A. DEFINISI
Motivasi berasal dari bahasa Latin yang berarti to move. Secara umum mengacu pada adanya kekuatan dorongan yang menggerakkan kita untuk berperilaku tertentu. Oleh karena itu, dalam mempelajari motivasi kita akan berhubungan dengan hasrat, keinginan, dorongan dan tujuan. Di dalam konsep motivasi kita juga akan mempelajari sekelompok fenomena yang mempengaruhi sifat, kekuatan dan ketetapan dari tingkah laku manusia (Quinn,1995).
Dalam bukunya tentang bagaimana memotivasi perilaku sehat, John Elder (et. al) 1998 mendefinisikan motivasi sebagai: interaksi antara perlaku dan lingkungan sehingga dapat mening¬katkan, menurunkan atau mempertahankan perilaku. Definisi ini lebih menekankan pada hal-hal yang dapat diobservasi dari proses motivasi.
B. BERBAGAI PENDEKATAN DALAM MEMPELAJARI MOTIVASI
1. Pendekatan Instink
Pada awalnya motivasi dipelajari dengan mempelajari instink. Instink adalah pola perilaku yang kita bawa sejak lahir yang secara biologis diturunkan. Beberapa instink yang mendasar adalah instink untuk menyelamatkan diri dan instink untuk hidup. Seks adalah salah satu
2. Pendekatan Pemuasan Kebutuhan (Drive-Reduction)
Teori yang menekankan pada apa yang menarik seseorang untuk berperilaku atau drive theory ini menjelaskan motivasi dalam suatu gerak sirkuler. Manu¬sia terdorong untuk berperilaku tertentu guna mencapai tujuannya sehingga tercapailah keseimbangan. Dengan demikian teori ini merupakan teori yang berusaha men¬jelaskan apa yang menarik seseorang untuk berperilaku tertentu atau disebut juga sebagai push theory.
3. Pendekatan Insentif
Berlawanan dengan teori dorongan yang memfo¬kuskan diri pada apa yang mendorong seseorang untuk berperilaku tertentu, maka push theory lebih tertarik untuk mempelajari apa yang dapat menarik seseorang untuk melakukan perilaku tertentu. Insentif merupakan stimulus yang menarik seseorang untuk melakukan se¬suatu karena dengan melakukan perilaku tersebut, maka kita akan mendapatkan imbalan. Imbalan yang menarik bagi kita tentu saja adalah imbalan yang mendatangkan sesuatu yang menyenangkan. Dalam hal ini, insentif merupakan tujuan yang ingin dicapai. Dalam contoh ibu Parmi yang membawa balitanya ke Posyandu, maka makanan tambahan merupakan insentif baginya selain untuk menjaga kesehatan balitanya.
4. Pendekatan Arousal
Pendekatan ini mencari jawaban atas tingkah laku di mana tujuan dari perilaku ini adalah untuk memelihara atau meningkatkan rasa ketegang-an. Teori ini disebut juga sebagai oponen-proses. Pandangan hedonistik mengatakan bahwa manusia selalu mencari kenikmatan atau hal-hal yang membuatnya merasa senang dan menghindari hal¬hal yang tidak menyenangkan.
5. Pendekatan Kognitif
Pedekatan kognitif ini menjelaskan, bahwa motivasi adalah merupakan produk dari pikiran, harapan dan tujuan seseorang, Feldman (2003). Dalam pendekatan ini dibedakan antara motif intrinsik atau motif yang berasal dari dalam diri, dengan motif ekstrinsik atau motif yang dari luar diri.
Motif intrinsik akan mendorong kita untuk melaku¬kan sesuatu aktivitas guna memenuhi kesenangan kita dan bukan karena ingin mendapatkan pujian. Misalnya, seorang bidan di desa yang dengan rela hati membantu masyarakat setempat walaupun desa tempat tinggalnya adalah desa yang terpencil dan miskin. Ia melakukan hal ini bukan karena ingin mendapatkan pujian atau penghargaan, namun karena ia memang senang menolong masyarakat di desa yang terpencil. Motif yang mendasari perilaku bidan ini adalah motif intrinsif, namun jika karena ia ingin memperoleh penghargaan sebagai bidan teladan, maka motif ektrinsiklah yang mendasari perilaku bidan ini.
