Susu tidak dapat secara langsung diisap dari lumen alveolus oleh bayi. Susu harus secara aktif diperas keluar alveolus melalui duktus lalu ke puting payudara oleh kontraksi sel micepitel khusus (sel epitel seperti otot) yang mengelilingi setiap alveolus (Gbr. 20-31b). Pengisapan puting oleh bayi merangsang ujung-ujung saraf sensorik di puting, menimbulkan potensial aksi yang kemudian menjalar ke atas ke korda spinalis lalu ke hipotalamus. Setelah diaktifkan, hipotalamus memicu pengeluaran oksitosin dari hipofisis posterior. Oksitosin, pada gilirannya, merangsang kontraksi sel mioepitel di payudara sehingga terjadi penyemprotan susu atau "milk letdown". Penyemprotan susu ini terus berlangsung selama bayi terus menyusui.
Teknik-teknik kontrasepsi bekerja dengan menghambat tran.sportasi sperma, ovtilasi, atau implantasi.
Pasangan suami-isteri yang ingin berhubungan kelamin tetapi menghindari kehamilan memiliki sejumlah pilihan metode kontrasepsi ("melawan konsepsi"). Metodemetode tersebut, yang efektivitas bervariasi (Tabe120-7) dan mudah penggunaannya, bekerja dengan menghambat salah satu dari tiga langkah utama proses reproduksi: transportasi sperma ke ovum, ovulasi, atau implantasi.
Penghambatan Z1-ansportasi Sperma ke Ovum
Kontrol kehamilan dengan kontrasepsi alamiah atau metode irama (rhythm method) mengandalkan abstinensia hubungan kelamin selama masa subur wanita. Wanita dapat memperkirakan kapan ovulasi terjadi berdasarkan catatan daur haidnya. Efektivitas teknik ini hanya sebagian karena daur haid bervariasi. Waktu ovulasi dapat ditentukan secara lebih pasti dengan mencatat suhu tubuh setiap pagi sebelum bangun dari tempat tidur. Suhu tubuh sedikit meninggi sekitar satu hari setelah ovulasi berlangsung. Metode suhu-irama tidak bermanfaat untuk menentukan kapan waktu yang aman untuk berhubungan kelamin sebelum ovulasi, tetapi dapat bermanfaat untuk menentukan kapan waktu yang aman untuk kembali berhubungan kelamin setelah ovulasi. Teknik ini juga diterapkan oleh pasangan sebagai metode fertilitas. Peningkatan suhu tubuh terjadi selama periode sewaktu ovum yang dilepaskan mungkin masih hidup dan dapat dibuahi.
Sekelompok ilmuwan sedang mengembangkan suatu uji yang peka, cepat, dan dapat dikerjakan di rumah dengan menggunakan beberapa tetes urin untuk mendeteksi (1) peningkatan estrogen, suatu sinyal "lampu merah" bahwa ovulasi akan terjadi dalam waktu empat hari dan hubungan kelamin harus dihindari (jika kontrasepsi adalah tujuannya) dan (2) peningkatan progesteron, suatu sinyal "lampu hijau" bahwa ovulasi sudah lewat dan aktivitas seksual dapat dimulai kembali.
Koitus interuptus adalah penarikan keluar penis dari vagina sebelum terjadi ejakulasi. Namun, efektivitas metode ini hanya moderat karena penentuan waktu sulit dilakukan dan sebagian sperma mungkin sudah keluar dari uretra sebelum ejakulasi.
Kontrasepsi kimiawi, misalnya gel, busa, krim, dan supositoria spermisida ("pembunuh sperma"), apabila dimasukkan ke dalam vagina bersifat toksik bagi sperma selama sekitar satu jam setelah pemakaian.