TEORI MOTIVASI
Ada dua aliran teori motivasi, yaitu motivasi yang dikaji dengan mempelajari kebutuhan-kebutuhan, atau content theory, dan ada yang mengkaji dengan mempelajari prosesnya atau disebut sebagai process theory (Wood et all, 1998). Content Theory: Teori-teori ini mengajukan cara untuk menganalisis kebutuhan yang mendorong seseorang untuk bertingkah laku tertentu, sedangkan prosecess theory berusaha-memahami proses berpikir yang ada yang dapat mendorong seseorang untuk berperilaku tertentu.
Teori Kebutuhan
Salah satu teori kebutuhan yang terkenal adalah teori kebutuhan berhierarki dari Maslow. Dalam teori ini Maslow menyusun kebutuhan manusia secara berhierarki. Maslow membagi dua kategori besar, yaitu kebutuhan tingkat dasar dan tingkat tinggi. Kebutuhan tingkat dasar adalah kebutuhan yang dapat dipuaskan dari luar, misalnya kebutuhan fisiologis dan kebutuhan akan rasa aman. Sedangkan kebutuhan tingkat tinggi adalah kebutuhan yang hanya dapat dipuaskan dari dalam diri orang yang bersangkutan, misalnya kebutuhan akan penghargaan dan aktualisasi diri. Sebelum kebutuhan yang paling rendah terpenuhi, maka tidak akan muncul kebutuhan pada tingkat berikutnya.
Teori Kebutuhan Berhierarki dari Maslow
kebutuhan untuk diakui oleh lingkungannya. Kebutuhan yang paling tinggi adalah kebutuhan aktualisasi diri. Kebutuhan ini merupakan kebutuhan yang paling sulit untuk dipenuhi. Aktualisasi diri adalah kondisi di mana seseorang merasa telah mumpuni, yaitu perasaan bahwa is telah memahami potensi dirinya dan telah mengembangkannya dengan cara yang unik. Kebutuhan ini merupakan motif intrinsik yang tertinggi dan tersulit untuk dipenuhi.
Dengan menggunakan teori Maslow, kita dapat menelaah
sejauh mana kebutuhan rakyat Indonesia telah terpenuhi secara umum. Pada pemenuhan kebutuhan tingkat yang mana jika kita memperjuangkan jaminan kesehatan bagi masyarakat miskin?
Teori ini dalam perkembangannya mengalami banyak kritik. Misalnya, teori ini gagal menjelaskan mengapa ada istilah biar miskin asal sombong? Apakah benar jika kebutuhan fisiologis belum terpenuhi maka kebutuhan selanjutnya belum dapat muncul? Di mana letak kebutuhan untuk hidup sehat dalam hierarki Maslow? Bagaimana menjelaskan bahwa perilaku hidup sehat itu didasari oleh berbagai kebutuhan tersebut secara bersamaan?
JENIS MOTIVASI
Dalam mempelajari motivasi, kita dapat membagi dua jenis motif, yaitu motif biologis dan motif sosial. Motif biologis adalah motif yang tidak kita pelajari dan sudah ada sejak kita lahir, misalnya rasa lapar, haus dan seks. Sedangkan motif sosial ada¬lah motif yang kita pelajari, atau tidak kita bawa sejak lahir, misalnya motif untuk mendapailfan penghargaan, motif untuk berkuasa.
1. Motif Biologis
Motif biologis ini bersumber dari keadaan fisiologis dari tubuh manusia. Berbagai kebutuhan biologis antara lain rasa lapar, haus, seks, pengaturan suhu tubuh, tidur, menghidari rasa sakit, dan kebutuhan a! an oksigen.