Metode sawar secara mekanis mencegah pengangkutan sperma ke oviduktus. Bagi pria, kondom adalah selaput lateks atau karet yang tipis dan kuat, yang dibungkuskan ke penis yang sedang ereksi sebelum ejakulasi untuk mencegah sperma masuk ke vagina. Bagi wanita, diafragma adalah kubah karet lentur yang dimasukkan ke dalam vagina dan clitempatkan menutupi serviks untuk menghambat masuknya sperma ke dalam kanalis servikalis. Diafragma tetap berada di tempatnya karena menekan dinding vagina. Diafragma harus dicocokkan oleh petugas terlatih dan harus dibiarkan di tempat selama paling sedikit enam jam tetapi jangan lebih dari dua puluh empat jam setelah hubungan kelamin. Metode sawar sering digunakan bersama dengan bahan spermisida untuk meningkatkan efekrivitas. Cervical cap adalah alternatif baru yang dikembangkan untuk diafragma. Cervical cap, yang berukuran lebih kecil daripada diafragma, dilapisi oleh selapis tipis spermisida dan dipasang menutupi serviks. Alat ini berada di tempatnya karena adanya pengisapan. Spons kontrasepsi, suatu alat poliuretan yang dapat dibeli tanpa resep, jika ditaruh di vagina dekat serviks, bekerja sebagai penghalang fisik bagi transportasi sperma dan juga mengeluarkan bahan spermisidal sampai 24 jam. Spons ini diduga dapat menimbulkan sindrom syok septik pada sejumlah kecil pemakai. Yang paling terakhir dikembangkan adalah suatu alat kontrasepsi mirip-kondom bagi wanita. Alat ini adalah kantung poliuretan (plastik jernih) silindris yang terbuka di salah satu ujungnya dengan cincin lentur di kedua ujungnya. Cincin di ujung tertutup dimasukkan ke dalam vagina dan menutupi serviks, serupa dengan diafragma. Cincin di ujung terbuka ditaruh di luar vagina menutupi genitalia eksterna.
Sterilisasi, yaitu pemotongan secara bedah duktus deferens (vasektomi) pada pria atau oviduktus (ligasi tuba) pada wanita, dianggap sebagai metode permanen untuk mencegah penyatuan sperma dan ovum.
Pencegahan Ovulasi
Kontrasepsi oral atau pil anti hamil mencegah ovulasi dengan menekan sekresi gonadotropin. Pil-pil ini, yang mengandung steroid sintetik mirip estrogen dan mirip-progesteron, diminum selama tiga minggu, baik dalam kombinasi atau berurutan, dan kemudian dihentikan selama satu minggu. Steroid-steroid ini, seperti steroid alamiah yang dihasilkan selama siklus ovarium, menghambat sekresi GnRH dan, dengan demikian, FSH serta LH. Akibatnya, pematangan folikel dan ovulasi tidak terjadi sehingga tidak mungkin terjadi konsepsi. Endometrium berespons terhadap steroid eksogen tersebut dengan menebal dan mengembangkan kapasitas sekretoriknya, seperti responsnya terhadap hormon alamiah. Apabila steroid sintetik dihentikan setelah tiga minggu, lapisan endometrium akan terlepas dan terjadi haid, seperti yang terjadi dalam keadaan normal saat korpus luteum mengalami degenerasi. Selain menghambat ovulasi, kontrasepsi oral juga mencegah kehamilan dengan meningkatkan kekentalan mukus serviks, sehingga penetrasi sperma menjadi lebih sulit, dan dengan menurunkan kontraksi otot-otot di saluran reproduksi wanita, sehingga transportasi sperma ke oviduktus berkurang.
Kontrasepsi oral hanya dapat diperoleh dengan resep dokter. Obat-obat ini diketahui dapat meningkatkan risiko pembekuan intravaskuler, terutama pada wanita yang juga merokok.
Suatu pendekatan baru dalam bidang kontrasepsi adalah implantasi subkutis ("di bawah kulit") progesteron sintetik yang bekerja lama, dan berfungsi seperti kontrasepsi oral dengan menghambat ovulasi dan mengentalkan mukus serviks untuk mencegah lewatnya sperma. Namun, tidak seperti kontrasepsi oral, yang harus ditelan secara teratur, kontrasepsi baru ini, setelah ditanam (diimplantasikan) akan efektif selama lima tahun. Enam kapsul berbentuk korek api dan mengandung steroid dimasukkan ke bawah kulit di lengan atas bagian dalam di atas siku. Kapsul-kapsul tersebut secara perlahan mengeluarkan progesteron sintetik dengan kecepatan yang hampir stabil selama lima tahun, sehingga efek kontrasepsi dapat bertahap cukup lama.