Secara biologis, manusia cenderung untuk mengikuti prinsip homeostatis. Menurut Morgan (1986). Homeostatis adalah kecenderungan tubuh kita untuk memelihara kondisi internal. Sel reseptor tubuh kita secara terus menerus akan memonitor tubuh kita. Jika ada ketidakseimbangan dalam tubuh, maka tubuh akan melakukan adaptasi untuk mencapai keadaan yang seimbang kembali. Kebutuhan biologis, misalnya kebutuhan untuk makan, minum, mempertahankan suhu tubuh dan kebutuhan untuk tidur, umumnya menganut prinsip ini. Morgan (1986) memberikan contoh dari kebutuhan biologis seperti di bawah ini:
1.1 Motif Lapar
Kegemukan saat ini menjadi masalah kesehatan di USA karena hampir separuh dari penduduknya kelebihan berat badan dan bahkan seperlimanya sudah tergolong obesitas (Feldman 2003). Banyak intervensi yang mereka lakukan agar anak-anak usia sekolah tidak menjadi kelebihan berat badan. Di Indonesia, khususnya di DKI
1.2 Motif Seksual
Dorongan seksual dipengaruhi oleh hormon estro¬gen pada perempuan dan hormon androgen pada laki-laki. Namun kelenjar adrenalin juga mengatur dorongan seksual pada kedua jenis kelamin ini. Pada binatang perilaku seksual mereka sangat dipengaruhi oleh kadar estrogen dalam tubuhnya. Jika kadar estrogen tubuh meningkat, maka mereka akan mengalami birahi dan berespons terhadap lawan jenisnya. Namun jika kadar estrogen dalam tubuh turun, maka mereka tidak akan tertarik lagi dengan lawan jenisnya.
Pada manusia penelitian tentang hubungan antara birahi dengan kadar estrogran belum dapat dibuktikan. Hal ini disebabkan, karena perbedaan hasil penelitian. Sebagian mengatakan, bahwa birahi muncul pada saat di tengah-tengah siklus menstruasi namun penelitian lain menyimpulkan bahwa birahi ada pada saat setelah menstruasi. Bahkan pada saat menopause, di mana hormon estrogen telah berkurang, tidak terlihat adanya penurunan birahi pada perempuan. Dari hasil penelitian ini, Morgan (1986) mengambil kesimpulan bahwa perilaku seksual manusia tidak dipengaruhi oleh faktor biologis, namun lebih ditentukan oleh faktor eksternal seperti kebiasaan dan sikap.
Pada jenis kelamin laki-laki, baik pada hewan mau¬pun manusia, kadar androgen khususnya testosterone tidak berkorelasi dengan birahi. Artinya jika kadar tes¬tosterone meningkat tidak berarti bahwa birahi semakin meningkat. Tampaknya kadar testosterone tertentu dalam tubuh sudah cukup untuk membangkitkan birahi laki-laki. Namun jika kadar minimal tidak terpenuhi, maka dorongan seksual tidak akan muncul. Dengan demikian, jika laki-laki dikebiri maka dorongan seksualnya akan sangat menurun. Pada laki-laki birahi lebih disebabkan karena adanya sinyal positif dari lawan jenisnya.
2. Motif Sosial
Motif sosial adalah sesuatu dorongan untuk bertindak yang tidak kita pelajari, namun kita-pelajari dalam kelompok sosial di mana kita hidup. Motif sosial ini umumnya kompleks dan menyangkut pada keadaan umum yang mempengaruhi munculnya berbagai perilaku. Kebutuhan sosial ini adalah kebutuhan yang tidak akan terpuaskan, karena jika sudah tercapai tujuannya, maka kebutuhan ini akan mengarahkan perilaku kita pada tujuan yang lain lagi. Jika dalam motif biologis terjadi siklus motivasi yang menganut prinsip homeostatis, maka motif sosial ini tidak akan berbentuk seperti spiral. Terpenuhinya kebutuhan tersebut akan menimbulkan perilaku yang lain lagi. Misalnya seorang remaja laki-laki merokok agar dianggap sebagai anggota kelompoknya (need for affiliation), maka jika is sudah masuk dalam kelompok tersebut kebutuhan akan affiliasi ini akan tetap ada. Ia akan mengarahkan perilakunya untuk selalu mengikuti apa keinginan dari kelompoknya, seperti misalnya mencoba narkoba atau hal-hal lain yang bahkan membahayakan dirinya.