Penghambatan Implantasi
Penghambatan implantasi umumnya dilakukan dengan memasukkan suatu alat intrauterus (intrauterine device, IUD atau alat kontrasepsi dalam rahim, AKDR) kecil ke dalam uterus oleh seorang dokter. Mekanisme kerja IUD belum sepenuhnya dipahami, walaupun sebagian besar bukti menunjukkan bahwa adanya benda asing di uterus memicu respons peradangan lokal yang mencegah implantasi ovum yang dibuahi. Walaupun merupakan suatu metode pengatur kehamilan yang mudah penggunaannya karena tidak memerlukan perhatian terus menerus dari pemakai, alat ini tidak lagi sepopuler dahulu karena adanya laporan penyulit yang dikaitkan dengan pemakaiannya. Komplikasi yang paling serius adalah penyakit radang panggul, infertilitas permanen, dan perforasi uterus.
Implantasi juga dapat dihambat oleh apa yang disebut sebagai morning-after pill, yaitu jenis kontrasepsi oral yang berbeda dari pil anti-hamil biasa. Morning-after pill dengan kandungan estrogen yang tinggi diminum selama fase luteal dini dalam beberapa hari setelah kemungkinan terjadinya konsepsi. Obat ini mencegah implantasi dengan menimbulkan degenerasi prematur korpus luteum, sehingga hormon yang menunjang pertumbuhan endometrium menghilang. Karena efek sampingnya, misalnya mual dan muntah, dan karena peningkatan risiko penyakit kardiovaskuler yang berkaitan dengan estrogen dosis tinggi, metode kontrasepsi ini tidak digunakan secara rutin. Namun, pil ini dapat digunakan pada keadaan tertentu (darurat), misalnya untuk korban perkosaan yang mungkin mengalami pembuahan.
Kemungkinan di Masa Mendatang
Suatu teknik pengaturan kehamilan yang sedang diteliti adalah pembentukan vaksin yang memicu pembentukan antibodi terhadap human chorionic gonadotropin, sehingga hormon penunjang korpus luteum ini tidak efektif seandainya terjadi kehamilan.
Peneliti-peneliti lain sedang mengkaji suatu vaksin terhadap protein di kepala sperma yang dalam keadaan normal berikatan dengan reseptor di zona pelusida yang mengelilingi telur.
Kemungkinan lain yang sedang diselidiki adalah manipulasi sekresi FSH dan LH dari hipofisis anterior oleh obat yang mirip-GnRH.
Apabila metode-metode kontrasepsi gagal atau tidak digunakan dan terjadi kehamilan yang tidak diinginkan, wanita kadang-kadang memilih aborsi untuk menghentikan kehamilan. Walaupun pengeluaran mudigah/janin secara bedah legal di Amerika Serikat, praktek aborsi dipenuhi oleh kontroversi emosional, etis, dan politis.
Yang menambah keruwetan hal tersebut adalah penemuan oleh sebuah perusahaan obat Perancis pada tahun 1980, suatu "pil aborsi", RU 486, yang mengakhiri kehamilan dini melalui interferensi kimiawi tanpa melalui tindakan bedah. RU 486 (diberi nama berdasarkan Roussel-Udaf, perusahaan yang menciptakan, obat tersebut) adalah suatu antagonis progesteron. Obat ini berikatan erat dengan reseptor progesteron di sel sasaran tetapi tidak menimbulkan efek progesteron yang biasa dan mencegah progesteron melekat dan menimbulkan efeknya. Karena tidak mendapat rangsangan progesteron, jaringan endometrium terlepas disertai oleh mudigah yang tertanam di dalamnya. RU 486 biasanya diberikan bersama dengan prostaglandin yang memicu kontraksi uterus untuk membantu mengeluarkan endometrium dan mudigahnya. Sampai saat ini, pembuat RU 486 enggan memasarkan obat ini di Amerika Serikat, terutama karena kontroversi seputar isu aborsi.
Akhir adalah awal yang baru.
Reproduksi adalah suatu cara yang sesuai untuk mengakhiri pembahasan kita mengenai fisiologi dari sel sampai sistem. Sebuah sel yang terbentuk dari penyatuan garnet pria dan wanita dengan cara mitosis membelah diri dan berdiferensiasi menjadi individu multisel yang terbentuk dari sejumlah sistem organ yang berbeda yang berinteraksi secara kooperatif untuk mempertahankan homeostasis (yaitu, stabilitas dalam lingkungan internal). Semua proses homeostatik yang menunjang kehidupan yang disajikan di seluruh buku ini dimulai kembali pada permulaan kehidupan baru.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar
Ada pertanyaan ataupun komentar ....!