Motif sosial ini mencerminkan pula karakteristik dari seseorang dan merupakan komponen yang penting dari kepribadiannya. Karena motif sosial ini dipelajari, maka kuatnya kebutuhan berbeda dari satu orang kepada orang lainnya. Semua ini tergantung pada pengalaman hidup yang dipelajarinya dan hal ini akan mencerminkan keunikan kepribadian individu.
2. Kuesioner
Salah satu cara untuk mengukur motivasi melalui kuesioner adalah dengan meminta klien untuk mengisi kuesioner yang berisi pertanyaan-pertanyaan yang dapat memancing motivasi klien. Sebagai contoh adalah EPPS (Edward's Personal Pre¬ference Schedule). Kuesioner tersebut terdiri dari 210 nomer di mana pada masing-masing nomor terdiri dari dua pertanyaan. Klien diminta untuk memilih salah satu dari kedua pertanyaan tersebut yang lebih mencerminkan dirinya. Dari pengisian kuesioner tersebut kita dapat melihat dari ke¬15 jenis kebutuhan yang ada dalam tes tersebut, kebutuhan mana yang paling dominan dalam diri kita. Contohnya antara lain, kebutuhan untuk berprestasi, kebutuhan akan keteraturan, kebutuhan untuk berafiliasi dengan orang lain. kebutuhan untuk membina hubungan dengan lawan jenis, bahkan kebutuhan untuk bertindak agresif.
3. Observasi Perilaku
Cara lain untuk mengukur motivasi adalah dengan membuat situasi sehingga klien dapat memunculkan perilaku yang mencerminkan motivasinya. Misalnya, untuk mengukur keinginan untuk berprestasi, klien diminta untuk mempro¬duksi origami dengan batas waktu tertentu. Perilaku yang diobservasi adalah, apakah klien menggunakan umpan balik yang diberikan, mengambil keputusan yang berisiko dan mementingkan kualitas daripada kuantitas kerja.
F. MOTIVASI UNTUK BERPERILAKU SEHAT
Mengapa seseorang sulit untuk melakukan perilaku hidup sehat? Jawabannya adalah karena kita tidak pernah menghargai kesehatan hingga saat kita menderita penyakit. Menurut John P Elder (et. al. 1994), untuk berperilaku sehat diperlukan tiga hal yaitu: pengetahuan yang tepat, motivasi, dan ketrampilan untuk berperilaku sehat. Jika seseorang tidak memiliki ketrampilan untuk memunculkan perilaku sehat maka disebut sebagai skill deficits. Untuk meningkatkan perilaku sehat, maka intervensi yang tepat tentu saja adalah dengan memberikan berbagai pelatihan. Namun, jika seseorang memiliki pengetahuan dan ketrampilan namun tidak memiliki motivasi maka disebut sebagai performance deficits. Untuk menimbulkan motivasi maka teknik yang populer digunakan adalah dengan menggunakan pendekatan modifikasi perilaku dari aliran kaum behavioristik. Pemberian penguat (reinforcement) untuk meningkatkftn perilaku, atau pemberian sanksi atau hukuman untuk menurunkan frekuensi perilaku.
Pada dasarnya tidak ada seorang pun di dunia ini yang ingin menjadi sakit (kecuali mereka yang mengalami gangguan psikologis tertentu), namun mengapa sering kali kita secara sadar melakukan perilaku yang merupakan faktor risiko untuk mendapatkan penyakit? Contoh yang banyak dilakukan orang adalah soal merokok. Mengapa orang tetap merokok walaupun mereka mengetahui bahwa merokok adalah merupakan salah satu faktor risiko terkena penyakit jantung, stroke, kanker paru dan lain-lainnya. Sarafino menjawab sebagai berikut: masalah utama dalam hal ini adalah bahwasanya perilaku tidak sehat lebih menyenangkan daripada perilaku sehat yang harus dilaksanakan. Hal ini menyebabkan timbulnya konflik dalam diri orang yang bersangkutan. Oleh karena itu, mereka umumnya mengadakan negosiasi dengan memelihara keseimbangan psikologisnya. Misalnya, setelah makan makanan yang enak-enak kemudian ia minum obat kolesterol dengan harapan koles¬terolnya akan turun. Namun banyak pula dari kita yang melakukan keseimbangan psikologis dengan mengatakan nanti setelah umur 40 saya akan berhenti merokok atau berhenti makan enak, namun hal ini tidak pernah dilakukannya hingga ia menderita penyakit degeneratif.
Masalah lain yang menyebabkan seseorang sulit termotivasi untuk berperilaku sehat adalah karena perubahan perilaku dari yang tidak sehat menjadi sehat tidak menimbulkan dampak langsung secara cepat, bahkan mungkin tidak berdampak apa-apa terhadap penyakitnya, namun hanya mencegah agar tidak menjadi lebih buruk lagi. Misalnya, jika kita pernah terserang stroke dan berhenti merokok, maka kita tidak akan merasakan dampaknya secara langsung. Sedangkan menghentikan perilaku yang telah menjadi kebiasaan atau yang sudah kecanduan tidaklah mudah.
Memotivasi orang sehat adalah jauh lebih sulit daripada memotivasi orang sakit. Sebab pada dasarnya, sakit merupakan hal yang selalu ingin kita hindari. Jika kita masih sehat dan diminta untuk melakukan perilaku yang tidak menyenangkan, umumnya tidak akan kita lakukan. Karena pada saat sehat, menghindari penyakit adalah bukan tujuannya. Lebih jauh lagi, faktor lingkungan dapat mempersulit motivasi seseorang untuk berperilaku hidup sehat jika lingkungan keluarganya tidak mendukung perilaku tersebut. Misalnya seorang bapak yang ingin melakukan diet rendah gula, namun istrinya memiliki hobi memasak dan bahkan senang sekali memasak kue-kue. Maka tentu saja situ-asi ini membuat sang suami akan lebih sulit untuk melakukan dietnya.
WAWANCARA UNTUK MENINGKATKAN MOTIVASI (MOTIVATIONAL INTERVIEW)
Salah satu teknik konseling yang ditujukan untuk meningkatkan motivasi yang diciptakan oleh Miller dan Rollnick (Sheila Payne dan Sandra Horn, 1997). Metode ini awalnya digunakan untuk mengatasi masalah kecanduan alkohol, namun kemudian dikembangkan untuk perilaku tidak sehat lainnya, seperti misalnya untuk menurunkan berat badan yang sangat berlebihan atau masalah ketidakmampuan lainnya.
Tujuan utama dari interview motivasional ini adalah untuk mendorong individu mengekplorasi dan menemukan alasan yang sebelumnya belum pernah dipikirkan untuk mengubah perilakunya. Sebenarnya dasar dari teknik ini adalah sejalan dengan teori disonansi kognitif dari Festinger. Dalam teori disonansi kognitif ini, ia mengemukakan bahwa jika seseorang melakukan perilaku yang tidak sejalan dengan tindakannya, maka akan terjadi ketidakseimbangan atau disebut sebagai disonansi. Karena pada dasarnya manusia tidak menyukai keadaan tidak seimbang, maka ia berusaha membuat seimbang dengan mencari pengetahuan baru yang sejalan dengan perilakunya atau mengubah perilakunya agar sejalan dengan pengetahuannya. Tugas konselor dalam hal ini adalah memfasilitasi klien dan bukan untuk adu argumen tentang pentingnya mengubah perilaku.